Literasi Keluarga: Dari Kho Ping Hoo hingga Menjelma Klub Buku Petra

Senin, September 30, 2019 Pankratia Da Svit Kona- 0 Comments



#SahabatKeluarga #LiterasiKeluarga #LiterasiBergerak #PerpustakaanKeluarga #PustakaBergerak
*Klik dua kali pada gambar jika kurang jelas


Salah satu sudut koleksi buku di Perpustakaan Klub Buku Petra.
dok. Klub Buku Petra

Ini cerita tentang teman saya, seseorang yang sangat mencintai buku. Saya baru mengenalnya setahun yang lalu, ketika tanpa sengaja kami bertemu di salah satu acara launching buku seorang kawan. Perjumpaan pertama yang terlampau biasa saja, kecuali obrolan terkait karya-karya penulis Indonesia, tidak ada lagi yang istimewa selain itu.

Perjumpaan kedua, ketika kami sama-sama sedang berada di Jakarta. Ia dengan urusannya, saya dengan urusan saya sendiri. Di sela-sela obrolan kami tersebut, ia tiba-tiba menawarkan sesuatu yang tidak saya duga samasekali. Meminta saya kembali ke Flores untuk mengelola perpustakaan.

Saya tercenung, memikirkan semuanya dengan seksama. Saat itu, pikiran dan tujuan saya telah berada di sisi yang lain dari apa yang selama ini saya idam-idamkan. Saya sudah berpasrah pada apa saja yang dikehendaki semesta, termasuk menjadi Pegawai Negeri Sipil. Akan tetapi, mengelola koleksi buku-buku pribadi menjadi perpustakaan yang dapat diakses oleh orang banyak, bersamaan dengan itu saya akan diberi upah yang layak dan menetap di salah satu kota paling dingin di Nusa Tenggara Timur. Tentu ini menggiurkan sekali.

Saya kemudian menanyakan padanya, “apa untungnya mengupah seseorang yang mengelola buku-buku bekas agar bisa dibaca oleh orang lain? Tak ada profit di situ, kita tidak akan mendapatkan apa-apa dari sana kecuali tagihan yang menumpuk akhir bulan untuk sewa gedung, gaji karyawan, listrik dan sebagainya.”

Jawabannya sungguh di luar dugaan saya yang miskin dan hina dina ini, yang memang selalu melakukan apa pun dengan perhitungan akurat meskipun kemudian selalu mengedapankan perasaan dan berujung pada kekesalan karena merugi.

“Tidak ada keuntungan di sini, Mar. Kita tidak sedang mencari untung. Biarkan saja buku-buku itu yang bekerja dan mendatangkan keuntungan dalam bentuk yang lain. Masalah operasional, tidak perlu kamu pikirkan. Kerjakan saja bagianmu, dan saya akan mengerjakan bagian saya.”

Kunjungan dari Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kab. Manggarai
dok. Klub Buku Petra

Demikian, saya akhirnya memutuskan kembali ke Nusa Tenggara Timur setelah urusan saya selesai. Perpustakaan itu diberi nama Klub Buku Petra. Beragam buku yang merupakan koleksi kawan saya sejak zaman Sekolah Dasar hingga kini telah menjalani profesinya sebagai seorang Dokter yang juga Pengajar, Direktur Klinik Jiwa dan beberapa pekerjaan lainnya, ada di sana.
Suatu kali, saat kami tengah bersantai, saya membuka sebuah obrolan ringan. Topik ini muncul setelah sekian lama saya simpan demi menantikan kesempatan yang tepat untuk menggali lebih dalam, juga karena saya menemukan kenyataan bahwa di Ruteng tidak ada Toko Buku. Selain itu, pertanyaan yang sama kerap saya dapatkan dari para pembaca dan peminjam buku di Klub Buku Petra, “dari mana asal buku-buku bagus dalam jumlah sebanyak ini?”

Kawan saya ini, yang adalah seorang laki-laki sulung di dalam keluarganya, mengenal kebiasaan membaca sejak masih Sekolah Dasar. Di tahun 1980an, serial cerita silat Kho Ping Hoo beredar secara luas dan dibaca oleh siapa saja. Termasuk bapaknya. Hampir setiap hari, ia mendapati bapaknya menekuni stensilan Kho Ping Hoo di sela-sela pekerjaannya. Melihat itu, kawan saya kemudian bertanya, bolehkah ia ikut membaca serial kartun silat tersebut? Sepertinya menarik sekali sebab bapaknya begitu tenggelam di dalam petualangan-petualangan para pendekar itu.

“Dan bapak mengizinkan saya ikut membacanya. Itu pengalaman pertama saya mengenal bacaan, dan sejak itu saya melahap cerita silat yang beredar di sekitar lingkungan pergaulan saya. Di zaman itu, memang hanya ada cerita-cerita silat seperti Kho Ping Hoo dan Wiro Sableng yang dijual bebas sehingga mudah didapat. Bapak juga mengoleksinya. Hampir setiap hari, jika sudah lelah bermain dengan teman-teman, saya kemudian memutuskan untuk membaca sekaligus mengistirahatkan badan. Biarkan giliran otak yang bekerja. Hehehe…” tutur kawan saya.

Ruang Baca untuk umum - Perpustakaan Klub Buku Petra
dibuka sejak 1 September 2019
dok. Klub Buku Petra

Beranjak remaja, memasuki Sekolah Menengah Pertama hingga akhirnya Sekolah Menengah Atas, kawan saya ini berkenalan dengan lingkungan sekolah asrama yang juga menyediakan perpustakaan dengan buku-buku bermutu. Karya-karya fiksi populer seperti novel dan cerita pendek, dapat ditemukan dengan mudah di sana. Saat itu, karya sastra belum begitu ramai dibicarakan kecuali saat jam pelajaran Bahasa Indonesia saja.

Di sekolah berasrama ini, ia akhirnya bertemu dengan sahabat baiknya yang hampir setiap hari menghabiskan waktu untuk membaca karya-karya sastra. Ajaibnya, meskipun hampir sebagian besar waktunya dihabiskan untuk membaca novel, kumpulan cerpen, atau puisi, nilai ulangan/ujiannya tak pernah buruk. Melihat ini, kawan saya berpikir bahwa jika banyak membaca maka kita dengan sendirinya akan menjadi pandai dan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan saat ujian. Apa pun bacaannya. Ia pun minta dikenalkan kepada bacaan-bacaan sastra tersebut. Namun demikian, tiga bulan setelah itu, ia akhirnya membuktikan bahwa bacaan memang membuat kita terbuka pada hal-hal baru tetapi tidak seketika menjadikan kita mampu mengerjakan soal-soal ujian dengan mudah seperti yang ia harapkan sebelumnya. Sahabat baiknya itu yang memang jenius dan pandai mengatur waktu.

Meskipun demikian, kawan saya ini sudah telanjur jatuh cinta pada sastra. Pada karya-karya penulis dan sastrawan Indonesia yang terkadang membikin lupa waktu dan menghantarkan imajinasinya berkelana ke mana suka. Ia akhirnya terus membaca sastra hingga kini memiliki hampir 2000 judul buku, baik yang ditulis oleh penulis Indonesia maupun terjemahan.

“Saya ingat dulu, kalau pulang libur ke rumah. Setiap selesai makan, saya dan kedua adik saya akan berkumpul dalam satu kamar lalu mengeluarkan koleksi masing-masing. Biasanya kami akan terheran-heran melihat koleksi satu sama lain, sebab anak-anak yang bersekolah di sekolah umum ternyata memiliki selera bacaan yang berbeda dengan anak-anak yang bersekolah di asrama seperti kami (baca: seminari). Mereka akan melemparkan pertanyaan seperti ini, hih baca buku apa kalian ini? bikin kepala sakit saja. Hahaha tetapi justru di situ saya melihat perbedaan selera kami mejadi menarik. Kami saling melengkapi satu sama lain. Saya suka novel-novel Ayu Utami, Putu Wijaya, Remy Sylado dan lain-lain, adik perempuan saya menyukai kisah-kisah populer khas anak muda seperti Teenlit, Metropop, Harlequin, dan sejenisnya, sementara adik laki-laki yang paling bungsu masih betah menikmati Kungfu Boy, Detektif Conan, Slam Dunk dan lain-lain.” tutur kawan saya

Apa yang diceritakan kawan saya ini, saya buktikan ketika pertama kali membongkar koleksi buku-bukunya. Saat itu saya sedang dalam proses mendata semua judul buku yang ada agar bisa diakses oleh para peminjam. Saya sempat penasaran, ada berapa tahapan yang sebenarnya kawan saya ini lalui sehingga hampir semua genre bisa terjebak di dalam ruangan tersebut? Saya pikir dua puluh tahun bukanlah waktu yang terlalu lama. Saya bandingkan dengan diri sendiri, yang kurang lebih membutuhkan tiga hingga empat tahun untuk berpindah dari bacaan ringan seperti masalah percintaan, menuju bacaan yang cukup menguras tenaga dan pikiran seperti novel-novel dengan perpaduan filsafat, ilmiah atau psikologi. Rupanya koleksi yang mencapai 3000 judul tersebut (tambah 1000 dari sebelumnya) juga berasal dari bacaan-bacaan kedua adiknya yang tadi ia ceritakan.

Pendataan awal buku-buku di Perpustakaan Klub Buku Petra
Januari 2019
dok. Klub Buku Petra

Lalu bagaimana caranya ia mendapatkan buku di tahun 1990-an, ketika belum ada fasilitas pengiriman uang dan jasa pengiriman barang yang cepat seperti sekarang?

“Saya menulis surat. Korespondensi dengan pihak Gramedia. Saat itu, sekali mengirim surat, butuh waktu satu bulan untuk mendapatkan balasan berupa katalog buku-buku terbaru terbitan Gramedia. Setelah itu, saya dan kawan-kawan akan memilih buku mana yang ingin kami pesan. Saya akan mengumpulkan judul buku-buku tersebut lalu saya tulis dengan rapi di kertas dan saya kirimkan kembali ke Gramedia. Uangnya kami kirim melalui wesel pos. Satu atau dua bulan kemudian, buku-buku tersebut telah tiba. Saya dan kawan-kawan akan bergantian membacanya baru setelah itu kami bahas isi buku yang telah kami baca. Itu awal mula saya terbiasa dengan istilah diskusi atau bedah buku, hingga sekarang lebih dikenal dengan bincang buku." ia menjelaskan

Salah Satu Sesi Bincang Buku Klub Buku Petra
dok. Klub Buku Petra

Saat menuliskan ini, sudah ada sekitar 3000 lebih judul buku yang bisa diakses di Perpustakaan Klub Buku Petra. Sebagai admin, saya baru berhasil mendata 2000 judul, di antaranya karya-karya penulis Indonesia dan karya terjemahan, serta beberapa buku non fiksi tentang Sastra. Buku-buku ini dapat dibaca maupun juga dipinjam secara gratis, selama peminjam menetap di kota Ruteng. Cukup foto KTP serta nomor hape yang digunakan untuk berkomunikasi dengan admin, buku sudah bisa dipinjam dan dibawa pulang. Satu buku diberi waktu satu minggu, jika belum sempat menyelesaikannya, peminjam silakan menginformasikan kepada admin untuk meminta tambahan waktu. Beberapa peminjam yang sangat tekun, bahkan menuliskan ulasan dari buku yang telah dibaca, hasil ulasan ini bisa disimak di https://www.bacapetra.co/sekitar-kita/saya-dan-buku/

Saat ini, selain mengelola Perpustakaan Klub Buku Petra, kami akhirnya mengembangkan unit lain yang masih terkait dengan literasi seperti; Bincang Buku bulanan Klub Buku Petra yang telah memasuki bulan kesepuluh, terlibat bersama kawan-kawan Komunitas Kolektif di Ruteng dalam melaksanakan Lapak #LiterasiBergerak di Taman Kota Ruteng setiap hari Jumat dan Sabtu, serta mengelola Bacapetra.co, sebuah laman web yang berfokus pada pengembangan literasi di Nusa Tenggara Timur. Kegiatan-kegiatan ini, selain menggerakan literasi juga dengan sendirinya membuat individu-individu yang terlibat di dalamnya secara tidak langsung membentuk keluarga baru. Keluarga yang literat.

Lapak #LiterasiBergerak di Taman Kota Ruteng
dok. Klub Buku Petra

Melalui gerakan ini, saya dan kawan-kawan sangat berharap bahwa ekosistem literasi demi terwujudnya manusia-manusia yang literat bisa dimulai dari orang-orang terdekat kita. Dari anggota keluarga, kawan-kawan atau siapa saja yang kebetulan kita temui di tengah kesibukan-kesibukan yang kita jalani.

Jika kawan saya memulainya dengan serial cerita silat karena melihat apa yang dilakukan bapaknya setiap hari, kita bisa memulainya di rumah dengan kisah apa saja. Saya akhirnya membuat satu kesimpulan bahwa, mempengaruhi seseorang untuk menyukai sesuatu tidak harus menjelaskannya panjang lebar tentang manfaat atau kerugian yang akan ia dapatkan. Cukup lakukan dan perlihatkan saja terus menerus, dengan sendirinya rasa tertarik itu akan tumbuh.

Untuk melihat kerja literasi yang sejak tadi saya ceritakan, silakan buka halaman Facebook atau Instagram: Klub Buku Petra atau klik tautan: www.bacapetra.co. Kiranya kerja-kerja literasi yang belum seberapa ini, bisa memberi dampak yang baik dan juga menginspirasi kawan-kawan semuanya.

Selamat membaca dan jangan lupa sebarkan hal baik untuk orang-orang di sekitarmu.
Salam Literasi dari Ruteng~

Pertemuan dengan dr. Ronald Susilo di Jakarta. Desember 2018.
dokumentasi pribadi


*Terima kasih untuk kawan saya itu, dr. Ronald Susilo, atas kesempatan berbagi dan juga memutuskan memberi gaji bagi manusia yang bekerja pada bidang yang sungguh-sungguh ia sukai ini. Semoga cerita ini dapat menginspirasi siapa pun.



Ende, 30 September 2019
Maria Pankratia

0 komentar: