Tarian Caci: Menikmati Kharisma Puluhan Pria Gagah Manggarai dari Kejauhan

Sabtu, Juli 27, 2019 Pankratia Da Svit Kona- 0 Comments



*Tulisan ini terbit di kolom Hibernasi - BasaBasi.co pada tanggal 24 Juli 2019. Tanpa mengabari saya, editor menyuntingnya sangat banyak dan hampir memangkas setengah dari isi yang saya kirimkan. Maka dari itu, saya memutuskan untuk mengunggahnya kembali di sini. Barangkali dengan membaca versi aslinya, kawan-kawan masih bisa menemukan "saya" di dalam tulisan ini. Demikian.


Para Penari Caci di Cireng. Dok. Pribadi

Beberapa perempuan, selalu menikmati momen-momen ketika bersentuhan dengan laki-laki kesayangannya. Bahkan jika diperlukan setiap hari maunya disentuh. Entah sekedar usapan di pipi, rambut yang diacak-acak, atau dipeluk barang sebentar.

Jika kamu jenis perempuan yang seperti ini, maka berhati-hatilah terhadap lelaki Manggarai. Apa lagi jika lelaki kesayanganmu itu adalah seorang pecandu Tarian Caci alias anti absen setiap ada pagelaran caci di mana pun. Bahaya.

Tarian Caci merupakan tarian rakyat Manggarai, salah satu kabupaten di Pulau Flores dan masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tarian ini merefleksikan kebudayaan dan keseharian masyarakat adat Manggarai. Beberapa unsur dalam tarian caci memang diadopsi dari berbagai kebudayaan di luar Manggarai, meskipun demikian, caci hanya terdapat di dalam kebudayaan Manggarai dan menjiwai semua aspek kehidupan orang Manggarai.

Tarian yang sangat menonjolkan kejantanan dan ketangkasan seorang laki-laki ini mensyaratkan beberapa hal yang sulit diterima oleh perempuan-perempuan seperti yang disebutkan di awal tulisan ini. Belum lagi outfitnya yang sangat menggoda iman.

Seorang Penari Caci memulai petualangannya sejak usia remaja. Ia boleh menari di kampung mana saja, selagi ada upacara besar yang digelar. Sehari sebelum sang lelaki turun ke lapangan untuk mengadu kejantanannya, pakaian dan segala aksesoris yang akan ia gunakan, juga termasuk tubuh gagahnya tidak boleh disentuh oleh siapa pun. Siapa pun! Istrinya sekalipun.

Jadi, jika sang lelaki adalah pria beristri, yang pernah mengucapkan janji setia di hadapan Tuhan dan pasangannya dengan disaksikan pemuka agama, dan hadirin sekalian, itu tidak berlaku di medan per-caci-an. Tidak sama sekali!

Kecuali yah itu tadi, kamu mau lelaki pujaanmu itu pulang dalam kondisi babak belur mengenaskan akibat luka cambuk yang bisa jadi memanjang dari atas tengkuk hingga pinggulnya. Kecuali kamu perempuan yang rela begitu, silakan ena-ena lah kau semalaman dengan kekasih hati. Meskipun, beberapa hari setelah caci, luka-luka tersebut justru menjadi kebanggaan tersendiri bagi para lelaki yang menari caci itu. Mbingu betul!

Tarian caci selalu dipentaskan pada upacara-upacara besar, seperti saat upacara pasca panen berlangsung antara bulan Juni sampai dengan September (penti/hang woja weru) atau pesta kampung (rame natas), syukuran pembangunan rumah adat/rumah gendang (congko lokap). Biasanya dilaksanakan selama tiga sampai tujuh hari. Seiring dengan perkembangan zaman, pagelaran caci kini hanya berlangsung maksimal dua hari. Ada kehidupan lain yang harus dilakoni, menjadi karyawan atau guru kelas yang baik, misalnya.

Yes, semua lelaki Manggarai bisa menjadi penari caci, apa pun latar belakang keluarganya atau jenis pekerjaan yang ia geluti sehari-hari, selama darah petarung atau penari caci mengalir di dalam tubuhnya. Petani, Sarjana, Pengangguran, bahkan yang tidak lulus sekolah sekalipun, di arena caci semuanya sama: Petarung!

Bayangan bahwa kau akan menyaksikan puluhan laki-laki yang bertelanjang dada dengan nggorong yang bergelantungan dan bergemerincing sepanjang ia melangkah selama kurang lebih satu minggu, sepanjang empat bulan dalam setahun, sempat membikin haru luar biasa. Jika saja hal seperti itu masih berlaku, nikmat dunia mana lagi yang mau kau dustai, wahai?!

Tarian caci mengandung makna simbolis, melambangkan kejantanan, keriuhan, kemegahan dan sportifitas. Juga kerendahan hati, ketenangan dan pengendalian emosi yang akan tampak di arena caci dari masing-masing penari. Dalam tarian caci, kedua belah pihak yang akan bertanding akan didandani bagaikan seekor kerbau yang hendak berlaga ke medan pertempuran.

Hal itu bisa dilihat dari perlengkapan yang digunakan. Di kepala bagian depan penari akan dipakaikan panggal (mahkota) dari kulit kerbau dan bulu hewan (kambing atau kerbau) sehingga menyerupai kepala kerbau lengkap dengan tanduknya, hal itu tidak terlepas dari fungsinya untuk melindungi kepala. Di belakang punggung, tepatnya di tulang ekor sang penari dipakaikan ndeki yang menyerupai ekor kerbau, dengan fungsinya untuk melindungi bagian bawah punggung (pinggang). Sepintas tampak seperti kerbau yang siap berlaga.

Aksesoris lain yang juga dikenakan, antara lain: sapu atau destar yang membungkus kepala sebelum mengenakan panggal. Biasanya di tengah pertarungan, destar ini akan berubah fungsi menjadi penutup wajah agar terhindar dari lecet/luka serius yang diakibatkan oleh serangan dari pihak lawan.

Kemudian ada selendang leros yang diilitkan di pinggang melapisi celana panjang putih penari bersama-sama dengan kain songke hitam. Lalu ada nggorong atau giring-giring yang diikatkan di pinggang dan kedua kaki penari dan yang terakhir ada sapu tangan yang dilambai-lambaikan saat menari.

Dalam Tarian Caci kedua belah pihak yang beradu ketangkasan akan bergantian menjadi pihak yang memukul dan dipukul. Pihak yang memukul (paki) diperbolehkan bergaya dan bernyanyi (embong larik) untuk membuat lawannya terlena, lalu memukulkan cemeti (larik) yang terbuat dari kulit kerbau ke bagian badan lawannya dari perut ke atas.

 Sedangkan yang menerima pukulan dipersilakan menggunakan nggiling (perisai dari kulit kerbau) dan agang (bambu yang dililit rotan) untuk menangkis pukulan tersebut. Si pemukul harus berupaya untuk memukul lawannya, apa lagi jika bisa melukai wajahnya yang sudah tertutup destar. Ada semacam kepercayaan, jika berhasil melukai wajah lawan bahkan yang sudah dilindungi destar, maka tingkat kemampuan sang penari sudah sangat hebat. Namun, ada kemungkinan lain, bisa saja ada pantangan yang dilanggar oleh penari yang wajahnya terluka itu sebelum turun ke arena. Nah lho, pasti ena-ena semalam yah? #Eh

Semua perlengkapan caci (kecuali kostum dan aksesoris penari) disiapkan oleh ata one atau penyelenggara upacara. Setiap Tarian Caci,  selalu diiringi oleh bunyi gong dan gendang serta nyanyian para pendukung pria maupun wanita. Bunyi gong dan gendang ini semacam soundtrack yang menyemangati para penari di arena caci.

Para penari caci selalu memiliki kebanggaan tersendiri ketika sudah mengenakan kostum dan aksesori penarinya kemudian turun dan bertarung di lapangan. Segala pesona kelaki-lakiannya akan dikerahkan saat itu juga. Tidak heran, kadang seorang penari caci bisa memiliki lebih dari satu wanita sebagai pasangan hidupnya. Bagi orang Manggarai, lelaki yang menari caci adalah lelaki sejati.

Duh, jadi pingin nyanyi lagu Ibu Kita Kartini, Putri Sejati kan buat tandingan #eh

Banyak fungsi yang dihadirkan dari Tarian Caci bagi kelangsungan hidup masyarakat Manggarai. Sebagai sarana komunikasi dengan Tuhan dan para leluhur, juga media pendidikan. Selain misi pribadi penarinya tentu saja, yang sangat ingin menaklukan diri sendiri sekaligus memamerkan ketangkasan dan kemampuannya menari (lomes) di arena saat menanti giliran bertarung, pun kemampuan bernyanyi dan menari sembari mengungkapkan keberanian dan kegagahannya di hadapan ratusan penonton dalam peribahasa Manggarai (paci) ketika berhasil melakukan serangan yang membikin seorang wanita akan sangat sulit berpaling. Ole tah Nana! Hahahaha…aku bisa apa?!

Jadi,bagaimana? Masih niat ngajak nikah lelaki Manggarai yang menari caci?

Atau begini saja, kapan kamu ke Manggarai supaya kita nonton caci eim?














0 komentar: