Tarian Caci: Menikmati Kharisma Puluhan Pria Gagah Manggarai dari Kejauhan
*Tulisan ini terbit di kolom Hibernasi - BasaBasi.co
pada tanggal 24 Juli 2019. Tanpa mengabari saya, editor menyuntingnya sangat
banyak dan hampir memangkas setengah dari isi yang saya kirimkan. Maka dari
itu, saya memutuskan untuk mengunggahnya kembali di sini. Barangkali dengan
membaca versi aslinya, kawan-kawan masih bisa menemukan "saya" di
dalam tulisan ini. Demikian.
![]() |
Para Penari Caci di Cireng. Dok. Pribadi |
Beberapa perempuan, selalu menikmati
momen-momen ketika bersentuhan dengan laki-laki kesayangannya. Bahkan jika
diperlukan setiap hari maunya disentuh. Entah sekedar usapan di pipi, rambut yang diacak-acak,
atau dipeluk barang sebentar.
Jika kamu jenis perempuan yang
seperti ini, maka berhati-hatilah terhadap lelaki Manggarai. Apa lagi jika
lelaki kesayanganmu itu adalah seorang pecandu Tarian Caci alias anti absen setiap ada pagelaran caci di mana pun.
Bahaya.
Tarian Caci merupakan tarian rakyat
Manggarai, salah satu kabupaten di Pulau Flores dan masuk dalam wilayah
administrasi Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tarian ini merefleksikan kebudayaan
dan keseharian masyarakat adat Manggarai. Beberapa unsur dalam tarian caci
memang diadopsi dari berbagai kebudayaan di luar Manggarai, meskipun demikian,
caci hanya terdapat di dalam kebudayaan Manggarai dan menjiwai semua aspek
kehidupan orang Manggarai.
Tarian yang sangat menonjolkan kejantanan
dan ketangkasan seorang laki-laki ini mensyaratkan beberapa hal yang sulit
diterima oleh perempuan-perempuan seperti yang disebutkan di awal tulisan ini.
Belum lagi outfitnya yang sangat
menggoda iman.
Seorang Penari Caci memulai
petualangannya sejak usia remaja. Ia boleh menari di kampung mana saja, selagi
ada upacara besar yang digelar. Sehari sebelum sang lelaki turun ke lapangan
untuk mengadu kejantanannya, pakaian
dan segala aksesoris yang akan ia gunakan, juga termasuk tubuh gagahnya tidak
boleh disentuh oleh siapa pun. Siapa pun! Istrinya sekalipun.
Jadi, jika sang lelaki adalah pria
beristri, yang pernah mengucapkan janji setia di hadapan Tuhan dan pasangannya dengan
disaksikan pemuka agama, dan hadirin sekalian, itu tidak berlaku di medan per-caci-an.
Tidak sama sekali!
Kecuali yah itu tadi, kamu mau lelaki
pujaanmu itu pulang dalam kondisi babak belur mengenaskan akibat luka cambuk
yang bisa jadi memanjang dari atas tengkuk hingga pinggulnya. Kecuali kamu
perempuan yang rela begitu, silakan ena-ena lah kau semalaman dengan kekasih
hati. Meskipun, beberapa hari setelah caci, luka-luka tersebut justru menjadi
kebanggaan tersendiri bagi para lelaki yang menari caci itu. Mbingu betul!
Tarian caci selalu dipentaskan pada
upacara-upacara besar, seperti
saat upacara pasca
panen berlangsung antara bulan Juni sampai dengan September (penti/hang woja weru) atau pesta kampung (rame
natas), syukuran pembangunan rumah adat/rumah gendang (congko lokap). Biasanya dilaksanakan selama tiga
sampai tujuh hari. Seiring
dengan perkembangan zaman, pagelaran caci kini hanya berlangsung maksimal dua
hari. Ada kehidupan lain yang harus dilakoni, menjadi karyawan atau guru kelas
yang baik, misalnya.
Yes, semua lelaki Manggarai bisa menjadi
penari caci, apa pun latar belakang keluarganya atau jenis pekerjaan yang ia
geluti sehari-hari, selama darah petarung atau penari caci mengalir di dalam
tubuhnya. Petani, Sarjana, Pengangguran, bahkan yang tidak lulus sekolah
sekalipun, di arena caci semuanya sama: Petarung!
Bayangan bahwa kau akan menyaksikan puluhan laki-laki yang
bertelanjang dada dengan nggorong
yang bergelantungan dan bergemerincing sepanjang ia melangkah selama kurang
lebih satu minggu, sepanjang empat bulan dalam setahun, sempat membikin haru luar biasa. Jika saja hal seperti itu
masih berlaku, nikmat dunia mana lagi yang mau kau dustai,
wahai?!
Tarian caci mengandung makna
simbolis, melambangkan kejantanan, keriuhan, kemegahan dan sportifitas. Juga
kerendahan hati, ketenangan dan pengendalian emosi yang akan tampak di arena
caci dari masing-masing penari. Dalam tarian caci, kedua belah pihak yang akan bertanding
akan didandani bagaikan seekor kerbau yang hendak berlaga ke medan pertempuran.
Hal itu bisa dilihat dari perlengkapan yang digunakan. Di kepala bagian
depan penari akan dipakaikan panggal (mahkota)
dari kulit kerbau dan bulu hewan (kambing atau kerbau) sehingga menyerupai kepala kerbau
lengkap dengan tanduknya, hal itu tidak terlepas dari fungsinya untuk
melindungi kepala. Di belakang punggung, tepatnya di tulang ekor sang penari
dipakaikan ndeki yang menyerupai ekor
kerbau, dengan fungsinya untuk melindungi bagian bawah punggung (pinggang).
Sepintas tampak seperti kerbau yang siap berlaga.
Aksesoris lain yang juga dikenakan, antara lain: sapu atau destar yang membungkus kepala sebelum
mengenakan panggal. Biasanya di
tengah pertarungan, destar ini akan berubah fungsi menjadi penutup wajah agar
terhindar dari lecet/luka serius yang diakibatkan oleh serangan dari pihak
lawan.
Kemudian ada selendang leros yang diilitkan di pinggang
melapisi celana panjang putih penari bersama-sama dengan kain songke hitam. Lalu ada nggorong atau giring-giring yang
diikatkan di pinggang dan kedua kaki penari dan yang terakhir ada sapu tangan yang
dilambai-lambaikan saat menari.
Dalam Tarian Caci kedua belah pihak yang beradu ketangkasan akan
bergantian menjadi pihak yang memukul dan dipukul. Pihak yang memukul (paki) diperbolehkan bergaya dan
bernyanyi (embong larik) untuk
membuat lawannya terlena, lalu memukulkan cemeti (larik) yang terbuat dari kulit kerbau ke bagian badan lawannya dari
perut ke atas.
Sedangkan yang menerima pukulan
dipersilakan menggunakan nggiling
(perisai dari kulit kerbau) dan agang
(bambu yang dililit rotan) untuk menangkis pukulan tersebut. Si pemukul harus
berupaya untuk memukul lawannya, apa lagi jika bisa melukai wajahnya yang sudah
tertutup destar. Ada semacam kepercayaan, jika berhasil melukai wajah lawan
bahkan yang sudah dilindungi destar, maka tingkat kemampuan sang penari sudah
sangat hebat. Namun, ada kemungkinan lain, bisa saja ada pantangan yang
dilanggar oleh penari yang wajahnya terluka itu sebelum turun ke arena. Nah lho, pasti ena-ena semalam yah? #Eh
Semua perlengkapan caci (kecuali kostum dan aksesoris penari) disiapkan
oleh ata one atau penyelenggara
upacara. Setiap Tarian Caci, selalu
diiringi oleh bunyi gong dan gendang serta nyanyian para pendukung pria maupun
wanita. Bunyi gong dan gendang ini semacam soundtrack
yang menyemangati para penari di arena caci.
Para penari caci selalu memiliki
kebanggaan tersendiri ketika sudah mengenakan kostum dan aksesori penarinya
kemudian turun dan bertarung di lapangan. Segala pesona kelaki-lakiannya akan
dikerahkan saat itu juga. Tidak heran, kadang seorang penari caci bisa memiliki lebih dari satu
wanita sebagai pasangan hidupnya. Bagi orang Manggarai, lelaki
yang menari caci adalah
lelaki sejati.
Duh, jadi pingin nyanyi lagu Ibu Kita Kartini, Putri Sejati kan buat
tandingan #eh
Banyak fungsi yang dihadirkan dari
Tarian Caci bagi kelangsungan hidup masyarakat Manggarai. Sebagai
sarana komunikasi dengan Tuhan dan para leluhur, juga media pendidikan. Selain
misi pribadi penarinya tentu saja, yang sangat ingin menaklukan diri sendiri
sekaligus memamerkan ketangkasan dan kemampuannya menari (lomes) di arena saat
menanti giliran bertarung, pun kemampuan bernyanyi dan menari sembari
mengungkapkan keberanian dan kegagahannya di hadapan ratusan penonton dalam
peribahasa Manggarai (paci) ketika berhasil melakukan serangan yang membikin
seorang wanita akan sangat sulit berpaling. Ole
tah Nana! Hahahaha…aku bisa apa?!
Jadi,bagaimana? Masih niat ngajak nikah lelaki Manggarai
yang menari caci?
Atau begini saja, kapan kamu ke Manggarai supaya kita nonton caci eim?
0 komentar: