Menjadi Lebih Inklusif bersama SDG's Academy

Minggu, Agustus 11, 2024 Da Svit Kona 0 Comments

Bicara tentang pendidikan, mau tidak mau kita juga harus berbicara tentang privilese. Privilese atau hak istimewa yang dimiliki tiap manusia tentu saja berbeda-beda, bahkan ada yang tidak memilikinya sama sekali.

Privilese dalam kaitannya dengan pendidikan, dapat dikategorikan ke dalam dua bagian. Pertama, seseorang yang dapat bersekolah hingga ke jenjang paling tinggi karena orang tua, keluarga, dan lingkungannya memiliki kesadaran tentang pentingnya pendidikan untuk meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan yang terjamin. Orang tua menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan prioritas. Mereka bersedia menabung atau menyediakan dana khusus untuk membiayai segala kebutuhan sekolah anak sejak usia dini hingga ke perguruan tinggi. Di posisi ini, dapat dikatakan orang tua memiliki peranan penting dan bisa memenuhi semua kebutuhan sang anak.

Kedua, seseorang yang barangkali sulit untuk bisa bersekolah hingga ke jenjang paling tinggi akan tetapi terus mengupayakannya karena orang tua, keluarga, dan lingkungannya juga memiliki kesadaran tentang pentingnya pendidikan untuk meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan di masa depan, akan tetapi tidak mampu untuk menggenapi itu semua karena keterbatasan finansial. Meski demikian, kesadaran tentang pendidikan sebagai kebutuhan dapat menjadi motivasi untuk tetap berusaha mendapatkan yang terbaik. Entah melalui beasiswa, kursus tertentu, atau bekerja sambil kuliah/bekerja dahulu agar bisa menabung baru kemudian mendaftar kuliah. Kisah-kisah seperti ini cukup sering kita temukan dan itu merupakan cara berpikir yang sangat baik. Sebab tidak semua orang melihat bahwa pendidikan mampu mengubah garis nasib seseorang sekaligus meningkatkan kualitas hidupnya.

Biasanya, orang-orang dengan privilese ini, baik kategori satu maupun kategori yang kedua, akan menularkan cara berpikir dan cara bertindaknya kepada banyak orang sebagai bentuk afirmasi bahwa semua orang adalah setara dan mempunyai waktu, hak, serta kesempatan yang sama dalam hal apa pun, tergantung bagaimana cara kita bekerja keras untuk mewujudkannya.

Sebagai salah satu peserta yang di angkatan ini mendapat privilese itu, di Angkatan Enam Sustainability Development Goals Academy, saya bertemu dengan sosok-sosok yang mengupayakan privilese tersebut. Orang-orang yang memanfaatkan segala hal baik yang mereka miliki untuk mengakses kesempatan belajar bersama para mentor berpengalaman yang merupakan pakar di bidangnya. Semua yang dipelajari dan dipraktikan di SDG’S tidak semata-mata untuk kebutuhan dan kepuasan diri pribadi, melainkan dipersiapkan untuk ditularkan, diteruskan kepada orang lain. Di lingkungan kerja masing-masing, di komunitas/kolektif, di lembaga di mana kita bertugas. Semua dilakukan dengan harapan dapat memberi dampak baik bagi orang lain. Hal ini sejalan dengan tujuan SDG’s Academy yang melalui materi-materinya berusaha memberikan pemahaman terkait target peningkatan kualitas pendidikan dalam SDG, yang bertujuan untuk menjamin inklusif dan pemerataan (inclusive and equitable) kualitas pendidikan, serta meningkatkan kesempatan pembelajaran seumur hidup untuk semua masyarakat (lifelong learning opportunity). Pendidikan merupakan akumulasi human capital yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Lewat kesempatan belajar ini, kami akhirnya dapat memahami secara lebih komprehensif terkait pendidikan dalam konteks pembangunan berkelanjutan, menganalisis kualitas pendidikan baik secara regional, nasional, internasional, serta menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dalam lingkungan keseharian kami.

Saya kemudian teringat dengan satu film yang pernah saya tonton berjudul Pay It Forward. Suatu ketika, Eugeno Simonet memberi tugas kepada murid-muridnya. Tugas tersebut cukup sulit untuk siswa-siswi usia 12 tahun.

Eugeno meminta anak didiknya memikirkan sebuah ide untuk mengubah dunia. Salah seorang siswa, Trevor McKinney (12), kemudian mencetuskan sebuah pola kebaikan dengan nama “Pay it Forward”. Satu orang melakukan hal baik – bisa apa saja, tergantung pada situasi dan kondisi – kepada satu orang yang lain. Setelahnya, penerima kebaikan itu harus berjanji untuk melakukan kebaikan lain kepada tiga orang berikutnya. Begitu seterusnya hingga tanpa sadar ada hal baik yang begitu besar dampaknya telah dilakukan bersama-sama dan mengubah hidup banyak orang.

Kisah ini kemudian diadaptasi menjadi sebuah film dengan judul yang sama seperti novelnya, Pay it Forward. Dirilis pada tahun 2000 oleh Warner Bros Pictures.

Kiranya Program Kepemimpinan Sustainability Development Goals ini menjadi salah satu jalan untuk terus menebar dan menanam benih kebaikan, khususnya dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kita barangkali tidak tahu kapan akan memanen atau memetik hasilnya, paling tidak kita pernah mencoba, sebaik-baiknya, sebenar-benarnya.


MARIA PANKRATIA - EDU EMPATI

KEL.EDU 01 - ANGKATAN VI SDG'S ACADEMY




 

0 komentar: