TRIAL & ERROR
*Bingung mau kasih judul apa ini tah!
Di tahun
2004 di sebuah kelas IPA di SMAK Syuradikara, saat itu, saya adalah salah satu
siswi yang kurang beruntung. Demikian saya mengklaim diri saya sendiri. Saya masih
ingat, pagi itu Jam Pertama Pelajaran kelas kami adalah Fisika yang dibawakan
oleh seorang Guru Wanita. Sebelumnya, suami Ibu Guru ini, yang adalah seorang
Dosen di satu-satunya Universitas di Kota kami, sempat beradu pendapat dengan
saya pada sebuah diskusi budaya tentang Asal Usul Seorang Pahlawan Daerah Ende.
Jikalau saya salah berpikir, maka maafkanlah, akan tetapi tak pernah intuisi
saya mengkhianati saya, mereka tak pernah muncul sia-sia. Hasil kebawelan saya
di acara ini juga, yang membuat saya kemudian terpilih sebagai satu-satunya
Perwakilan Nusa Tenggara Timur untuk Lawatan sejarah Nasional I di Nangroeh
Aceh Darussalam, yang kegiatannya diselenggarakan berkat program terbaru
Kementrian Pariwisata dan Budaya Republik Indonesia saat itu.
Kejadian yang
akan saya ceritakan ini, berlangsung hanya beberapa hari setelah saya kembali
dari Nangroeh Aceh Darussalam, pada bulan Agustus yang mataharinya bersinar
sangat cerah bersamaan dengan angin dingin yang bertiup dari arah selatan. Seringkali
membikin saya menggigil kedinginan. Persis dengan kejadian ini, yang masih
mampu menimbulkan rasa dingin yang tiba-tiba apabila mengingatnya. Dua apa tiga
hari sebelumnya (saya lupa tepatnya), kami melaksanakan Tes/Ulangan terhadap
salah satu bab yang telah selesai dibahas pada buku mata pelajaran Fisika yang
saat itu lazim dipakai. Hasil ulangannya telah dibagikan, dan sebagaimana
biasanya, saya yang tak sungguh-sungguh dalam semua mata pelajaran penting pada
jurusan saya ini, mendapatkan angka yang bagi saya sudah pas, entah bagi mentor
saya atau kawan-kawan saya lainnya.
Pagi itu, Sang
Ibu Guru muncul, memberi salam dan berbasa-basi sebentar lalu dengan pongahnya
berkata: “oke, jadi hasil ulangan kemarin sudah terima semua toh? Nah sekarang,
saya mau, masing-masing duduk sesuai hasil ulangannya, supaya kita tahu,
mereka-mereka ini masalahnya di mana?! Ikuti arahan saya, yang lima ke bawah,
silakan duduk di deretan kursi sebelah kanan saya (sembari menggerakan tangan
beliau, membentuk batasan). Kemudian, yang nilainya enam ke atas, silakan duduk
di sebelah kiri saya.” Saat itu, duduk satu deretan ke belakang, (sepertinya
tidak ada yang menempati kursi paling depan, kau tahulah kenapa) ada Stivan
Agustinus Wungubelen, Euginius Pasely Surya Kandar, Maria Pankratia Mete Seda,
Sunartin Abdullah Wahid, Kenisia Natalia Rohy, dua orangnya lagi saya lupa
siapa. Jika kalian, penghuni kelas 3Ipa2 ada yang mengingat peristiwa ini,
mungkin bisa membantu menyebut dua nama yang kurang. Ruangan kelas yang kita
pakai saat itu adalah Ruang A2, deretan ruang kelas di Gedung Induk yang berada
pada bangunan yang sama dengan Pendopo Syuradikara yang berlangit-langit tinggi
itu.
Saat itu,
saya menjadi sangat malu dan terpukul. Seperti dibanting dari udara sahaja
rasanya. Yah kau bayangkan, belum selesai bayang-bayang asmara Aceh I’m in Love-ku itu, lalu bertemu
pula aku dengan hal memalukan seperti ini. Nol Kilometer Indonesia sudah
kucapai, angka enam di atas kertas ulangan saja, tak bisa kujangkau?! What The
Fuck kan?
Lebih lanjut,
Sang Ibu Guru berkata: “Saya hanya mau kasitahu, kenapa saya pisah-pisahkan
kalian begini, supaya kalian tahu diri, ada di posisi yang mana kalian
sekarang? masih proses belajar, yang nilainya bagus, jangan cepat puas! Apalagi
sombong. Yang nilainya masih hopang, coba dengan sadar. Jangan terlalu sibu-ribu
dengan yang tidak ada guna-gana tuh, coba dengan sadar. Tuhan tidak turun
tolong kamu supaya nilai mendadak jadi bagus. BELAJAR!” -------- OKE FINE!
Satu hal
yang membuat saya sungguh sangat putus asa saat itu dan, merasa yakin bahwa
saya tidak akan keluar dari Syuradikara hidup-hidup, bahwa Sang Ibu Guru adalah
salah satu yang merekomendasikan saya untuk memilih Jurusan Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA) dari beberapa Guru yang menakar kehebatan siswa/inya dari Nilai
Rapor saat kenaikan kelas. Beliau juga yang mati-matian memaksa saya bertahan
di kelas yang bukan saya pilih ini, yang begitu sangat horror terdengar di awal
Masa Orientasi Sekolah (MOS). Beliau yang menasihati selalu, pun setia
menghantam saya dan kawan-kawan dengan sindiran yang mematikan di tengah
pelajaran berlangsung; “Kalian-kalian ini, sama sekali tidak merasa bersyukur
e, sudah dikasih kemampuan seperti itu, bukannya dimanfaatkan dengan baik.” Kira-kira
senada dengan ungkapan Kepala Sekolah Bertugas saat itu: “Tidak punya hasrat
menaklukan dunia, mau jadi apa kau?”
Sejak awal
pemilihan jurusan, saya sangat ingin bergabung di kelas Bahasa, karena
ketertarikan saya pada sastra dan dunia menulis. Akan tetapi, sebagaimana nasib
remaja berusia 16 tahun di NTT pada umumnya, jalan hidupmu ditentukan oleh
Orang tua, Para Guru, Kepala Sekolah dan Nilai di atas kertasmu. Mereka adalah penentu
mutlak yang lebih memahami kemampuanmu daripada dirimu sendiri. Kau siapa? Keci
ana kemarin sore, macam jago-jago saja. Well!!! Orang tua saya tentu saja
bangga setengah mati, anak saya Jurusan IPA, tidak kalah dengan anak-anak
tetangga, rekan kerja, pejabat, de es be-nya.
Mereka tidak
akan peduli, seberapa pusingnya kau melihat angka-angka tersebut berseliweran
entah dari mana datangnya. Bagaimana kau gugup karena takut akan ulangan umum
dan dipermalukan di seantero kelas. Bagaimana kau berusaha tetap mengimbangi
bakatmu, yang hanya mendapatkan presentasi terkecil dari perhatianmu. Saya bahkan
harus mencuri-curi kesempatan, untuk menuliskan puisi atau cerita ketika mood
puitis saya tengah indah-indahnya, saat Guru Kimia sedang mencampurkan
bahan-bahan di depan kelas hingga berasap dan menggelegak. Euw. Saya tidak
peduli.
Hingga saat
ini, saya masih merasa sakit hati jika mengingat kejadian di atas. Saya dibuat
merasa sebagai manusia paling bodok, goblok, sial, tidak bisa diharapkan dan
kawanannya, jika diketik entah sepanjang apa nanti ini. Kawan-kawan kelas saya
harus tahu, bahwa saya pernah begitu benci bangun pagi dan harus berangkat ke
sekolah karena mesti bergabung dengan mereka, mengikuti pelajaran sembari
mengutuki diri sendiri yang adzubilah min zalik apa isi otak saya ini, sampah?!
Ketika merefleksi
ini, saya kemudian paham bahwa saya marah karena tidak bisa menerima cara Sang
Ibu Guru memperlakukan siswa/inya dengan bijak. Yang membuat saya merasa begitu
sangat tertekan dan putus asa, hingga membencinya. Apakah tidak ada cara lain
lagi, dari sekian juta kemungkinan cara di dunia ini, saat itu sudah Milenium,
Abad 21. Apakah tidak ada cara lain, untuk membuat kami yang BODOK ini menjadi
LEBIH BAIK atau PINTAR sebagaimana lazimnya harapan bangsa yang terpatri sejak
dahulu kala? Apakah hanya dengan cara membuat kami malu, maka kami otomatis
berubah?
Tiga belas
tahun kemudian, saya dipertemukan dengan seorang Guru, bernama Simon Seffi. Yang
menuliskan buku berjudul: Bermain dengan Sentuhan Personal – Agar Siswa Bisa
Baca Tulis Sejak Kelas Satu SD yang di dalamnya juga menjelaskan bagaimana
selama ini siswa/i di NTT sejak tingkat dasar sudah diajar menggunakan metode
kekerasan dan hukuman yang pada akhirnya menimbulkan efek jera karena malu dan
takut. Kekerasan dan hukuman ini, menimbulkan rasa tidak aman dan nyaman kepada
siswa/I yang menyebabkan siswa/I hanya
melakukan apa yang diperintahkan Guru. Mereka bersekolah untuk menyenangkan
Guru, bukan untuk mendapatkan ilmu.
Pada akhir
tahun ajaran, di tahun 2005, saat Pengumuman Kelulusan, saya sengaja datang
terlambat. Saya begitu ketakutan bahwa saya tidak akan lulus dan mempermalukan
kedua orang tua saya. Keluarga saya, tetangga saya dan tentu saja diri saya
sendiri. Saya datang mengenakan baju putih dan rok putih, perpaduan seragam
osis dan yayasan, demi menegaskan (lebih kepada diri saya sendiri) bahwa saya
tidak akan mencoret-coret seragam saya, sebab ini dibeli dengan jerih susah
kedua orang tua yang setiap hari mengomeli saya dan menjelaskan daftar panjang
finansial yang telah dihabiskan untuk anak sulung tak tahu diuntung seperti
saya. Saya tiba ketika Pendopo Syuradikara sudah lengang, dan sialnya saya
berpapasan lagi dengan Sang Ibu Guru yang tetap saja ketus di detik-detik
terakhir: “Mete Seda, kau lulus juga e?”
DEMI DEWA!
Saya memiliki,
hm entahlah apakah ini anugerah atau kesialan, bahwa saya mampu merekam
kejadian yang telah lewat dengan sangat sempurna termasuk percakapan, raut
wajah dan tatapan mata, apa lagi jika kejadian tersebut menimbulkan rasa yang
seperti klimaks di hati dan pikiran saya (semacam orgasme: ada harubiru,
senang, sedih, marah, sakit hati, campur aduk). Entahlah apa namanya, tidak
berlebihan jika kadang saya sangat berapi-api ketika bertemu kawan lama atau
orang dari masa lalu, belum lagi jika dia memberi kesan mendalam, saya akan
mengupas tuntas segala kejadian yang pernah kami lewati bersama. Nostalgia yang
kadang cukup menimbulkan ambigu, bisa senang atau bisa jadi membuat risih apabila
bertemu teman yang tak suka mengungkit-ungkit masa silam.
Bertahun-tahun
kemudian, setelah saya berdarah-darah dan berusaha menerima, memahami dan
memaklumi DIRI SENDIRI, belajar dari banyak hal, syukur kepada Tuhan, saya
doyan membaca, bahkan mungkin nanti hingga masuk liang lahat, bahwasannya SEMUA
MANUSIA DILAHIRKAN JENIUS, tergantung di mana dia berada, bagaimana dia
dididik, dengan apa dan siapa dia bergaul serta bagaimana dia mengolah semuanya,
itu yang akan menentukan MANUSIA SEPERTI APA KITA. Saya belajar untuk tidak
hidup berdasarkan pilihan dan omongan orang lain, saya hidup atas apa yang saya
yakini!
Sampai di
sini, saya mengetik sembari tersenyum. Sok sekali rupanya. Ahai.
---------------------------------
Setelah hampir sebulan saya tidak mengupdate blog pribadi ini, di sebuah misa sore yang sama sekali
tidak bisa mengintervensi suasana hati saya yang kalut, entah mengapa di tengah
konsekrasi, saya malah mengingat peristiwa ini. Dan setelah Komuni, saya begitu
sengit dengan kertas dan spidol yang berwarna senada dengan rok yang sedang
saya pakai. Orange. Entah apa pulak maknanya. Tetapi saya mengamininya sebagai
sebuah jalan perubahan. Saya menulis kembali semua kejadian ini dengan sangat
lancar dan penuh haru. Lalu menyalinnya di laptop saat pulang, dan memostingnya
di sini. Saya tidak tahu, apa manfaat saya menuliskan ini kembali, dan apa
pentingnya kau harus membaca ini? Itu terserah kalian.
Tulisan ini,
rencananya, ingin saya ikutsertakan pada Kumpulan Cerita Alumni Syuradikara Edisi
kedua, yang sampai saat ini juga masih rencana. Sebelumnya, telah ada Kumpulan
Cerita Alumni yang terbit di tahun 2012 berjudul 5900 Langkah. Ada 30 Kisah dari 28 Alumni Syuradikara, dari yang
Preman dulunya di Sekolah sampai yang Unggulan dan selalu diperhitungkan Para
Guru, bergabung untuk menulis di situ. 5900 Langkah, menyimpan banyak cerita,
juga ilmu yang tidak akan kau dapatkan di kelas-kelas Sekolah Menengah Atas dengan
banyak mata pelajaran yang pada akhirnya sebagian besar hanya sia-sia bagi kehidupanmu di masa
depan. Ini serius!
Panjangnya! Tidak ada gambar lagi. Yang kuat yah….hihi…BYE.
Catatan lain saya, tentang masa-masa labil di SMA, bisa dilihat di sini: AKHIRNYA (*Sebuah Refleksi)
Untuk yang punya foto, saya pinjam. saya temukan di google dan ini bagus. Simo Gemi :) |
Ingatan yang bagus, Maria.
BalasHapusKeren, kakak...
BalasHapus