Membaca Kejanggalan demi Kejanggalan
(Catatan kecil tentang cerpen “Janggal” karya Maria Pankratia)
-Sebelum melanjutkan membaca, saya ingin kalian mengetahui bahwa saya sangat berterima kasih dan menantikan hal-hal seperti ini sejak lama. Terima Kasih kepada dia yang dengan telaten membaca, membahas dan mengirimkan ini kepada saya. Salute!-
Ah yah, cerpennya dapat kalian baca pada postingan sebelumnya. Di Blog ini (^^)
Santarang
edisi September 2015
seperti biasa kembali memuat karya-karya
yang menarik. Tiga
cerpen yang berhasil
lolos seleksi dengan
bangga dihadirkan ke
hadapan pembaca: “Pengkhianat” karya
Gusty Fahik, “Janggal” karya
Maria Pankratia, dan “Rumah
Kami” hasil alih
bahasa Mario F.
Lawi terhadap karya
pengarang Argentina, Julio
Cortazar. Dalam tulisan
ini, saya secara
khusus berusaha mengulas
“Janggal” dengan
segenap keterbatasan saya
sebagai pembaca.
“Janggal” sebagian
besar memuat percakapan
panjang antara tokoh
pria dan wanita
perihal pernikahan. Tak
seperti tokoh pria
yang masih menganut
pandangan yang kurang
lebih sama dengan
orang kebanyakan, tokoh
wanita malah sebaliknya,
melihat pernikahan seturut
konsepnya sendiri yang
janggal: menikah jika ingin
(bukan jika siap seperti
pandangan tokoh pria)
dan bebas dari ikatan di
dalamnya.
“Janggal” dibagi
dalam dua bagian,
memiliki alur yang mengalir maju
dan latar yang
samar-samar tersirat. Bagian
pertama berisi percakapan
antarkedua tokoh tentang
pandangan perihal pernikahan
dan berujung dengan
kesepakatan mereka untuk
menikah. Percakapan itu
berlangsung di lingkup
latar yang sempit:
suatu senja yang
dingin. Latar luasnya
sulit ditebak, mungkin
menjurus pada ‘negeri
dengan kisah 1001
malam’(?) yang sedikit
disinggung pada bagian
kedua. Narasi yang
cukup panjang baru
ditemui di bagian
kedua, perihal kedua
tokoh yang pada
akhirnya menikah. Bagian
ini juga masih
melibatkan percakapan menjelang
akhir cerita, melanjutkan
pembicaraan tentang masalah
pernikahan yang sama.
Dari sedikit keterangan
tentang busana pernikahan
berupa ‘ragi’ dan ‘lawo’ (sarung
untuk lelaki dan
perempuan Ende-Lio), permasalahan
‘belis dan
bayaran air susu
ibu’, dan aksi ‘mematung
di depan altar’, dapat
diduga bahwa latar
pada bagian kedua
ini adalah suatu
tempat di Ende-Lio,
berikut situasi masyarakatnya
yang memegang teguh
adat istiadat dan
ajaran Katolik.
Seperti
judulnya, saya memang
benar-benar menemukan hal
yang janggal sejak
awal cerita. Betapa
tokoh wanita dalam
cerpen ini sungguh-sungguh janggal,
punya pemikiran yang
tak lazim tentang
masalah pernikahan: “Sebenarnya, aku
hanya ingin menemui
seorang lelaki yang
seturutku memiliki kualitas
mumpuni. Kami akan
melakukan dengan hasrat
yang sadar dan
penuh cinta tanpa
perlu ada ikatan.
Cukup seperti itu,
saat itu dan
kemudian dia boleh
pergi.” Tokoh wanita
ini ingin menjadi
orang tua tunggal,
hidup bahagia bersama
anaknya tanpa perlu
menaruh peduli pada
laki-laki yang kelak
menghamilinya. Pemikiran tersebut
terasa semakin tak
lazim jika dihubungkan
dengan latar cerpen
tersebut. Bukankah pemikiran
tokoh wanita benar-benar
janggal, penuh negasi
terhadap paham pernikahan
menurut adat istiadat
dan ajaran Katolik
yang monogami dan
tak terceraikan?
Menariknya
bahwa tokoh pria
tetap nekat mengajak
lawan bicaranya itu untuk
menikah. Tidak menjadi
masalah jika ia berseberangan
dengannya dalam pandangan
perihal pernikahan. Tetapi
bukankah mereka sama-sama
saling mencintai, (‘telah lama
bersama, menyublim dingin
menjadi hangat harapan’)? Jika
bagian pertama dipenuhi
‘aksi’ tokoh wanita
dengan pandangannya yang janggal, maka
bagian kedua menjadi
‘reaksi’ tokoh pria
dalam menanggapi dan
melawan isi pemikiran
tokoh wanita. Ia
pulang, menghadap orang
tuanya, mengurus segenap
persiapan, dan melangsungkan
pernikahan dengan tokoh
wanita beberapa hari
berselang yang disambut
banyak orang dengan
rasa kurang percaya.
Tetapi ia sendiri
menaruh percaya dalam
dirinya, bahwa pemikiran
janggal tokoh wanita
dapat dipatahkan dengan
pemikiran Pavlov: “Bagaikan anjing,
manusia pun dapat
dikondisikan sesuai dengan
mereka yang mengkondisikannya.” Ia
kemudian menerjemahkan pemikiran
Pavlov tersebut dalam
kalimatnya sendiri kepada
tokoh wanita di
ranjang besi pada
malam pertama mereka:
“Mulailah membiasakan
diri memujaku lebih
dari apapun kecuali
Tuhanmu, mungkin semua
impianmu akan beradaptasi
perlahan.” Entah konsep
pemikiran tokoh pria
atau wanita yang akan memenangkan
pertarungan itu, entah
mereka akan tetap bersama-sama
membangun rumah tangga
atau tokoh wanita
akan meninggalkan tokoh
pria setelah ia
mendapatkan apa yang
diinginkannya, tak dijelaskan
lebih lanjut. Cerita
tergesa ditutup dengan
akhir yang menggantung.
Pembaca tinggal memilih,
cerita itu akan
berlangsung ke arah
mana, sesuai tafsir
dan versi masing-masing.
Pada
pembacaan selanjutnya, ditemukan
bahwa kejanggalan dalam
cerpen ini tidak
hanya berhenti pada
pemikiran tokoh wanita.
Kejanggalan juga nyata
dalam bentuk cerpen.
Lihat saja rangkaian
panjang percakapan antarkedua
tokoh. Setiap percakapan
diawali dengan keterangan
siapa tokoh yang
berbicara, wanita atau
pria. Hal ini
mirip dengan perwajahan
kebanyakan teks drama,
hanya saja dalam
cerpen ini, tanda
baca yang mengikuti
siapa tokoh yang
berbicara, berupa tanda
titik, bukan tanda
titik dua. Kejanggalan
yang satu ini
dapat dilihat sebagai
kelebihan dari cerpen
ini. “Janggal” berusaha menghadirkan
bentuk yang berbeda.
Hanya saja, jika
bentuk seperti ini
tidak dikembangkan lebih
lanjut dan tetap dipertahankan untuk
percakapan yang lebih
panjang lagi, maka
pembaca akan cepat
terjebak dalam rasa
bosan. Berbeda dengan
drama, meskipun kadang
terasa membosankan dari
segi teksnya, tetapi
akan berubah menjadi begitu
menarik jika telah
dipentaskan di atas
panggung, sebab usaha
aktor/aktris dalam mengolah
gesture, mimik,
intonasi suara dan
sederet keahlian mereka,
benar-benar mampu menghidupkan
suasana yang tidak
terdapat dalam teks
drama. Lain masalahnya
dengan cerpen yang
hanya selesai dengan
pembacaan, bukan pementasan.
Pembaca harus membayangkan
sendiri segala hal
yang ada dalam
cerpen. Karena itu, pembaca sangat
membutuhkan bantuan penulis
untuk memudahkannya dalam membayangkan segala
hal tersebut. Dengan
demikian, akan menjadi
semakin menarik jika
di antara percakapan
panjang antarkedua tokoh
dalam cerpen ini,
disisipi narasi-narasi kecil,
entah yang menerangkan
emosi para tokoh
dalam mempertahankan pemikiran
masing-masing, entah aksi-aksi
lainnya selain minum
kopi yang menyelingi
percakapan,entah alasan mendasar
mengapa pemikiran tokoh
wanitamenjadi begitu janggal,
atau entah menjelaskan
latar yang masih
samar-samar sepanjang tubuh
cerpen. Tentang hal
ini mungkin dapat
dipelajarimelalui cerpen “Seribu Kunang-Kunang
di Langit Manhattan” karya
Umar Kayam.
Tak
sampai di situ.
Masih terdapat juga
kejanggalan kecil yang
tak boleh dianggap
sepeleh. Pembacaan terhadap
cerpen ini sedikit
diganggu dengan kehadiran
kata ‘pria’, ‘lelaki’,
dan ‘laki-laki’. Ketiga
kata ini tentu
menjelaskan hal yang
sama. Akan semakin
menarik jika penulis
konsisten hanya menggunakan
kata ‘pria-wanita’ atau
‘lelaki-perempuan’ saja tanpa
mencampuradukkan pasangan kata
yang tak sepadan.
Demikian kejanggalan
demi kejanggalan yang berhasil saya
temukan dalam cerpen
“Janggal” karya
Maria Pankratia. Barang
siapa berhasil menemukan
kejanggalan yang berbeda
dari yang sudah
dipaparkan di atas,
diharapkan sesegara mungkin
disampaikan kepada penulisnya.
Mohon maaf jika
ada kata yang
salah, dan saya
sangat menggarapkan ‘serangan
balik’ dari penulis
“Janggal” untuk
membongkar segenap kejanggalan
dalam cerpen-cerpen saya.
Sekian. Salam sastra.
(Afryantho Keyn)
Kereen bahasannya....jadi mau baca janggalnya...☺(y)
BalasHapus