JANGGAL
(Sebuah cerpen #Maria Pankratia)
*Edisi pertama yang dimuat pada Jurnal Santarang September 2015, belum tersentuh editan lanjutan oleh saya. Hm, sengaja, karena relasinya erat dengan postingan berikut pada blog ini, setelah cerpen ini.
Telah lama mereka bersama dan di
suatu senja yang dingin, ketika hangat wangi kopi perlahan menyeruak,
percakapan ini terjadi;
Pria : Apakah kau pernah berpikir tentang menikah?
Wanita :
Sering, kenapa?
Pria : Lalu, kapan kau akan menikah?
Wanita :
Kapan jika aku ingin
Pria : Bukan jika kau siap?
Wanita :
Siap tidak siap tergantung keinginan, aku begitu.
Ia melanjutkan
Wanita
: Sebenarnya, aku hanya ingin
menemui seorang lelaki yang seturutku memiliki kualitas mumpuni. Kami akan
melakukan dengan hasrat yang sadar dan penuh cinta tanpa perlu ada ikatan.
Cukup seperti itu, saat itu dan kemudian dia boleh pergi.
Pria : Waow, bagaimana hidupmu setelah itu?
Wanita
: Aku akan menjadi orang tua tunggal
paling keren sepanjang masa pastinya.
Pria : Aku akan menyimpulkan bahwa kau akan menantikan
seorang anak dari hubungan itu dan menghabiskan sisa hidupmu
dengannya?
Wanita :
Tepat sekali.
Pria : Bapaknya?
Wanita :
Aku tak peduli, dia boleh pergi.
Pria : Sebuah cita-cita yang janggal
Wanita
: Janggal bagaimana? Aku tidak
sedang memikirkan sensasi. Aku memikirkan keinginanku.
Pria : Bagi orang banyak dan lingkunganmu, kamu tetap saja
berusaha menarik perhatian. Lagakmu!
Wanita :
Kamu mengadiliku? Tidak Sopan!
Pria : Tidak begitu, hidupmu tidak akan membahagiakan orang
lain yang melihatmu.
Wanita :
Maksudmu aku egois?
Pria : Bisa jadi
Wanita :
Apa kau pernah membayangkan seorang isteri sepertiku?
Pria : Beberapa kali, bahkan saat ini.
Wanita :
Bayangan seperti apa yang kamu miliki?
Pria : Jalan untuk menemukan siapa diriku melalui seseorang
sepertimu akan mudah, namun apakah aku bisa melakukan hal yang sama untuk
wanita sepertimu?
Wanita :
Kalau begitu tak perlu dibayangkan!
Pria : Menikahlah denganku!
Wanita :
Mengapa kau berubah sinting?
Pria : Aku serius.
Wanita :
Lalu?
Pria : Aku butuh jawabanmu.
Wanita :
Jika kau bertanya saat ini maka aku akan menjawab “Aku Mau”
Pria : Baiklah, kita akan menikah. Minggu depan.
Wanita
: Aku tidak jamin apakah keinginanku
menikah minggu depan masih sama dengan keinginan menikahku sekarang. Saat kau
bertanya ini.
Pria : Terserahmu. Kita menikah. Minggu depan.
Wanita :
Baiklah
Mereka meneguk kopi masing-masing
dan berbicara lagi.
Wanita :
Kau akan mengenakan tuxedo? Apa yang harus aku kenakan?
Pria : Ternyata kau sama saja seperti wanita kebanyakan,
repot dengan hal-hal semacam itu.
Wanita
: Yah, sesekali aku membayangkan hal
seperti itu dengan serius dan menyayangkannya, karena itu hanya akan berhenti
pada khayalanku saja.
Pria : Aku akan mengenakan *ragi dan bertelanjang dada.
Wanita :
Pelit Sekali.
Pria : Hahahaha..kau mengatakanku pelit tanpa menanyakan
alasannya.
Wanita
: Tapi itu memang pelit, kau tidak
ingin mengeluarkan sepeser pun untuk pernikahanmu.
Pria : Sabar dulu. Sarung itu jauh lebih mahal dan memiliki
makna berlapis-lapis dibandingkan seperangkat tuxedo yang akan membuatku panas.
Jika kau katakan aku pelit karena aku akan bertelanjang dada, itu karena kau
meracuni dirimu sendiri dengan khayalanmu
Wanita
: Rasa-rasanya, justru kau yang
sedang meracuniku sekarang. Dengan khayalanmu.
Pria : Mungkin saja
Wanita :
Katakan padaku, apa alasanmu?
Pria : Entahlah, ada sesuatu yang menggairahkan dan penuh
geliat spiritual jika aku melakukannya seperti itu. Aku sudah memberitahumu
Wanita :
Baiklah, biarkan aku mengenakan *lawo
dan bertelanjang kaki
Pria : Kau sangat cepat mengimbangiku. Apakah kau kecewa?
Wanita
: Tidak sama sekali. Aku
menginginkan hal yang sama dan tidak memiliki alasannya. Meskipun akhirnya ini
terjadi, aku tetap belum percaya bahwa kau yang mewujudkannya.
Pria : Racun
khayalanmu sungguh bekerja keras. Semesta mendengarkannya.
***
Seminggu berlalu, pria dan wanita
itu telah mematung di depan altar, di hadapan ratusan mata yang tak percaya.
Bukan karena dandanan pengantinnya yang terlalu biasa dan malah menjadi sangat
tak biasa, namun karena selama seminggu ini tidak pernah ada kabar berita dan
hiruk pikuk tentang pernikahan mereka. Dua hari yang lalu, sang mempelai pria
kembali dari negeri dengan kisah 1001 malam, membawa kabar bahwa Ia akan
menikah dengan seorang wanita yang telah lama berdiang disampingnya. Ia katakan
pada kedua orang tuanya, mereka telah lama bersama, menyublim dingin menjadi
hangat harapan. Sang Ayah haru biru mengundang handai taulan dan besan,
berjibaku tentang *belis dan bayaran air
susu ibu. Tetapi sang anak hanya mendaraskan doa agar semuanya melebur
menjadi restu, wanitanya harus bertahan, paling tidak untuk seminggu, dengan
keinginan yang masih sama. Setelah itu Ia akan bekerja keras lagi, meyakinkan
dan melakukan yang Ia pikir benar dan tepat bagi wanitanya.
Malam itu, setelah ramah-tamah yang
jauh dari sederhana sebab dipenuhi
tangis keharuan dan nasehat menyesatkan tentang kehidupan keluarga yang
ideal dan menyenangkan menurut manusia kebanyakan, pria dan wanita itu terdiam
di ranjang besi tua, peninggalan dari generasi ketujuh keluarga sang pria.
Wanita itu lalu membuka perbincangan dengan kalimat yang datar membosankan
Wanita :
Kita menikah
Pria : Pada akhirnya
Wanita :
Cepatlah menghamiliku
Pria : Lalu kau akan meninggalkanku seperti rencanamu?
Wanita
: Kita lihat saja, segala sesuatu
bisa terjadi. Bahkan hewan pun akan terbiasa bila terus dilatih, apalagi
manusia.
Pria : Seperti kutipan dari Pavlov “Bagaikan anjing, manusia pun
dapat dikondisikan sesuai dengan mereka yang mengkondisikannya”
Wanita :
Yah, dari mana kau tahu tentang itu?
Pria : Kau lupa, kita berdua membahasnya saat kita
mendapatkannya bersama.
Wanita :
Mengejutkan, kau masih mengingatnya.
Pria : Pada pelatihan menulis itu, lebih banyak hal
mengejutkan yang terjadi. Salah satunya kutipan Pavlov yang itu
Wanita :
Kau mau membicarakan masa depan?
Pria : Kau tidak akan menyukainya
Wanita :
Hahahaha…kalau begitu apa yang kau inginkan dariku, saat ini
Pria : Mulailah membiasakan diri memujaku lebih dari apapun
kecuali Tuhanmu, mungkin semua impianmu akan beradaptasi perlahan.
Wanita :
Sungguh ideal, kita jalani saja dulu yah
Pria : Omonganmu, seperti kita tidak menikah siang tadi
Wanita :
Saatnya kita berpelukan
Gengaman jemari sang pria sangat lekat dan sang wanita mengamininya
sebagai harapan. Mereka akan bahagia dengan caranya sendiri. Itu pasti.
Selesai~
*Ragi : Sarung untuk laki-laki
Ende-Lio
*Lawo : Sarung untuk wanita Ende-Lio
*Pavlov
: (1849-1936)
0 komentar: