Membahana di Borneo #OMK \m/

Rabu, Desember 12, 2012 Pankratia Da Svit Kona- 0 Comments

PART III. Welcome to BEDUAI

21 Oktober 2012
Pagi sendu di Batang Tarang, belum banyak aktivitas terjadi. Mario sempat merekam moment saat kawan-kawan masih terbuai mimpi karena kelelahan. Ada yang mulai terjaga dan terburu-buru mencari kamar kecil. Dan saya, termenung menatap sejurus pada langit dan alam sekitarnya. Masih mendung dan lembab, rerumputan segar hijau. Pastor paroki datang dan menyarankan kami untuk membersihkan diri karena sarapan pagi akan disiapkan. Dibelakang sana ada sungai jika kalian ingin mandi. Waow, SUNGAI! Hm… tapi akibat hujan semalam, sungai tersebut Nampak sangat kecokelatan serupa lumpur, selera berendam saya pun hilang apalagi semua peralatan dan perlengkapan saya masih berada di bagasi Damri yang mogok. Saya pun lebih memilih menjelajahi tepian sungai yang juga ditanami jagung. Dekat dengan sungai tersebut terdapat sebuah Gua Maria yang sedikit tidak terurus. Saat itu saya pergi bersama Galih (OMK Mataram), kami berdiam di Gua kurang lebih sangat lama (hahahaha…) tentu saja untuk menyapa dan berngobrol ria dengan Ibunda Maria Tercinta. Dan kesimpulan akhirnya, Kami tidak jadi mandi melainkan cuci muka serta menyikat gigi dengan Aqua saja lalu bergabung bersama kawan-kawan dari Purwekerto untuk Sarapan pagi. Dan sejak semalam saya tidak menemukan cabe atau sambal disini. Ada apa yah???? Makanan terasa dua kali lebih manis ditambah rupa saya yang memang sudah aduhaii belum mandi seharian. Huahahahha…
Khabar baik datang bersama dengan kehadiran Wina, Damri pengganti yang akan membawa kami ke Beduai sudah tiba. Kami boleh mengambil bagasi masing-masing dan menaiki Damri penyelamat tersebut. Semua siap, anggota lengkap, doa pengantar perjalanan sudah terungkap dari Rm. Eman sebagai pemimpin dan kami pun kepakan sayap alias terbang melaju menuju Beduai melewati ribuan batang-batang pohon kelapa sawit, tanah rawa, ladang yang dibakar sebelumnya untuk dipakai menanam lagi dan banyak pemandangan lainnya.

Fenomena Kursi Plastik
Ini adalah lelucon paling menarik selama perjalanan menuju Beduai. Terdapat beberapa kawan yang berdesak-desakan dan harus berdiri dalam Damri karena kekurangan tempat duduk termasuk saya. Sekitar 30 menit kami bertahan dan masih berusaha bertahan ketika tiba-tiba pak supir berhenti dan bertanya : berapa orang yang berdiri. Yang pasti ada 4 orang lah, karena kapasitas Damri ini untuk 40 orang penumpang dewasa. Kami berhenti di sebuah RM. Padang (saya lupa di daerah mana tepatnya) kemudian sang kernet turun dan mengambil susunan kursi plastik berjumlah 4 buah kemudian dinaikan ke atas Damri. Diletakanlah kursi tersebut pada lorong antara kursi penumpang dan luar biasa ukuran lorong tersebut cukup untuk empat kursi yang kami jejali. Dan fenomena ini tercatat lagi dalam sejarah perjalanan kami, pertama kalinya dalam hidup saya duduk diatas kursi plastik di dalam Damri di Pulau Kalimantan. Hahahaha, salah satu video rekaman Mario berhasil menjadikan moment ini sangat lucu karena ada Uskup Mgr. Heldy Ardiansyah (OMK St. Yosep Kepundung) yang membawakan Khotbah Kasih itu Sabar melalui Kursi Plastik titisan Tuhan. Huahahahaha….

Beduai~Dari sebuah cerita menjadi sebuah kenangan semata

Pancung Bulu Muda*
Jam menunjukkan pukul 11 siang Waktu Beduai tentu saja, Damri kami tiba dan berhenti tepat di depan Paroki Salib Suci Beduai. Tak terhingga banyaknya mereka yang menanti, tak terkira harubiru hati ini. Sebegini hebatnyakah kami sehingga dinanti semalaman sampai seharian ini? Ataukah tulus hati merpati memang menghuni hati orang-orang Beduai. Kami digiring santai menuju pelataran gereja dan di sambut dengan sebuah acara yang diberi label “Pancung Bulu Muda”
Acara ini antara lain diawali dengan pengalungan bunga kepada tiga perwakilan kontingen yaitu Ketua Rombongan diwakili Rm. Yomi, Peserta Laki-laki diwakili Frans dan peserta perempuan diwakili Lisa. Dilanjutkan dengan sapaan dan doa dalam bahasa daerah setempat yang dilakukan oleh seorang tetua adat. Kemudian percikan air dengan menggunakan daun Sabang sebagai symbol penerimaan dan kami semua dipersilahkan meminum Tuak yang telah disediakan dalam bulu muda (bambu muda yang berbentuk kecil yang biasa digunakan untuk membuat seruling bambu tapi yang ini jauh lebih kecil) masing-masing kami mendapatkan satu. Aduhai, betapa saya suka tradisi ini. Hahahahaha…. Setelah itu salah satu perwakilan dari kontingen kami yaitu Romo Yomi yang didaulat untuk memancung bulu muda alias memotong sebuah bambu hijau panjang yang masih dipasang melintang di hadapan kami lalu menginjak telur di atas piring berisi air hingga pecah. Filosofinya : bambu tersebut adalah pembatas antara kami dan masyarakat setempat karena kami adalah pendatang. Saat bambu tersebut di potong, maka hilanglah pembatas antara kami. Kami semua tidak lebih, tidak kurang adalah sama sekarang. Keluarga besar.

Misa Pembukaan dan Perkenalan*
Acara dilanjutkan dengan Misa Pembukaan. Di iringi tarian dayak kami dibawa masuk ke dalam gereja. Dan astaganaga Indonesia, KAYA BETUL! Saya mungkin selama ini hanya membolakbalik lembaran dua ribuan dengan rasa penasaran. Seperti apa tarian dayak itu? Dan sekarang, dari pantulan mata saya melambai-lambai tangan para penari dengan gemulai yang membahana sampai-sampai senyum saya tak putus memberi luapan kegembiraan. Petugas Liturgi adalah kawan-kawan OMK Salib Suci Beduai. Yang saya sukai dari Pasukan Koor anak-anak Beduai ini adalah, Kreativitas bermusik yang heboh. Bayangkan saat Gong dipadukan drum dan bambu lalu keyboard. Kaya dan mahal hasilnya, teman! Khotbah Romo Gaspar selaku pemimpin misa hari itu membawa kami pada refleksi yang dalam. Allah memberikan diriNya kepadamu dalam Yesus dan Yesus telah melakukan segala sesuatu diluar pikiran manusia. Kita adalah cerminan kehadiran Tuhan untuk menebus dan menyelamatkan dunia ini. Tuhan memberikan banyak, memberikan dunia, gereja dan masyarakat ini kedalam kiprahmu, di dalam hatimu dan Tuhan mengharapkan banyak kepadamu. Amin Romo.
Selesai Misa Pembukaan, acara perkenalan. Perkenalan pertama datang dari Pastor Paroki setempat. Adalah Romo Patrisius Dua Witi, CP selaku Pastor Paroki Salib Suci Beduai dan Romo Gaspar Lengary, CP sebagai Pastor Pembantu. Paroki beduai terdiri dari 22 Stasi yang tersebar di sepanjang Kecamatan Beduai. Lokasi Live in kami akan dibagi kedalam tiga wilayah yang tersebar di sepanjang jalan raya propinsi yaitu Stasi Pemodis, Stasi Tanjung Ungan dan Stasi Muara Illai. Hanya membutuhkan waktu satu jam dari Beduai menuju Serawak-Malaysia dan dua jam menuju pusat pemerintahan di Kabupaten Sanggau.
Berikut adalah perkenalan dari Peserta IYD Kontingen Keuskupan Denpasar. Dengan wajah penuh kantuk dan dekil karena belum mandi sejak kemarin kami mencoba tebal muka dan maju satu persatu untuk memperkenalkan diri. Gila, sampai didepan langsung hilang seketika kantuk ini. Manusianya segini banyak sampai menyempil diluar karena terlalu penuh didalam gereja. Tuhan maha besar.
Selesai upacara di gereja kami di undang ke Ruang Pembinaan atau Aula Paroki SSB. Disini kami akan tau siapa orang tua angkat kami selama di Beduai. Tetapi sebelum dibagikan rumah, kami di ajak bersenda gurau dahulu dengan kawan-kawan OMK SSB. Pada kesempatan ini kami dikenalkan dengan lagu paling keren selama di Beduai “…Adil Katalino Bacuramin Ka' Saruga. Basengat Ka' Jubata... lagu ini diciptakan oleh Wakil Bupati Kabupaten Sanggau yang juga adalah Ketua Panitia Lokal IYD 2012. Keren kan??? Hehehehe… setelah performance dari kawan-kawan SSB, kami diminta unjuk gigi juga. Dengan kekuatan tersisa kami pun tak mau kalah. Lagu Kasih Yesus dengan gerakannya yang nyentrik serta Jingle OMK Keuskupan Denpasar kami nyanyikan. Setelah ramah-tamah selesai, saatnya kami dibagikan rumah 

Keluarga saya di Tanjung Ungan*
Namanya Vera, anak dari Bapak Andreas dan Ibu Samina ini menjadi Wali saya saat menerima saya sebagai anak angkat di Aula Paroki SSB. Putri ketiga dari Empat bersaudara ini menamatkan SMUnya dua tahun lalu, sangat pandai membawa diri, dan tentu saja menarik. Saya dibawa pulang ke rumahya saat itu juga setelah nama saya dipanggil dan Vera ditunjuk sebagai wali saya. Rumah Vera terletak di stasi Tanjung Ungan. Sekitar 15KM dari Gereja SSB, itu artinya kami harus menggunakan kendaraan. Diboncengi teman Vera yang bernama Eva Karena Vera diboncengi Pacarnya, kami menuju Rumah Vera. Tiba di Rumah, sudah menanti sekeluarga. Ada Bapak Andreas, Mama Samina dan Saudara perempuan dari Bapak Andreas ada pula keponakan Bapa Andreas yang datang dari kampung karena ada sedikit urusan. Saya di dudukan di antara mereka, sementara Vera membawa masuk tas pakaian saya ke dalam kamar yang akan saya tempati. Rumah panggung kayu ini sederhana dan nyaman. Saya langsung betah! Gak tau malu, hahahaha. Duduk lesehan dihadapan makanan yang beraneka ragam dan belum pernah saya lihat itu memang sedikit ajaib karena saya terkenal lapar mata. Okeh ada Lemang yaitu beras ketan putih yang di bakar didalam irisan bambu (seperti bahan gedek bambunya), kalau dikasih santan namanya akan sedikit berbeda menjadi bangkak. Ada bangkak bujang dan bangkak solong. Ada pisang goreng, ada teh hangat dan ada TUAK atau ARAK BERAS tak tanggung-tanggung disuguhkan dua botol sekalian. Dipersilahkan menuangkan duluan, saya yang sudah sering minum karena tradisi di Flores juga kurang lebih sama malah menuangkannya segelas penuh yang akhirnya ditertawakan pacar Vera. “Sanggup habiskan?” Tanyanya. “Harusnya dikit-dikit biar gak pusing..” Hm.. gitu yah. Saya bagikan dengannya kemudian dengan wajah bersemu merah. Ketahuan doyan. Huahahaha. Banyak bercerita dengan Bapak, Mama dan Saudara perempuan Bapak juga Fajar (Pacar Vera) sebelum kejadian ini berlangsung. Jadi keponakan Bapak yang tadi ikut duduk bersama, tiba-tiba hendak pamit karena ada urusan lagi. Dia kemudian menyentuh semua makanan yang ada lalu menaruh tangannya di dada dan permisi pergi. Melihat kebingungan saya, Saudara Perempuan Bapak langsung menjelaskan. Itu tadi namanya Pulopas atau Cempalek. Tradisi pamit terhadapa makanan yang ada agar saat di jalan tidak mendapatkan celaka. Dahulu, jika tradisi ini tidak dijalankan maka saat di jalan setan akan merasa Pusam artinya dia boleh mengisap darahmu karena kamu sudah berlaku kurang ajar terhadap orang tua dan makanan. Waow…. Pelajaran : Jangan tinggalkan makanan saat masih terhampar di atas meja begitu saja, makanan tersebut akan merasa malang dan ditinggalkan serta tidak dibutuhkan lagi. Mungkin saja dia akan bekerjasama dengan setan-setan sekitar untuk memberimu pelajaran. Alam memiliki caranya sendiri. Hahahaha… Filosofi saya berlebihan.

Suasana kekeluargaan dan keramahan ini harus saya tinggalkan karena Vera sudah menyiapkan makan siang. Meski dengan perut yang kekenyangan, saya tetap harus menghargai Vera yang sudah menyiapkan semuanya untuk saya. Kami makan bertiga dengan tetangga Vera yang membantunya masak namanya aster, tak ada lagi waktu istirahat karena kegiatan berikutnya menanti. Selesai makan, saya istirahat sejenak lalu bersama Vera menyebrangi jalan menuju sungai. Mandi!
Pengalaman pertama mandi di sungai adalah saya sedikit ragu karena airnya yang kecokelatan dan hanya memakai sarung. Dalam nama Yesus, Aman! Hahahaha… air yang sejuk dan suasana hutan yang tenang justru menghilangkan kekhawatiran saya yang tadi sangat kuat mengganggu. Ritual mandi berlangsung lancar dan persiapan menuju gereja. Tiba di Gereja, doa akan segera di mulai. Doa Taize ini dipimpin oleh Romo Gaspar. Dikemas menjadi sebuah doa dengan perenungan yang dalam tentang refleksi perjalanan hidup sebagai Orang Muda Katolik. Selama satu setengah jam kami dibawa kedalam suasana yang khidmat. Selesai berdoa, Romo Gaspar menyampaikan susunan acara untuk hari berikutnya dan diharapkan para peserta tetap disiplin menjalankan kegiatan sesuai jadwal yang telah dibagikan. Kami dipersilahkan kembali ke Rumah masing-masing untuk beristirahat dan menyiapkan diri menyambut hari besok.
Saya dan Vera tidak langsung ke rumah karena di undang makan malam oleh Kakak Sepupu Vera Kak Yanto Yang adalah Pegawai Kementrian Agama Kabupaten Sanggau dan saat ini tengah bertugas mengajar di SMP Beduai. Kak Yanto adalah teman berdiskusi yang hangat, setelah melewati perbincangan yang panjang saya akhirnya tau kalau beliau dulunya adalah kawan sekelas Rm. Kadek (Paroki St. Immaculata Mataram) di Seminari Tinggi Duta Wacana Malang. Ini Kebetulan yang macam apalagi saya bingung, yang pasti saking senangnya saya tidak berhenti nyerocos. Hahahaha. Kami melewati makan malam yang menyenangkan dengan daging babi kampung (istilah orang sana,tak ada lemak sedikitpun) yang lezat tentu saja. Di Beduai, masyarakatnya suka mengkonsumsi Rebung (pucuk bambu), sawi ladang yang lebih sempit daunnya dan terasa sedikit masam saat di tumis, tunas jagung yang masih sangat muda ditumis campur dengan timun ladang (buahnya sedikit berbeda, lebih kecil) lalu ada pucuk daun singkong yang direbus bersamaan dengan batangnya kemudian di luruh sendiri saat akan di makan. Pengetahuan kuliner baru ini membuat saya merasa lebih kaya lagi sebagai orang Indonesia. Selesai makan malam, karena waktu sudah sangat larut saya dan Vera pun pamit kembali ke Rumah dan tak lupa berterima kasih atas makan malam yang enak dan obrolannya yang sengit :)

0 komentar: