Budaya Tradisi Sebagai Jati Diri
Usia saya mendekati seperempat abad, ketika saya mulai melihat dunia dari sisi yang disebut Tradisi, Kebudayaan, Sejarah dan Alam. Dulunya, saya belum cukup menyadari bahwa saya sungguh tulus tertarik pada hal ini. Terkadang ragu-ragu saat menguping Ibu yang sedang merapalkan doa dalam bahasa Ibu (Bahasa daerah Ende-Lio, red), di daerah saya hal ini disebut “sua sasa” seperti mendoakan keselamatan jiwa orang-orang yang kita sayangi dalam sebentuk syair yang lumayan panjang dan be-rima. Catat : tanpa teks. Itu alamiah. Dan Ibu saya sendiri mengaku, beliau tidak pernah mempelajari khusus semua mantra-mantra tersebut kecuali selalu menyimak dengan seksama saat Nenek melakukan hal yang sama di masa Ibu beranjak dewasa seperti saya. Hal lain yang membuat saya merasa terganggu adalah membuktikan makanan yang dinamakan sesajen itu sungguh-sungguh menjadi dingin setelah di diletakkan dan didoakan. Jadi ini seperti riset , saat itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar dan Kakek meninggal dunia. Saya cukup sedih meskipun belum paham arti kehilangan yang sesungguhnya. Kemudian Ibu melakukan kebiasaan ini selama kurang lebih 40 hari setelah kakek meninggal. Apapun bentuk makanan yang Ibu masak hari itu, istimewa atau biasa saja. Beliau akan menyisihkannya untuk Kakek (Ibu melakukan ini juga saat ada perayaan di rumah atau hari raya tertentu. Bukan hanya untuk Kakek tetapi untuk para leluhur yang telah meninggal baik dari keluarga ayah maupun keluarga Ibu), informasi ini membuat saya penasaran karena sesuai akal sehat anak seusia saya saat itu “Bagaimana cara kakek akan memakannya? Sementara jasadnya telah dilapisi semen dan marmer biru disamping rumah..hm,,,” lagipula porsi yang Ibu sediakan untuk Kakek sungguh tidak masuk akal, nasi dan daging atau sayuran itu dipisah-pisah diletakkan pada piring kecil-kecil kemudian segelas kecil arak. Yah Kakek saya kadang suka menenggak arak sebagai tradisi atau juga karena Kakek menyukainya tapi apakah isi seloki kecil itu tidak akan cukup lama mengalir di tenggorokannya? Apa-apaan Ibu ini. Sampai akhirnya Ibu mengajak saya bersama-sama duduk, memasang sebatang lilin dan bersama-sama mendaraskan doa. Hanya Ibu yang berkata-kata sementara saya terdiam dan mendengarkan Beliau mengucapkan kata demi kata dalam bahasa daerah yang saya pahami sebagai ajakan agar Kakek datang dan menikmati hidangan yang sudah disediakan. Selesai berdoa, Ibu menyuruh saya menunggu disitu selama yang saya bisa.Kata Ibu,” kalau sudah 30 menit kau raba makanannya. Jika sudah terasa sangat dingin baru boleh kau bereskan, boleh juga kalau kau mau menghabiskan. Berbagilah dengan adikmu.”
Dan saya sungguh menantikan makanan tersebut selama kurang lebih 30 menit sambil terus melirik pada jam dinding dengan perhitungan yang kasar. Setelah merasa yakin 30 menit sudah terlewati saya mendekati makanan itu dan menyentuhnya dengan jari. Luar biasa, dinginnya makanan itu tidak normal sebagaimana suhu di ruangan ini. Ditambah lagi musim dingin tidak sedang berlangsung, darimana rasa dingin itu datang? Saya duduk didepannya sejak tadi, tak ada seorangpun yang menumpukkan es disamping atau dibawah piring-piring tersebut sehingga makanan itu menjadi luar biasa dinginnya. Saya menghampiri Ibu dan menceritakan yang hinggap di kepala saya saat itu. Penjelasan Ibu saya terima dengan akal seorang anak saat itu dan hingga kini saya menyimpannya dengan baik. Terkadang ada hal yang tidak bisa dijelaskan dan harus kamu pahami dari dunia ini.
Kata Ibu, “kalau sudah dingin sekali artinya Kakek sudah datang dan makan makanan itu, orang mati memiliki caranya sendiri untuk menikmati sajian kita.”
Hingga setelah tamat SMU saya harus melanjutkan pendidikkan saya ke jenjang selanjutnya di Pulau Seribu Pura, Bali. Di pulau ini masyarakatnya akan menaruh canang yang dipercaya sebagai sesajen bagi para leluhur dan penjaga tanah ini setiap tiga jam sekali. Lebih sering dari yang Ibu lakukan di rumah. Saya yakin di Nusantara yang luas nan beragam serta kaya raya ini, para penghuninya memilik cara masing-masing untuk menghormati NENEK MOYANG mereka.
Itu jejak awal, saat dimana saya perlahan memahami ketertarikan ini justru menjadi magnet berkala yang terus membawa saya pada pengalaman-pengalaman hidup selanjutnya dan memastikan Siapa saya. Jati diri saya sebagai orang Indonesia yang memiliki Budaya dan Tradisi.
Entah Siapa Nenek Moyang-ku yang pasti bukan pelaut karena Dusun Ayah saya maupun Ibu Saya terletak di pegunungan. Tetapi saya mensyukurinya, sesering mungkin saya ke kampung agar bisa menikmati alam liarnya yang rupawan dan masih jauh dari sentuhan manusia (Kami tinggal di kota kabupaten). Karena topografi yang sudah sering saya jelajahi sejak kecil itu, saya kadang rindu pulang ke kampung dan menjelajahi semua kenangan lama. Karena di tanah orang ini, daerah-daerah perbukitan seperti dalam bayangan saya itu terletak sangat jauh. Pemerintah lebih senang membangun pusat kota pada daratan yang rata dan luas, sehingga mempermudah segala akses. Agar bisa menikmati pegunungan, pepohonan dan rimba raya, lautan dan hujan yang nyata, Matahari, Bulan Bintang yang serupa cermin cahaya, saya harus berjalan sangat jauh. Ada benarnya ungkapan bahwa untuk mendapatkan hasil yang luar biasa, engkau harus melewati proses yang sesuai. Jika tidak kepuasanmu hanya semu belaka.
Saya tidak akan menyalahkan para entrepreneur atau pengusaha real estate yang menjamur dan pelan-pelan menyingkirkan semua hal yang tampak sempurna sebelumnya. Di pikiran mereka, mungkin apa yang mereka lakukan adalah menyempurnakan kemajuan bangsa dan negara ini. Namun bagaimana dengan habitat, bagaimana dengan para penghuni setempat, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat akan tetapi terus didoakan?
Saya tidak akan menyalahkan pemerintah bangsa ini juga, yang sering saya pikir menjadikan nasionalisme sebagai alasan untuk cepat menjadi kaya. Semakin banyak media yang sinis dan menyindir perilaku mereka yang diam-diam menghanyutkan, semakin lihai juga mereka menemukan cara supaya bangsa ini hancur terpuruk. Itu kelakuan dan dosa turunan, dari jaman penguasa yang lalu.
Dan saya juga cukup lapang dada menerima nasib, saat melihat bangsa serumpun mengklaim beberapa harta warisan nenek moyang yang seharusnya menjadi milik negara tercinta ini justru di copy-paste sama persis sebagai kepunyaan mereka. Sakit memang, menangis sendiri pun takkan merubah apa yang sudah terjadi. Malah saat saya berkoar-koar dan memaki, saya akan tampak lebih buruk di mata mereka.
“Kemana saja kau selama ini, tidur? Mending ada yang mau ngaku dan lestarikan, setidaknya MASIH ADA DAN TERPELIHARA.”
Mengapa Nasionalisme selalu muncul saat ada yang mengusik, mengapa Nasionalisme tidak tumbuh secara alamiah dan mendarah daging setiap hari di pikiran dan hati penghuni negeri ini?
Setiap orang memiliki cara masing-masing untuk mewujudkan nasionalismenya, tergantung juga pada latar belakang hidupnya, ketertarikannya, kecintaannya pada bangsa ini. TALENTANYA.
Bermula dari apa yang bisa dia lakukan, hal kecil sekalipun! Sederhana. Pernah sekali waktu karena cukup frustrasi dengan kondisi negeri ini, saya kemudian menulis sebuah puisi prosa yang entahlah hanya rentetan putus asa (Puisi Prosa-nya ada di blog sy). Tetapi saya bukanlah saya, seorang Putri Pertiwi bangsa ini jika saya tidak memiliki harapan dan kebenaran yang saya pikul sendiri. Maka mulailah saya beranjak dari hal yang biasa saja. Seperti menulis puisi tentang Alam Indonesia, menghimbau dan mengajak orang-orang terdekat untuk datang pada Pameran atau Pentas Budaya yang sedang diselenggarakan melalui jejaringan sosial yang marak digunakan belakangan ini. Setidaknya dinding teman-teman saya bukan cuma dipenuhi curhatan dan iklan online shop sebagaimana biasanya. Darimanapun pentas Budaya tersebut berasal, Sumatera, Papua, Kalimantan atau Sulawesi. Itu Indonesia! Titik.
Memprakarsai kegiatan bersama kawan-kawan Komunitas, seperti Seminar Sejarah, Seni dan Budaya juga salah satu cara. Mengadakan kegiatan berkunjung ke Museum Budaya yang bisa diselingi dengan outbound dan bersepeda keliling kampung ubud, sebagaimana marak yang sedang terjadi saat ini. Istilah kerennya “Gowes”. Di Denpasar, saya tergabung dalam Komunitas Pemuda Lintas Agama. Ini seperti organisasi muda mudi yang tergabung dari beberapa Agama yang terdapat di Denpasar. Kami tidak memiliki masa yang mumpuni untuk mengadakan kegiatan luar biasa bahkan didalamnya terdapat adik-adik yang masih duduk di bangku SMU yang kadang-kadang membuat saya iri dengan semangat dan motivasi mereka berpartisipasi dalam setiap kegiatan. Akan tetapi sudah dua tahun kami sukses mengadakan Perayaan Sumpah Pemuda bersama, didalamnya terdapat banyak rangkaian acara. Seperti diskusi dan pentas budaya bersama yang bisa menjaring dan memotivasi kawan-kawan pemuda dan pemudi Indonesia dan di Denpasar khususnya agar terus memperhatikan Budaya Tradisi Bangsa ini.
Batik, telah di sahkan UNESCO sebagai karya dan harta milik Bangsa Indonesia. Mengapa kita menunggu di akui saat kita memiliki kesempatan mengeksplorasi kerajinan tangan warisan nenek moyang kita. Masih ada tenun ikat Nusa tenggara, Ulos dari Batak, Songket dari Sumatera dan masih banyak lagi kerajinan tangan Indonesia yang bisa kita kombinasikan dalam kehidupan keseharian kita.
Memanfaatkan teknologi, juga cara yang bisa dilakukan saat ini. Jika dulu Buku adalah Jendela Dunia maka sekarang Internet adalah Surga dunia. Surga kesekian! Surga dimana bisa kau temukan berbagai macam Ilmu Pengetahuan dan wawasan baru tentang Indonesia-mu. Gambar-gambar yang bahkan telah di posting secara berkala dengan jurnal menarik yang bisa kau baca kapanpun kau mau. Isinya tentang Objek Wisata ini, Tradisi dari daerah ini, dan bermacam-macam hal unik menarik yang tidak akan pernah dapat kau bayangkan sebelumnya. Hebatnya, semua itu di Indonesia. MILIKMU, MILIK KITA SEMUA yang harus dijaga, dipertahankan dari klaim-an bangsa lain. Tidak taukah kau, nenek moyang kita menghasilkan peradaban ini jauh sebelumnya dengan susah payah dan yang kau lakukan adalah MENJAGANYA. Meskipun mendapatkan jauh lebih sulit daripada mempertahankan.
Berbicara dan memikirkan Budaya, berbicara dan memikirkan “siapa saya, siapa kamu,siapa kita?” “ada dimana saya, darimana saya berasal” sederhana sebagaimana pertama kita berjumpa dengan kenalan baru. Hal pertama yang akan ditanyakan adalah identitas pribadi kita, ini berlaku di belahan dunia manapun.
“Hai, siapa namamu?”
“Darimana asalmu? Oh Indonesia, bukankah disana orangnya ramah-ramah? Budayanya kaya dan luar biasa. Ada tari saman, tari pendet, tari reog dan macam-macam. Ada Borobudur, Komodo, Danau Kelimutu, dan Raja Ampat? Ada Pulau Bali yang indah menawan berpasir putih. Bahkan tongkat kayu dan batu jadi tanaman di Indonesia?”
Teringat petikan lagu Rayuan Pulau Kelapa, Pulau Melati nan amat subur sejak dulu kala. Dari pesisir hingga bukit berundak, dari lembah sampai ngarai berderai-derai sungai dan lautan.
Itulah arti seni dan budaya tradisi bagi kita saat ini. Sebuah identitas yang patut dipertahankan dan dibanggakan. Melekat erat seperti organ tubuh lainnya di tubuh dan isi kepala masing-masing kita warga Negara Indonesia.
Bukankah kita akan tersenyum bangga penuh kepuasan saat anak cucu kita beranjak dewasa dan bisa melafalkan bahasa daerahnya masing-masing namun tetap menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam lingkungan pergaulannya. Mereka tidak akan kebingungan menempatkan diri sebagai Anak Indonesia dimana pun mereka berada di jaman yang justru menuntut mereka harus memilih mungkin mesti meninggalkan budaya dan tradisi yang sudah mereka lewati sejak masa kanak-kanak, karena di darah dan tulang mereka telah terpatri nyata Merah Putih. Dan para tetua pun tak perlu merasa terancam bahwa sejarah budaya dan tradisinya akan punah perlahan sebab identitas negeri ini telah aman terjaga dalam genggaman generasi yang tepat.
Kita semua datang dari Budaya dan Tradisi yang sangat primitif, sejak jaman leluhur nenek moyang. Untuk bisa mewujudkan kebudayaan nasional dimana seluruh masyarakat Indonesia memiliki kesadaran sepenuhnya dibutuhkan dukungan dari segala komponen nusantara. Kekayaan-kekayaan kebudayaan daerah merupakan akar dari kekayaan-kekayaan kebudayaan nasional. Sekalipun Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan etnis serta kemajemukan penduduknya tetapi sejak jaman Majapahit telah ditanamkan semangat “Bhineka Tunggal Ika” oleh Patih Gajah Mada yang kemudian misi ini dilanjutkan oleh Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno pada masa pemerintahannya. Beliau mengajak seluruh raja-raja dari seluruh pelosok Nusantara untuk duduk bersama dan berbicara kemudian mempersatukannya menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena “Biar berbeda-beda tetapi kita adalah satu tumpah darah, tanah Indonesia. Satu Bangsa, Bangsa Indonesia. Menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.” Iklan makanan nomor satu di Indonesia pun mengakuinya, betapa luas dan kayanya Indonesia. Beraneka ragam, dari Sabang sampai Merauke dari Mianggas sampai pulau Rote. Itulah mengapa Budaya dan Tradisi HARUS LESTARI :)
0 komentar: