Membahana di Borneo #OMK \m/
Part IV. Gawai Padi dan Nyora22 Oktober 2012
Pukul 6 Pagi di Beduai sudah terang benderang, Vera mengajak saya berbelanja di seberang jembatan yang termasuk dalam wilayah Muara Illai. Ada sebuah warung yang menjual kebutuhan seperti Sembako dll. Jika di lihat-lihat Beduai sudah lumayan maju, tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya oleh kawan-kawan yang sudah paranoid karena keseringan nonton Ethnic Runaway di salah satu stasiun televise nasional. Bapak pemilik warung sangat ramah dan mengajak saya bercerita tentang Pulau Bali. Di Muara Illai ini ada seorang Polisi yang berasal dari Karangasem, namanya Pak Made. Wahhh….. kebetulan lagi saudara? :)
Kelar belanja, kami kembali ke rumah untuk bersiap ke sungai. Mandi pagi. Sungai surut pagi ini, jadi kami harus berjalan agak lebih ke dalam untuk berendam. Hutan terlihat hijau segar dan pantulan sinar matahari menembusi dedaunan serta ranting yang mulai mengering. Saya suka pagi! Ada seorang gadis Tanjung Ungan yang sedang mencuci sendirian. Kami pun bergabung bersama dia dan mulai mandi. Selesai mandi kami kembali ke Rumah untuk Sarapan pagi dan menunggu jemputan menuju Gereja. Sepertinya saya telat lagi hari ini. Karena motor yang tersedia cuma satu, kami akhirnya memutuskan boncengan bertiga. Tidak baik. Hahahaha, sampai kemudian Pak Made yang Polisi itu lewat dan menawarkan tumpangan. Dengan senang hati, pak. Di atas motor, kami ngobrol lumayan banyak baik tentang Bali maupun Beduai. Bali dan Beduai. Diawali huruf B dan diakhiri huruf I. ah saya lebay. Hahahaha…
Tiba di Gereja acara Wawanrasa telah dimulai oleh Romo Gaspar. Wawanrasa ini bertujuan memperkenalkan kepada peserta IYD Keuskupan Denpasar bagaimana Agama Katolik berkembang di Pulau Kalimantan dan berintulkurasi dengan kebudayaan Dayak, khususnya Dayak Golik. Dayak Golik berasal dari Sungkung (sekarang masuk wilayah kecamatan Entikong bagian dalam, yang berbatasan langsung dengan serawak Malaysia). Dahulu kala Bangsa Portugis saat pertama kali menginjakan kaki di Kalimantan percaya bahwa Tanah Kalimantan memang telah menjadi tanah pilihan Tuhan dan akan menjadi suku bangsa yang menganut Agama Kristen sepenuhnya karena beberapa Tradisi, Adat Istiadat yang begitu persis dengan Tata cara orang Katolik. Salah satu yang mencolok adalah Tanda salib yang menjadi tanda kemenangan, sejak jaman dahulu para dukun di Kalimantan selalu menggunakan tanda seperti tanda salib ini sebelum mengobati orang yang sakit. Lalu ada kebiasaan menyembuhkan orang sakit dengan memingitnya dalam rumah selama tiga hari tiga malam dengan meletakan daun sabang di depan pintu sebagai symbol bahwa rumah tersebut tidak bisa menerima tamu dalam waktu tiga hari kedepan, sampai tiga hari kemudian orang yang sakit tersebut sehat kembali. Mengingatkan kita akan peristiwa dalam Kitab Suci saat Bangsa Israel akan melarikan diri dari Mesir dan masih banyak hal lain yang menunjukkan keterkaitan antara Agama Katolik dan Tradisi suku Dayak itu sendiri, akan saya tuliskan pada postingan berikutnya (^^)
Siang ini kami semua telah dijanjikan untuk berjalan-jalan ke ladang, mengikuti Tradisi Gawai Anak Padi atau Mendoakan ladang yang baru saja di buka dan di Tanami. Saya patut mengacungkan jempol untuk Masyarakat Kalimantan, karena mereka meletakkan Tuhan begitu tinggi dalam setiap aktivitas dan kerja keras mereka. Di tempat lain sekalipun yang begitu mayoritas, belum tentu masyarakatnya akan melakukan hal seperti ini. Karena daerah yang akan melakukan Gawai Anak Padi pada hari ini hanya Pemodis dan Muara Illai, maka kami dibagi dalam kedua kelompok. Kemudian kedua kelompok itu masing-masing akan di pecah lagi sesuai jumlah ladang yang akan di kunjungi. Satu kelompok akan mendatangi empat sampai tujuh ladang dan letaknya saling berjauhan. Itu artinya kami akan masuk keluar hutan, menyebrangi sungai, melewati hutan karet dan tanaman jarak, rerumputan yang diselingi kelapa sawit serta wangi durian menusuk. Pengalaman ini selalu saya temukan kembali dalam mimpi-mimpi saya semenjak saya kembali dari Beduai. Kicau burungnya yang berbeda, nama dan bentuk buah yang beraneka serta panasnya yang luar biasa menyengat. Gelap hutan yang beradu desiran angin dan percikan air sungai dingin menyegarkan. Betapa Kayanya Indonesia, di hadiahkan Tuhan cuma-cuma. Selama perjalanan ini kami di jamu oleh Tuan Ladang dengan berbagai macam makanan dan yang pasti Tuak tak ketinggalan. Saya begitu bersemangat dan kalap. Hahahaha. Selesai bergawai padi, Kami dikumpulkan di Balai Adat . Kelompok kami melewati empat ladang saja karena letaknya yang sangat berjauhan sehingga waktu seharian tidak cukup. Disana telah menanti Nyora Mini, alias makan bersama dengan segenap makanan rumah yang telah disediakan oleh Masyarakat setempat. Silahkan memilih, ada ayam goreng, opor ayam, ayam bakar, sayuran, jajanan bermacam-macam, tetapi kenapa saya lebih memilih menghabiskan tuak sampai sempoyongan. Serius, saya kekenyangan dan pening. Kami bergembira, menari dan tertawa hingga waktu menjelang sore. Kami harus ke gereja, karena pukul 5 sebentar lagi tiba. Misa penutup dan Maxi Nyora akan berlangsung malam ini karena besok kami akan bertolak ke Sanggau. Seperti ada sesuatu yang mengiris dada saat itu, jika saja saya bisa lebih lama disini. Tidak lama waktu istirahat yang saya miliki setibanya di rumah, kami langsung ke Sungai dan mandi lalu berangkat ke Gereja. Kepala saya sakit sekali.
Gereja Salib Suci Beduai, senja itu ramai total. Seluruh umat sepertinya berkumpul disini. Misa penutup dipimpin oleh Romo Patris selaku pastor paroki beserta konselebran Rm. Eman, Rm. Robert, Rm. Yomi dan Rm. Gaspar yang terlihat oleng dan ngantuk diatas altar. Hahahaha… ah ini tidak akan terulang. Misa berlangsung khidmat dan lagi-lagi Emon dan kawan-kawan mempersembahkan suguhan nyanyian, tarian dan musik yang begitu kreativ dan menyengat telinga. Saya tidak peduli seberapa banyak mata memandang ketika saya berlari dan memilih berdiri tepat di hadapan para pemain musik demi menyaksikan perpaduan yang menggetarkan ini. Drum, simbal, bambu, Gong, …… dan Lelaki Dayak yang sedang membawa Mandau melompat gemulai menghunjukan persembahan kedepan altar. Mata ini, telinga ini akan menjadi lebih peka saat kembali nanti.
Selepas misa, kami semua berkumpul di Aula Paroki SSB. Kami akan Mengikuti NYORA. Tradisi Makan bersama masyarakat Beduai. Tidak ada prasmanan ………………………..(ambil dari FB). Pada malam ini juga kami mempersembahkan Tarian dan Lagu Janger yang sudah kami siapkan sejak sebulan lalu untuk Teman-teman OMK dan Masyarakat Beduai. Riuh tepuk tangan dan sorak gembira mereka adalah apreasiasi yang melegahkan yang dibalas ucapan Terima Kasih kami karena telah menerima, melayani dan mau mengenang kami di Beduai. Malam panjang itu serasa tak ingin di akhiri. Saling memberikan kenang-kenangan, souvenir, dan kesan pesan yang disertai air mata ketidakikhlasan bahwasannya kami sungguh hanya memiliki dua hari berharga di tempat ini dengan segala cerita dan peristiwa menyenangkan tak terlupakan. Malam itu saya terduduk di toilet rumah dengan perasaan kacau balau. Bukan karena ingin membuang hajat tetapi saya terduduk karena pening kepala tak lekas pergi dan tanpa saya sadari saya menangis. Menangisi waktu, yang kadang leluasa memberi segalanya terjadi kemudian mengambilnya dengan sigap tepat ketika semuanya baru saja di mulai. Saya akan merindukan tempat ini sambil bersamaan dengan itu membencinya karena tidak semudah yang saya bayangkan akan kembali lagi ke Beduai.
0 komentar: