Another Perfect Weekend ; Another Unique Indonesia

Senin, Februari 13, 2012 Pankratia Da Svit Kona- 11 Comments


Sabtu yang cerah, libur dan planning jalan-jalan yang oke dan siap terlaksana. What a great weekend, huh? Bersama Jeng Asti, teman gereja saya dan juga terkadang adalah teman berbagi karena umur yang tak jau berbeda :p kami berdua mengendarai sepeda motor menuju Ubud. Tentu saja Asti sebagai juru mudi-nya dan saya yang selalu setia abadi nan jaya sebagai penumpang di belakangnya (-.-“!)

Tujuan kami adalah (lagi-lagi) Rumah Topeng dan Wayang Setia Darma milik Bapak Agus Prajitno (tentang Bapak, sudah saya ceritakan sedikit pada blog yang ini : CERMIN WANITA INDONESIA)
Setelah sekian lama tidak beranjangsana lagi ke tempat Bapak kali ini kami benar-benar akan menghabiskan waktu melalap satu persatu koleksi Topeng, Wayang maupun benda-benda antik lainnya yang bisa kami temukan di Rumah Topeng dan Wayang Setia Darma.















Satu yang ingin saya peringatkan kepada kawan-kawan apabila sewaktu-waktu memilih saya sebagai Penunjuk jalan atau Guide “HATI-HATI”…hahaha sebab saya suka sekali menemukan jalur sendiri sehingga menimbukan “KENYASARAN”..wkwkwkw… dan seperti hari ini juga, saya dan Asti harus nyasar lagi sampai-sampai berhenti dan sarapan Bakso dahulu (mungkin kami nyasar karena penyebabnya adalah saya kelaparan,hahahah). Kebetulan sekali hari ini adalah KUNINGAN, meskipun nyasar tapi kami tetap bisa menikmati pemandangan serombongan pemuda yang bermain barong atau bapak-bapak dan ibu-ibu berkostum putih menuju pura bersama bahan sembahyangannya. Setelah tebal muka bertanya kesana-kemari seperti wisatawan-wisatawan pada umumnya (Seolah-olah) kami akhirnya menemukan jalan yang tepat menuju BANJAR TEGAL BINGIN tempat dimana lokasi rumah topeng berada. Sudah tengah hari saat kami tiba di TKP dan suasananya seperti biasa, asri sejuk memberikan kenyamanan selalu ^^



Kami beruntung karena Bapak Prajit baru saja selesai melayani serombongan pengunjung yang adalah para dokter. “kebetulan tidak ada praktek hari ini jadi mereka pada rame-rame main kesini”…waow

Kunjungan ini diawali dengan sebuah percakapan tentang Topeng dan Wayang di Indonesia, penggemarnya yang mulai jarang dan yang menggandrunginya kadang di bilang “Aneh, kolot, kuno, ndeso” *Kasihan*



Beberapa stasiun Televisi dan Media berusaha memperkenalkan dan menyemarakkan kembali warisan-warisan leluhur Indonesia yang mulai langka ini setelah beberapa saat lalu Negara tetangga yang sebenarnya serumpun dengan kita “Ternyata jauh lebih menghargai budaya kita dan sedikit MEMBANTU mempropagandakannya ke khalayak ramai” *jadi tunggu di akui bangsa lain dulu, di klaim bangsa lain dulu, di bangga-banggain sama bangsa lain dulu baru mental dan niat melestarikannya itu berapi-api. Bawaannya pengen senggol-bacot ajja… ceroboh! Yah wes lah, nda usah panjang lebar. Merutuki karakter bangsa sendiri itu lebih mudah memang daripada memperbaikinya. Mending mari sama-sama kita berusaha dengan kemampuan yang bisa dibudidayakan *cieh bahasanya, kata dikembangkan sementara cuti dulu yo… :p

Pembicaraan kemudian meluas ke tokoh-tokoh pewayangan dan sejarah Indonesia jaman kerajaan dulu. Ternyata istilah waria itu bukan baru ada jaman-jaman sekarang. Waria atau tampilan wanita pria sudah ada sejak jaman dahulu. Dikenal dengan istilah Wandu. Namun orang-orang transgender ini kebanyakan berkecimpung dalam dunia seni dan budaya, bahkan mereka begitu dihargai dan dijadikan tokoh teladan mungkin di jaman sekarang kita bisa lihat Penari dan Aktor “Didik Ninik Towok” yang selalu lemah gemulai diatas panggung meskipun bertopeng dan berdandan cantik, beliau tetap cowok tulen lho. Hehe… dunia memang penuh rahasia dan misteri yang tidak bisa dipecahkah.
Benar kata kawan saya : ada beberapa hal yang tidak perlu kau tuntut penjelasannya atau alasannya, kau hanya membutuhkan keikhlasan untuk memahaminya dan kemudian mari menikmatinya. Hm…

Oh yah beberapa waktu lalu saya sempat membaca Novel Bilangan Fu karangan Ayu Utami dan sempat sharing sebentar dengan mantan pacar yang cukup antusias dengan sejarah Indonesia. Yaitu Mengapa ada mitos Orang Jawa tidak boleh menikah dengan Orang Sunda? Mengapa tidak ditemukan Jl. Majapahit ataupun Jl. Gajah Mada di Bandung maupun Bogor? Ceritanya cukup tragis. Mari sedikit berjalan-jalan ke jaman Majapahit….

***
Siapa yang tak mengenal Gajah Mada, mahapatih Kerajaan Majapahit yang pernah bersumpah tak akan makan buah palapa sebelum seluruh Nusantara bersatu? Kebesaran namanya bukan saja karena sumpahnya itu, tetapi juga karena kepemimpinannya. Namanya tak bisa dilepaskan dari kerajaan besar di Jawa Timur itu, yang kekuasaannya meliputi sebagian Jawa, Bali, dan Sumatra. Majapahit adalah Gajah Mada dan Gajah Mada adalah Majapahit.

Kesetiaan sang Mahapatih kepada kerajaan tak perlu diragukan. Seluruh hidupnya dibaktikan demi kejayaan Majapahit. Baginya, mengabdi kepada kerajaan itu di atas segala-galanya. Lebih penting dari nyawanya sendiri. Dan memenuhi sumpahnya adalah ambisi yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Saat banyak negeri takluk - dengan suka rela ataupun melalui perlawanan - di bawah kebesaran Majapahit, nun di sebelah Barat Jawa, di kaki Gunung Sawal, tersebutlah sebuah kerajaan Sunda dengan rajanya Linggabuana, berdiri bebas merdeka; membuat Gajah Mada penasaran ingin menaklukkannya demi memenuhi ambisinya. Maka, diputarlah otaknya mencari cara yang tepat agar kerajaan tersebut dapat dikuasai.


Ketika itu raja muda Hayam Wuruk masih belum beristri. Banyak sudah utusan dan juru lukis istana dikirim ke negeri-negeri taklukan guna mencari calon permaisuri. Namun, hingga kini tak jua ada yang berkenan di hati Sang Raja.

Kebetulan sekali, Raja Linggabuana memiliki seorang putri jelita yang juga belum menikah. Dialah Dyah Pitaloka; seorang putri yang bukan saja cantik rupa, tetapi juga cantik budi bahasa, cerdas, ramah, baik hati, dan pemberani. Gajah Mada pun menemukan jalan!

Singkat cerita, Hayam Wuruk pun jatuh cinta pada sang putri jelita. Lalu, disampaikanlah lamaran resmi yang diterima dengan segala kebanggaan oleh Prabu Linggabuana. Dyah tak kuasa menolak. Ia tak ingin mengecewakan rama dan bundanya, meski pun sebenarnya ia masih punya cita-cita luhur memajukan kaumnya di negeri Sunda.

Ia ingin, perempuan negerinya tak hanya pandai menjadi istri setia, tetapi juga pandai membaca dan menulis. Ia tak ingin sekadar menjadi seperti Dayang Sumbi atau Purbasari. Ia bermimpi, perempuan Sunda kelak juga bisa memimpin negeri sebagaimana cerita yang ia baca dari negeri-negeri seberang di luar Tanah Sunda.

Namun, apa daya, ia tak mampu menolak nasib yang telah digariskan baginya. Maka, pergilah ia menyongsong masa depannya ke Tanah Jawa.

Ternyata ia bukan sekadar menyerahkan dirinya , tetapi juga mengantarkan nyawanya. Putri Sunda itu mati dengan gagah berani di ujung tusuk kondenya sendiri, bahkan sebelum sampai ke pelaminan. Ia memilih mati bersama ayahanda dan rakyatnya demi membela kehormatan negeri ketimbang harus takluk pada tipu muslihat Gajah Mada yang licik dan keji. Peristiwa ini kemudian dikenal sejarah sebagai Perang Bubat.

Pada perang ini Prabu Linggabuana dipaksa untuk menyerahkan kerajaannya dan mengakui kebesaran Majapahit kemudian bersedia menikahkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan Hayam Wuruk sebagai Pangeran Majapahit. Tentu saja Prabu Linggabuana tidak ingin menyerah begitu saja, perang berlangsung sengit hingga semua pasukan pasundan dibumihanguskan. Melihat ini sang Putri Dyah Pitaloka tidak menerima begitu saja, dengan gagahnya Ia menantang Gajah Mada kemudian menikam ulu hatinya dengan Patrem sejenis tusuk konde penghias rambut wanita. Sang Putri memilih mati bunuh diri daripada menikah dan menyaksikan Keluarga serta para pasukannya dibunuh. (Terasa ada unsur pemberontakan (seorang perempuan) di sini. Pilihan patrem - bukan keris atau belati - membuat akhir cerita ini jadi lebih dramatis dan menyentuh)





Hari ini kita masih sering menyaksikan hubungan Jawa-Sunda (orang Jawa dan orang Sunda) yang tampak tidak terlalu mulus. Masing-masing pihak mengklaim sebagai "yang lebih tua". Apakah itu bermula dari Perang Bubat ini, yang mengakibatkan Gajah Mada gagal memenuhi sumpahnya dan Negeri Sunda kehilangan raja dan putrinya? Entahlah..
Wah saya sudah membahas lumayan panjang lebar tentang Sejarah Indonesia, mari kita lanjutkan perjalanan kita hari ini.



Setelah itu, Bapak bercerita tentang perjalanannya ke Cina beberapa waktu lalu bersama Ibu. Beliau begitu antusias saat menuturkan pengalamannya menonton Opera Cina. Tata panggung dan efek, para pemain yang luar biasa serta cerita yang begitu menggambarkan kehidupan masyarakat cina itu sendiri. Beliau berharap, lima atau sepuluh tahun lagi Indonesia juga sudah memiliki kemajuan yang sama. Bukan hanya kemajuan teknologi tapi memadupadankan Teknologi dengan Budaya serta Seni Indonesia dalam suatu kesempatan yang luar biasa. Yah gantungkan harapan setinggi-tingginya kepada penerus Bangsa saja, Pak. Hehehehe… mereka pasti bisa asal jangan salah jalan dan terlalu di “MOTIVASI” sama beberapa tayangan Televisi jaman sekarang “Yang itu-itu saja” hohohohohoh.. Menyebutnya saja saya sudah PEMALI sekarang :p

Karena kesibukan Bapak yang tidak dapat ditunda maka Beliau memohon diri untuk pamit sebentar dan membiarkan kami berkeliling sendiri.

Rumah Topeng dan Wayang Setia Darma (RTWSD) adalah rumah ( tempat tingal ) bagi topeng dan wayang khususnya Indonesia di Bali, dibuka dengan tujuan selain melestarikan juga menjadi tempat rekreasi keluarga untuk mengenalkan kebudayaan Indonesia dan pengembangan kesenian Topeng dan Wayang. Saat ini RTWSD mengkoleksi 1160 topeng dan dari seluruh Indonesia , africa , mexico dan Italy. wayang 4680 pc dari seluruh Indonesia , kambodia, Malaysia , Myanmar dan China. Semua koleksi tersebut terbagi dalam tiga buah rumah yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia yaitu joglo, tekuk lulang dan Limasan (saya akan mereview ini pada postingan yang lain). RTWSD di dedikasikan untuk Indonesia sebagai bentuk kerja nyata melestarikan kesenian Topeng dan Wayang yg lambat laun meredup bahkan hilang diterpa hiburan jaman sekarang. RTWSD dibangun diatas lahan seluas 1.4hektar yang memiliki kontur tanah atas dan bawah, areal atas mengunakan bagunan architectur bali dan bagian bawah mengunakan bangunan tradisional Jawa, dengan taman tropis dan lapangan rumput serta pemandangan sawah. Nah bagi yang penasaran, LANGSUNG KE TKP deh saya GUARANTEE 100% bakal PUAS!!! Hahahaha….















Puas berkeliling dan bercerita dengan alam pikiran sendiri yang bermacam-macam tentu saja, kami menemukan entahlah apa yang dimaksudkan dengan ini tapi saat kalian ikut melihatnya kalian pun akan mengalami keruwetan yang sama tentang proposional KARYA TANGAN ini…


Adalah Teguh Ostenrik, seorang seniman yang lumayan terkenal dan popular di kalangannya (karena saya mendengarnyapun baru hari ini saat disebutkan oleh Bapak) menciptakan Karya seni ini sebagai Kebahasaannya akan karya seni dan budaya yang ditampilkan oleh Rumah Topeng dan Wayang Setia Darma. Mengutip apa yang disampaikan oleh Bapak Prajitno
“saking bingungnya si Teguh mau menggambarkan topeng dan wayang yang Ia lihat disini karena begitu luar biasanya maka dia menciptakan karya tangan ini yang sampai hari ini pun Bapak sendiri berusaha untuk mencari tahu apa maksud dibaliknya. Benar-benar abstrak dan Ia membiarkan kita memiliki pikirannya masing-masing saat melihat INI”….. ckckckckck manusia memiliki kedalaman pikiran yang LUAR BISA saudara-saudara…

Setelah beberapa menit merelakan kepala berpusing ria dengan KARYA TEGUH OSTENRIK, kami beranjak menuju kantor RTDW. Disana kami ditawarkan minum oleh Bapak dan mengobrol lagi. Obrolan kali ini hanya seputar masalah kehidupan yang klasik dan berbagai macam masalahnya. Tiba-tiba saya teringat dengan beberapa koleksi Bapak yaitu EMAS SUMBA yang disebut “MAMULI” dan Beliau akhirnya dengan senang hati memperlihatkannya kembali. Rupanya sudah bertambah koleksinya, kalau dulu masih MAMBULI KECIL sekarang sudah ada MAMULI BESAR yang ukurannya dua kali lebih besar dari sebelumnya. Lalu ada beberapa cincin batu yang Beliau dapatkan dari BIRMA. Mata saya hampir copot lihatnya, saya cuma bisa punya photonya aja. Oh yah dan juga beberapa gading panjang yang tidak bisa saya capture gambarnya karena terbungkus rapih. Tentu saja saya tidak ingin melihat bapak kerepotan hanya karena saya.




“Ini Bapak nda bermaksud pamer lho, hanya mau nunjukkin ke kalian-kalian anak Bangsa ini bahwa sebenarnya Bangsa kalian ini KAYA sekali. Luar biasa Indahnya. Heheheh..” (Ketawanya khas Bapak Prajit lho) :p

Tidak puas dengan koleksi dalam lemari, kita diajak melihat-lihat koleksi Garasi. Asikkk… Mobil Klasik masih berplat Malang ini dibeli Bapak sejak beberapa tahun lalu. Semuanya masih bisa digunakan tetapi karena suaranya yang berisik, masih pikir-pikir dulu mau menggunakannya. Hahahah… Yang berwarna hijau itu antik abis pokoknya, kap mesinnya dibuka manual, cara ngidupinnya pun purba abis alias tuasnya yang berada di depan mobil mesti diputar berkali-kali hingga mesin mobil hidup. Mobil Tahun 1932 ini laiknya Ferari yang bisa dibuka atapnya, tapi lagi-lagi tentu saja secara manual. hahahahaha...






Kata Bapak lagi “saya gak beli barang antik tapi barang bekas. Saat akan menjadi barang antik, dia harus melewati proses dahulu. Barang Bekas – Barang Baru – baru Barang Antik. Ada ada saja Bapak ini. Wkwkwkwkw. Silahkan cerna sendiri lah…=))




Puas mengobrol dan bercanda, saya dan Asti pamit permisi ke Restaurant yang juga milik Bapak Prajit. Beberapa pengunjung yang mendatangi RTDW Setia Darma selalu direkomendasikan untuk mencoba Warung ini dan seperti biasa GAK BAKALAN NYESAL. Namanya Warung Pulau Kelapa. Restaurant dengan nama KHAS INDONESIA ini mempersiapkan makanan dan minuman yang juga khas Indonesia plus suasana yang INDONESIA abisss…. Gak percaya? JANGAN IRI LIHAT PHOTO-PHOTO dibawah ini :p




























Okelah, sepertinya sudah sekian dulu cerita perjalanan saya kali ini. Kami pulang ke Denpasar menyusuri jalanan UBUD yang asri dengan gallery-galery seni di kiri kanan jalan serta wewangian dupa sore dari sembahyangan para abdi Sang Hyang Widhi. As always LOVE INDONESIA FULL!!!

11 komentar:

  1. woww...pengalaman kaya, kawan. pengen bisa ke sini ju.smogaaa....

    BalasHapus
  2. Bagus. Harus tetap melestarikan budaya asli di tengah gelombang budaya globalisasi yang semakin seragam. Cerita serta foto-fotonya menarik. Tapi...kenapa judulnya harus dalam bahasa Inggris?

    BalasHapus
  3. @ Iker : Mari kesini, ayoo

    @ Nona Lin : sempat berpikir untuk membuat judul Indonesia tetapi entah kenapa saya selalu tergoda untuk membubuhi Bahasa Internasional ini ^^ memakai segala segi kira2 itu dalih saya :)) :kaborrr....

    BalasHapus
  4. kannutuan.blogspot.com16 Februari 2012 pukul 16.17

    ulasan yang mantap....menarikuntuk dibukukan.....

    BalasHapus
  5. Wih sebegitunya?? hahaha.. sementara di Blog aja dulu deh ^^

    BalasHapus
  6. Wah,mantaaaaaaaaaap tante..
    ckckckkckc..
    Ada lukisan kah dsana selain wayang dan topeng??
    hehhehehe.
    Btw,yg dari Sumba itu bukannya namanya Mamuli ya?
    ahmmm....;-)
    Nice post.

    BalasHapus
  7. Wah, saya iri, Marsi! Tanggung jawab dirimu sudah bikin saya ngidam!!!! :D

    BalasHapus
  8. nanti kita buat satu d flores....heheheeee...

    BalasHapus
  9. @ Tante George : Tentu saja.. disekitarnya banyak sekali Pengrajin seni termasuk lukisan :) Sudah dirubah, Tante... :p Terima Kasih masukannya :))

    @ K'T : Tanggung jawab, Ngidam? hahaha... ini seperti sesuatu yang tidak terlihat namun terasa kak. Entahlah, hanya menuruti kata hati ^^

    @ John : Sipp.. KHAS FLORES!

    BalasHapus
  10. Mari belajar tentang seni lukis.
    Sekalipun tidak bisa melukis.
    Heran!!
    Seni yg satu itu (lukis) sama sekali saya tdk ngerti.
    BLAS!!!

    BalasHapus
  11. Hm... :) seperti merangkai kata mungkin merangkai warna menjadikannya menarik diatas kanvas adalah salah satu nikmat dunia "exclusive" bagi yang melakukannya dan kita sebagai Penikmat Sejati as usual :p

    BalasHapus