Menjadi Lebih Inklusif bersama SDG's Academy
Bicara tentang pendidikan, mau tidak mau kita juga harus berbicara tentang privilese. Privilese atau hak istimewa yang dimiliki tiap manusia tentu saja berbeda-beda, bahkan ada yang tidak memilikinya sama sekali.
Privilese dalam kaitannya dengan pendidikan, dapat dikategorikan ke dalam dua bagian. Pertama, seseorang yang dapat bersekolah hingga ke jenjang paling tinggi karena orang tua, keluarga, dan lingkungannya memiliki kesadaran tentang pentingnya pendidikan untuk meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan yang terjamin. Orang tua menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan prioritas. Mereka bersedia menabung atau menyediakan dana khusus untuk membiayai segala kebutuhan sekolah anak sejak usia dini hingga ke perguruan tinggi. Di posisi ini, dapat dikatakan orang tua memiliki peranan penting dan bisa memenuhi semua kebutuhan sang anak.
Kedua, seseorang yang barangkali
sulit untuk bisa bersekolah hingga ke jenjang paling tinggi akan tetapi terus
mengupayakannya karena orang tua, keluarga, dan lingkungannya juga memiliki
kesadaran tentang pentingnya pendidikan untuk meningkatkan taraf hidup serta
kesejahteraan di masa depan, akan tetapi tidak mampu untuk menggenapi itu semua
karena keterbatasan finansial. Meski demikian, kesadaran tentang pendidikan
sebagai kebutuhan dapat menjadi motivasi untuk tetap berusaha mendapatkan yang
terbaik. Entah melalui beasiswa, kursus tertentu, atau bekerja sambil
kuliah/bekerja dahulu agar bisa menabung baru kemudian mendaftar kuliah. Kisah-kisah
seperti ini cukup sering kita temukan dan itu merupakan cara berpikir yang
sangat baik. Sebab tidak semua orang melihat bahwa pendidikan mampu mengubah
garis nasib seseorang sekaligus meningkatkan kualitas hidupnya.
Biasanya, orang-orang dengan privilese
ini, baik kategori satu maupun kategori yang kedua, akan menularkan cara
berpikir dan cara bertindaknya kepada banyak orang sebagai bentuk afirmasi
bahwa semua orang adalah setara dan mempunyai waktu, hak, serta kesempatan yang
sama dalam hal apa pun, tergantung bagaimana cara kita bekerja keras untuk
mewujudkannya.
Sebagai salah satu peserta yang di angkatan ini mendapat privilese itu, di Angkatan Enam Sustainability Development
Goals Academy, saya bertemu dengan sosok-sosok yang mengupayakan privilese
tersebut. Orang-orang yang memanfaatkan segala hal baik yang mereka miliki
untuk mengakses kesempatan belajar bersama para mentor berpengalaman yang
merupakan pakar di bidangnya. Semua yang dipelajari dan dipraktikan di SDG’S tidak
semata-mata untuk kebutuhan dan kepuasan diri pribadi, melainkan dipersiapkan
untuk ditularkan, diteruskan kepada orang lain. Di lingkungan kerja
masing-masing, di komunitas/kolektif, di lembaga di mana kita bertugas. Semua dilakukan
dengan harapan dapat memberi dampak baik bagi orang lain. Hal ini sejalan
dengan tujuan SDG’s Academy yang melalui materi-materinya berusaha memberikan
pemahaman terkait target peningkatan kualitas pendidikan dalam SDG, yang
bertujuan untuk menjamin inklusif dan pemerataan (inclusive and equitable)
kualitas pendidikan, serta meningkatkan kesempatan pembelajaran seumur hidup
untuk semua masyarakat (lifelong learning opportunity). Pendidikan merupakan
akumulasi human capital yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
mengurangi kemiskinan. Lewat kesempatan belajar ini, kami akhirnya dapat
memahami secara lebih komprehensif terkait pendidikan dalam konteks pembangunan
berkelanjutan, menganalisis kualitas pendidikan baik secara regional, nasional,
internasional, serta menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh
dalam lingkungan keseharian kami.
Saya kemudian teringat dengan
satu film yang pernah saya tonton berjudul Pay It Forward. Suatu ketika, Eugeno
Simonet memberi tugas kepada murid-muridnya. Tugas tersebut cukup sulit untuk
siswa-siswi usia 12 tahun.
Eugeno meminta anak didiknya
memikirkan sebuah ide untuk mengubah dunia. Salah seorang siswa, Trevor
McKinney (12), kemudian mencetuskan sebuah pola kebaikan dengan nama “Pay it
Forward”. Satu orang melakukan hal baik – bisa apa saja, tergantung pada situasi
dan kondisi – kepada satu orang yang lain. Setelahnya, penerima kebaikan itu
harus berjanji untuk melakukan kebaikan lain kepada tiga orang berikutnya.
Begitu seterusnya hingga tanpa sadar ada hal baik yang begitu besar dampaknya
telah dilakukan bersama-sama dan mengubah hidup banyak orang.
Kisah ini kemudian diadaptasi
menjadi sebuah film dengan judul yang sama seperti novelnya, Pay it
Forward. Dirilis pada tahun 2000 oleh Warner Bros Pictures.
Kiranya Program Kepemimpinan Sustainability
Development Goals ini menjadi salah satu jalan untuk terus menebar dan menanam
benih kebaikan, khususnya dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kita barangkali
tidak tahu kapan akan memanen atau memetik hasilnya, paling tidak kita pernah
mencoba, sebaik-baiknya, sebenar-benarnya.
MARIA PANKRATIA - EDU EMPATI
KEL.EDU 01 - ANGKATAN VI SDG'S ACADEMY