Menjadi Lebih Inklusif bersama SDG's Academy

Bicara tentang pendidikan, mau tidak mau kita juga harus berbicara tentang privilese. Privilese atau hak istimewa yang dimiliki tiap manusia tentu saja berbeda-beda, bahkan ada yang tidak memilikinya sama sekali.

Privilese dalam kaitannya dengan pendidikan, dapat dikategorikan ke dalam dua bagian. Pertama, seseorang yang dapat bersekolah hingga ke jenjang paling tinggi karena orang tua, keluarga, dan lingkungannya memiliki kesadaran tentang pentingnya pendidikan untuk meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan yang terjamin. Orang tua menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan prioritas. Mereka bersedia menabung atau menyediakan dana khusus untuk membiayai segala kebutuhan sekolah anak sejak usia dini hingga ke perguruan tinggi. Di posisi ini, dapat dikatakan orang tua memiliki peranan penting dan bisa memenuhi semua kebutuhan sang anak.

Kedua, seseorang yang barangkali sulit untuk bisa bersekolah hingga ke jenjang paling tinggi akan tetapi terus mengupayakannya karena orang tua, keluarga, dan lingkungannya juga memiliki kesadaran tentang pentingnya pendidikan untuk meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan di masa depan, akan tetapi tidak mampu untuk menggenapi itu semua karena keterbatasan finansial. Meski demikian, kesadaran tentang pendidikan sebagai kebutuhan dapat menjadi motivasi untuk tetap berusaha mendapatkan yang terbaik. Entah melalui beasiswa, kursus tertentu, atau bekerja sambil kuliah/bekerja dahulu agar bisa menabung baru kemudian mendaftar kuliah. Kisah-kisah seperti ini cukup sering kita temukan dan itu merupakan cara berpikir yang sangat baik. Sebab tidak semua orang melihat bahwa pendidikan mampu mengubah garis nasib seseorang sekaligus meningkatkan kualitas hidupnya.

Biasanya, orang-orang dengan privilese ini, baik kategori satu maupun kategori yang kedua, akan menularkan cara berpikir dan cara bertindaknya kepada banyak orang sebagai bentuk afirmasi bahwa semua orang adalah setara dan mempunyai waktu, hak, serta kesempatan yang sama dalam hal apa pun, tergantung bagaimana cara kita bekerja keras untuk mewujudkannya.

Sebagai salah satu peserta yang di angkatan ini mendapat privilese itu, di Angkatan Enam Sustainability Development Goals Academy, saya bertemu dengan sosok-sosok yang mengupayakan privilese tersebut. Orang-orang yang memanfaatkan segala hal baik yang mereka miliki untuk mengakses kesempatan belajar bersama para mentor berpengalaman yang merupakan pakar di bidangnya. Semua yang dipelajari dan dipraktikan di SDG’S tidak semata-mata untuk kebutuhan dan kepuasan diri pribadi, melainkan dipersiapkan untuk ditularkan, diteruskan kepada orang lain. Di lingkungan kerja masing-masing, di komunitas/kolektif, di lembaga di mana kita bertugas. Semua dilakukan dengan harapan dapat memberi dampak baik bagi orang lain. Hal ini sejalan dengan tujuan SDG’s Academy yang melalui materi-materinya berusaha memberikan pemahaman terkait target peningkatan kualitas pendidikan dalam SDG, yang bertujuan untuk menjamin inklusif dan pemerataan (inclusive and equitable) kualitas pendidikan, serta meningkatkan kesempatan pembelajaran seumur hidup untuk semua masyarakat (lifelong learning opportunity). Pendidikan merupakan akumulasi human capital yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Lewat kesempatan belajar ini, kami akhirnya dapat memahami secara lebih komprehensif terkait pendidikan dalam konteks pembangunan berkelanjutan, menganalisis kualitas pendidikan baik secara regional, nasional, internasional, serta menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dalam lingkungan keseharian kami.

Saya kemudian teringat dengan satu film yang pernah saya tonton berjudul Pay It Forward. Suatu ketika, Eugeno Simonet memberi tugas kepada murid-muridnya. Tugas tersebut cukup sulit untuk siswa-siswi usia 12 tahun.

Eugeno meminta anak didiknya memikirkan sebuah ide untuk mengubah dunia. Salah seorang siswa, Trevor McKinney (12), kemudian mencetuskan sebuah pola kebaikan dengan nama “Pay it Forward”. Satu orang melakukan hal baik – bisa apa saja, tergantung pada situasi dan kondisi – kepada satu orang yang lain. Setelahnya, penerima kebaikan itu harus berjanji untuk melakukan kebaikan lain kepada tiga orang berikutnya. Begitu seterusnya hingga tanpa sadar ada hal baik yang begitu besar dampaknya telah dilakukan bersama-sama dan mengubah hidup banyak orang.

Kisah ini kemudian diadaptasi menjadi sebuah film dengan judul yang sama seperti novelnya, Pay it Forward. Dirilis pada tahun 2000 oleh Warner Bros Pictures.

Kiranya Program Kepemimpinan Sustainability Development Goals ini menjadi salah satu jalan untuk terus menebar dan menanam benih kebaikan, khususnya dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kita barangkali tidak tahu kapan akan memanen atau memetik hasilnya, paling tidak kita pernah mencoba, sebaik-baiknya, sebenar-benarnya.


MARIA PANKRATIA - EDU EMPATI

KEL.EDU 01 - ANGKATAN VI SDG'S ACADEMY




 

Literasi Keluarga: Dari Kho Ping Hoo hingga Menjelma Klub Buku Petra



#SahabatKeluarga #LiterasiKeluarga #LiterasiBergerak #PerpustakaanKeluarga #PustakaBergerak
*Klik dua kali pada gambar jika kurang jelas


Salah satu sudut koleksi buku di Perpustakaan Klub Buku Petra.
dok. Klub Buku Petra

Ini cerita tentang teman saya, seseorang yang sangat mencintai buku. Saya baru mengenalnya setahun yang lalu, ketika tanpa sengaja kami bertemu di salah satu acara launching buku seorang kawan. Perjumpaan pertama yang terlampau biasa saja, kecuali obrolan terkait karya-karya penulis Indonesia, tidak ada lagi yang istimewa selain itu.

Perjumpaan kedua, ketika kami sama-sama sedang berada di Jakarta. Ia dengan urusannya, saya dengan urusan saya sendiri. Di sela-sela obrolan kami tersebut, ia tiba-tiba menawarkan sesuatu yang tidak saya duga samasekali. Meminta saya kembali ke Flores untuk mengelola perpustakaan.

Saya tercenung, memikirkan semuanya dengan seksama. Saat itu, pikiran dan tujuan saya telah berada di sisi yang lain dari apa yang selama ini saya idam-idamkan. Saya sudah berpasrah pada apa saja yang dikehendaki semesta, termasuk menjadi Pegawai Negeri Sipil. Akan tetapi, mengelola koleksi buku-buku pribadi menjadi perpustakaan yang dapat diakses oleh orang banyak, bersamaan dengan itu saya akan diberi upah yang layak dan menetap di salah satu kota paling dingin di Nusa Tenggara Timur. Tentu ini menggiurkan sekali.

Saya kemudian menanyakan padanya, “apa untungnya mengupah seseorang yang mengelola buku-buku bekas agar bisa dibaca oleh orang lain? Tak ada profit di situ, kita tidak akan mendapatkan apa-apa dari sana kecuali tagihan yang menumpuk akhir bulan untuk sewa gedung, gaji karyawan, listrik dan sebagainya.”

Jawabannya sungguh di luar dugaan saya yang miskin dan hina dina ini, yang memang selalu melakukan apa pun dengan perhitungan akurat meskipun kemudian selalu mengedapankan perasaan dan berujung pada kekesalan karena merugi.

“Tidak ada keuntungan di sini, Mar. Kita tidak sedang mencari untung. Biarkan saja buku-buku itu yang bekerja dan mendatangkan keuntungan dalam bentuk yang lain. Masalah operasional, tidak perlu kamu pikirkan. Kerjakan saja bagianmu, dan saya akan mengerjakan bagian saya.”

Kunjungan dari Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kab. Manggarai
dok. Klub Buku Petra

Demikian, saya akhirnya memutuskan kembali ke Nusa Tenggara Timur setelah urusan saya selesai. Perpustakaan itu diberi nama Klub Buku Petra. Beragam buku yang merupakan koleksi kawan saya sejak zaman Sekolah Dasar hingga kini telah menjalani profesinya sebagai seorang Dokter yang juga Pengajar, Direktur Klinik Jiwa dan beberapa pekerjaan lainnya, ada di sana.
Suatu kali, saat kami tengah bersantai, saya membuka sebuah obrolan ringan. Topik ini muncul setelah sekian lama saya simpan demi menantikan kesempatan yang tepat untuk menggali lebih dalam, juga karena saya menemukan kenyataan bahwa di Ruteng tidak ada Toko Buku. Selain itu, pertanyaan yang sama kerap saya dapatkan dari para pembaca dan peminjam buku di Klub Buku Petra, “dari mana asal buku-buku bagus dalam jumlah sebanyak ini?”

Kawan saya ini, yang adalah seorang laki-laki sulung di dalam keluarganya, mengenal kebiasaan membaca sejak masih Sekolah Dasar. Di tahun 1980an, serial cerita silat Kho Ping Hoo beredar secara luas dan dibaca oleh siapa saja. Termasuk bapaknya. Hampir setiap hari, ia mendapati bapaknya menekuni stensilan Kho Ping Hoo di sela-sela pekerjaannya. Melihat itu, kawan saya kemudian bertanya, bolehkah ia ikut membaca serial kartun silat tersebut? Sepertinya menarik sekali sebab bapaknya begitu tenggelam di dalam petualangan-petualangan para pendekar itu.

“Dan bapak mengizinkan saya ikut membacanya. Itu pengalaman pertama saya mengenal bacaan, dan sejak itu saya melahap cerita silat yang beredar di sekitar lingkungan pergaulan saya. Di zaman itu, memang hanya ada cerita-cerita silat seperti Kho Ping Hoo dan Wiro Sableng yang dijual bebas sehingga mudah didapat. Bapak juga mengoleksinya. Hampir setiap hari, jika sudah lelah bermain dengan teman-teman, saya kemudian memutuskan untuk membaca sekaligus mengistirahatkan badan. Biarkan giliran otak yang bekerja. Hehehe…” tutur kawan saya.

Ruang Baca untuk umum - Perpustakaan Klub Buku Petra
dibuka sejak 1 September 2019
dok. Klub Buku Petra

Beranjak remaja, memasuki Sekolah Menengah Pertama hingga akhirnya Sekolah Menengah Atas, kawan saya ini berkenalan dengan lingkungan sekolah asrama yang juga menyediakan perpustakaan dengan buku-buku bermutu. Karya-karya fiksi populer seperti novel dan cerita pendek, dapat ditemukan dengan mudah di sana. Saat itu, karya sastra belum begitu ramai dibicarakan kecuali saat jam pelajaran Bahasa Indonesia saja.

Di sekolah berasrama ini, ia akhirnya bertemu dengan sahabat baiknya yang hampir setiap hari menghabiskan waktu untuk membaca karya-karya sastra. Ajaibnya, meskipun hampir sebagian besar waktunya dihabiskan untuk membaca novel, kumpulan cerpen, atau puisi, nilai ulangan/ujiannya tak pernah buruk. Melihat ini, kawan saya berpikir bahwa jika banyak membaca maka kita dengan sendirinya akan menjadi pandai dan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan saat ujian. Apa pun bacaannya. Ia pun minta dikenalkan kepada bacaan-bacaan sastra tersebut. Namun demikian, tiga bulan setelah itu, ia akhirnya membuktikan bahwa bacaan memang membuat kita terbuka pada hal-hal baru tetapi tidak seketika menjadikan kita mampu mengerjakan soal-soal ujian dengan mudah seperti yang ia harapkan sebelumnya. Sahabat baiknya itu yang memang jenius dan pandai mengatur waktu.

Meskipun demikian, kawan saya ini sudah telanjur jatuh cinta pada sastra. Pada karya-karya penulis dan sastrawan Indonesia yang terkadang membikin lupa waktu dan menghantarkan imajinasinya berkelana ke mana suka. Ia akhirnya terus membaca sastra hingga kini memiliki hampir 2000 judul buku, baik yang ditulis oleh penulis Indonesia maupun terjemahan.

“Saya ingat dulu, kalau pulang libur ke rumah. Setiap selesai makan, saya dan kedua adik saya akan berkumpul dalam satu kamar lalu mengeluarkan koleksi masing-masing. Biasanya kami akan terheran-heran melihat koleksi satu sama lain, sebab anak-anak yang bersekolah di sekolah umum ternyata memiliki selera bacaan yang berbeda dengan anak-anak yang bersekolah di asrama seperti kami (baca: seminari). Mereka akan melemparkan pertanyaan seperti ini, hih baca buku apa kalian ini? bikin kepala sakit saja. Hahaha tetapi justru di situ saya melihat perbedaan selera kami mejadi menarik. Kami saling melengkapi satu sama lain. Saya suka novel-novel Ayu Utami, Putu Wijaya, Remy Sylado dan lain-lain, adik perempuan saya menyukai kisah-kisah populer khas anak muda seperti Teenlit, Metropop, Harlequin, dan sejenisnya, sementara adik laki-laki yang paling bungsu masih betah menikmati Kungfu Boy, Detektif Conan, Slam Dunk dan lain-lain.” tutur kawan saya

Apa yang diceritakan kawan saya ini, saya buktikan ketika pertama kali membongkar koleksi buku-bukunya. Saat itu saya sedang dalam proses mendata semua judul buku yang ada agar bisa diakses oleh para peminjam. Saya sempat penasaran, ada berapa tahapan yang sebenarnya kawan saya ini lalui sehingga hampir semua genre bisa terjebak di dalam ruangan tersebut? Saya pikir dua puluh tahun bukanlah waktu yang terlalu lama. Saya bandingkan dengan diri sendiri, yang kurang lebih membutuhkan tiga hingga empat tahun untuk berpindah dari bacaan ringan seperti masalah percintaan, menuju bacaan yang cukup menguras tenaga dan pikiran seperti novel-novel dengan perpaduan filsafat, ilmiah atau psikologi. Rupanya koleksi yang mencapai 3000 judul tersebut (tambah 1000 dari sebelumnya) juga berasal dari bacaan-bacaan kedua adiknya yang tadi ia ceritakan.

Pendataan awal buku-buku di Perpustakaan Klub Buku Petra
Januari 2019
dok. Klub Buku Petra

Lalu bagaimana caranya ia mendapatkan buku di tahun 1990-an, ketika belum ada fasilitas pengiriman uang dan jasa pengiriman barang yang cepat seperti sekarang?

“Saya menulis surat. Korespondensi dengan pihak Gramedia. Saat itu, sekali mengirim surat, butuh waktu satu bulan untuk mendapatkan balasan berupa katalog buku-buku terbaru terbitan Gramedia. Setelah itu, saya dan kawan-kawan akan memilih buku mana yang ingin kami pesan. Saya akan mengumpulkan judul buku-buku tersebut lalu saya tulis dengan rapi di kertas dan saya kirimkan kembali ke Gramedia. Uangnya kami kirim melalui wesel pos. Satu atau dua bulan kemudian, buku-buku tersebut telah tiba. Saya dan kawan-kawan akan bergantian membacanya baru setelah itu kami bahas isi buku yang telah kami baca. Itu awal mula saya terbiasa dengan istilah diskusi atau bedah buku, hingga sekarang lebih dikenal dengan bincang buku." ia menjelaskan

Salah Satu Sesi Bincang Buku Klub Buku Petra
dok. Klub Buku Petra

Saat menuliskan ini, sudah ada sekitar 3000 lebih judul buku yang bisa diakses di Perpustakaan Klub Buku Petra. Sebagai admin, saya baru berhasil mendata 2000 judul, di antaranya karya-karya penulis Indonesia dan karya terjemahan, serta beberapa buku non fiksi tentang Sastra. Buku-buku ini dapat dibaca maupun juga dipinjam secara gratis, selama peminjam menetap di kota Ruteng. Cukup foto KTP serta nomor hape yang digunakan untuk berkomunikasi dengan admin, buku sudah bisa dipinjam dan dibawa pulang. Satu buku diberi waktu satu minggu, jika belum sempat menyelesaikannya, peminjam silakan menginformasikan kepada admin untuk meminta tambahan waktu. Beberapa peminjam yang sangat tekun, bahkan menuliskan ulasan dari buku yang telah dibaca, hasil ulasan ini bisa disimak di https://www.bacapetra.co/sekitar-kita/saya-dan-buku/

Saat ini, selain mengelola Perpustakaan Klub Buku Petra, kami akhirnya mengembangkan unit lain yang masih terkait dengan literasi seperti; Bincang Buku bulanan Klub Buku Petra yang telah memasuki bulan kesepuluh, terlibat bersama kawan-kawan Komunitas Kolektif di Ruteng dalam melaksanakan Lapak #LiterasiBergerak di Taman Kota Ruteng setiap hari Jumat dan Sabtu, serta mengelola Bacapetra.co, sebuah laman web yang berfokus pada pengembangan literasi di Nusa Tenggara Timur. Kegiatan-kegiatan ini, selain menggerakan literasi juga dengan sendirinya membuat individu-individu yang terlibat di dalamnya secara tidak langsung membentuk keluarga baru. Keluarga yang literat.

Lapak #LiterasiBergerak di Taman Kota Ruteng
dok. Klub Buku Petra

Melalui gerakan ini, saya dan kawan-kawan sangat berharap bahwa ekosistem literasi demi terwujudnya manusia-manusia yang literat bisa dimulai dari orang-orang terdekat kita. Dari anggota keluarga, kawan-kawan atau siapa saja yang kebetulan kita temui di tengah kesibukan-kesibukan yang kita jalani.

Jika kawan saya memulainya dengan serial cerita silat karena melihat apa yang dilakukan bapaknya setiap hari, kita bisa memulainya di rumah dengan kisah apa saja. Saya akhirnya membuat satu kesimpulan bahwa, mempengaruhi seseorang untuk menyukai sesuatu tidak harus menjelaskannya panjang lebar tentang manfaat atau kerugian yang akan ia dapatkan. Cukup lakukan dan perlihatkan saja terus menerus, dengan sendirinya rasa tertarik itu akan tumbuh.

Untuk melihat kerja literasi yang sejak tadi saya ceritakan, silakan buka halaman Facebook atau Instagram: Klub Buku Petra atau klik tautan: www.bacapetra.co. Kiranya kerja-kerja literasi yang belum seberapa ini, bisa memberi dampak yang baik dan juga menginspirasi kawan-kawan semuanya.

Selamat membaca dan jangan lupa sebarkan hal baik untuk orang-orang di sekitarmu.
Salam Literasi dari Ruteng~

Pertemuan dengan dr. Ronald Susilo di Jakarta. Desember 2018.
dokumentasi pribadi


*Terima kasih untuk kawan saya itu, dr. Ronald Susilo, atas kesempatan berbagi dan juga memutuskan memberi gaji bagi manusia yang bekerja pada bidang yang sungguh-sungguh ia sukai ini. Semoga cerita ini dapat menginspirasi siapa pun.



Ende, 30 September 2019
Maria Pankratia

Tarian Caci: Menikmati Kharisma Puluhan Pria Gagah Manggarai dari Kejauhan



*Tulisan ini terbit di kolom Hibernasi - BasaBasi.co pada tanggal 24 Juli 2019. Tanpa mengabari saya, editor menyuntingnya sangat banyak dan hampir memangkas setengah dari isi yang saya kirimkan. Maka dari itu, saya memutuskan untuk mengunggahnya kembali di sini. Barangkali dengan membaca versi aslinya, kawan-kawan masih bisa menemukan "saya" di dalam tulisan ini. Demikian.


Para Penari Caci di Cireng. Dok. Pribadi

Beberapa perempuan, selalu menikmati momen-momen ketika bersentuhan dengan laki-laki kesayangannya. Bahkan jika diperlukan setiap hari maunya disentuh. Entah sekedar usapan di pipi, rambut yang diacak-acak, atau dipeluk barang sebentar.

Jika kamu jenis perempuan yang seperti ini, maka berhati-hatilah terhadap lelaki Manggarai. Apa lagi jika lelaki kesayanganmu itu adalah seorang pecandu Tarian Caci alias anti absen setiap ada pagelaran caci di mana pun. Bahaya.

Tarian Caci merupakan tarian rakyat Manggarai, salah satu kabupaten di Pulau Flores dan masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tarian ini merefleksikan kebudayaan dan keseharian masyarakat adat Manggarai. Beberapa unsur dalam tarian caci memang diadopsi dari berbagai kebudayaan di luar Manggarai, meskipun demikian, caci hanya terdapat di dalam kebudayaan Manggarai dan menjiwai semua aspek kehidupan orang Manggarai.

Tarian yang sangat menonjolkan kejantanan dan ketangkasan seorang laki-laki ini mensyaratkan beberapa hal yang sulit diterima oleh perempuan-perempuan seperti yang disebutkan di awal tulisan ini. Belum lagi outfitnya yang sangat menggoda iman.

Seorang Penari Caci memulai petualangannya sejak usia remaja. Ia boleh menari di kampung mana saja, selagi ada upacara besar yang digelar. Sehari sebelum sang lelaki turun ke lapangan untuk mengadu kejantanannya, pakaian dan segala aksesoris yang akan ia gunakan, juga termasuk tubuh gagahnya tidak boleh disentuh oleh siapa pun. Siapa pun! Istrinya sekalipun.

Jadi, jika sang lelaki adalah pria beristri, yang pernah mengucapkan janji setia di hadapan Tuhan dan pasangannya dengan disaksikan pemuka agama, dan hadirin sekalian, itu tidak berlaku di medan per-caci-an. Tidak sama sekali!

Kecuali yah itu tadi, kamu mau lelaki pujaanmu itu pulang dalam kondisi babak belur mengenaskan akibat luka cambuk yang bisa jadi memanjang dari atas tengkuk hingga pinggulnya. Kecuali kamu perempuan yang rela begitu, silakan ena-ena lah kau semalaman dengan kekasih hati. Meskipun, beberapa hari setelah caci, luka-luka tersebut justru menjadi kebanggaan tersendiri bagi para lelaki yang menari caci itu. Mbingu betul!

Tarian caci selalu dipentaskan pada upacara-upacara besar, seperti saat upacara pasca panen berlangsung antara bulan Juni sampai dengan September (penti/hang woja weru) atau pesta kampung (rame natas), syukuran pembangunan rumah adat/rumah gendang (congko lokap). Biasanya dilaksanakan selama tiga sampai tujuh hari. Seiring dengan perkembangan zaman, pagelaran caci kini hanya berlangsung maksimal dua hari. Ada kehidupan lain yang harus dilakoni, menjadi karyawan atau guru kelas yang baik, misalnya.

Yes, semua lelaki Manggarai bisa menjadi penari caci, apa pun latar belakang keluarganya atau jenis pekerjaan yang ia geluti sehari-hari, selama darah petarung atau penari caci mengalir di dalam tubuhnya. Petani, Sarjana, Pengangguran, bahkan yang tidak lulus sekolah sekalipun, di arena caci semuanya sama: Petarung!

Bayangan bahwa kau akan menyaksikan puluhan laki-laki yang bertelanjang dada dengan nggorong yang bergelantungan dan bergemerincing sepanjang ia melangkah selama kurang lebih satu minggu, sepanjang empat bulan dalam setahun, sempat membikin haru luar biasa. Jika saja hal seperti itu masih berlaku, nikmat dunia mana lagi yang mau kau dustai, wahai?!

Tarian caci mengandung makna simbolis, melambangkan kejantanan, keriuhan, kemegahan dan sportifitas. Juga kerendahan hati, ketenangan dan pengendalian emosi yang akan tampak di arena caci dari masing-masing penari. Dalam tarian caci, kedua belah pihak yang akan bertanding akan didandani bagaikan seekor kerbau yang hendak berlaga ke medan pertempuran.

Hal itu bisa dilihat dari perlengkapan yang digunakan. Di kepala bagian depan penari akan dipakaikan panggal (mahkota) dari kulit kerbau dan bulu hewan (kambing atau kerbau) sehingga menyerupai kepala kerbau lengkap dengan tanduknya, hal itu tidak terlepas dari fungsinya untuk melindungi kepala. Di belakang punggung, tepatnya di tulang ekor sang penari dipakaikan ndeki yang menyerupai ekor kerbau, dengan fungsinya untuk melindungi bagian bawah punggung (pinggang). Sepintas tampak seperti kerbau yang siap berlaga.

Aksesoris lain yang juga dikenakan, antara lain: sapu atau destar yang membungkus kepala sebelum mengenakan panggal. Biasanya di tengah pertarungan, destar ini akan berubah fungsi menjadi penutup wajah agar terhindar dari lecet/luka serius yang diakibatkan oleh serangan dari pihak lawan.

Kemudian ada selendang leros yang diilitkan di pinggang melapisi celana panjang putih penari bersama-sama dengan kain songke hitam. Lalu ada nggorong atau giring-giring yang diikatkan di pinggang dan kedua kaki penari dan yang terakhir ada sapu tangan yang dilambai-lambaikan saat menari.

Dalam Tarian Caci kedua belah pihak yang beradu ketangkasan akan bergantian menjadi pihak yang memukul dan dipukul. Pihak yang memukul (paki) diperbolehkan bergaya dan bernyanyi (embong larik) untuk membuat lawannya terlena, lalu memukulkan cemeti (larik) yang terbuat dari kulit kerbau ke bagian badan lawannya dari perut ke atas.

 Sedangkan yang menerima pukulan dipersilakan menggunakan nggiling (perisai dari kulit kerbau) dan agang (bambu yang dililit rotan) untuk menangkis pukulan tersebut. Si pemukul harus berupaya untuk memukul lawannya, apa lagi jika bisa melukai wajahnya yang sudah tertutup destar. Ada semacam kepercayaan, jika berhasil melukai wajah lawan bahkan yang sudah dilindungi destar, maka tingkat kemampuan sang penari sudah sangat hebat. Namun, ada kemungkinan lain, bisa saja ada pantangan yang dilanggar oleh penari yang wajahnya terluka itu sebelum turun ke arena. Nah lho, pasti ena-ena semalam yah? #Eh

Semua perlengkapan caci (kecuali kostum dan aksesoris penari) disiapkan oleh ata one atau penyelenggara upacara. Setiap Tarian Caci,  selalu diiringi oleh bunyi gong dan gendang serta nyanyian para pendukung pria maupun wanita. Bunyi gong dan gendang ini semacam soundtrack yang menyemangati para penari di arena caci.

Para penari caci selalu memiliki kebanggaan tersendiri ketika sudah mengenakan kostum dan aksesori penarinya kemudian turun dan bertarung di lapangan. Segala pesona kelaki-lakiannya akan dikerahkan saat itu juga. Tidak heran, kadang seorang penari caci bisa memiliki lebih dari satu wanita sebagai pasangan hidupnya. Bagi orang Manggarai, lelaki yang menari caci adalah lelaki sejati.

Duh, jadi pingin nyanyi lagu Ibu Kita Kartini, Putri Sejati kan buat tandingan #eh

Banyak fungsi yang dihadirkan dari Tarian Caci bagi kelangsungan hidup masyarakat Manggarai. Sebagai sarana komunikasi dengan Tuhan dan para leluhur, juga media pendidikan. Selain misi pribadi penarinya tentu saja, yang sangat ingin menaklukan diri sendiri sekaligus memamerkan ketangkasan dan kemampuannya menari (lomes) di arena saat menanti giliran bertarung, pun kemampuan bernyanyi dan menari sembari mengungkapkan keberanian dan kegagahannya di hadapan ratusan penonton dalam peribahasa Manggarai (paci) ketika berhasil melakukan serangan yang membikin seorang wanita akan sangat sulit berpaling. Ole tah Nana! Hahahaha…aku bisa apa?!

Jadi,bagaimana? Masih niat ngajak nikah lelaki Manggarai yang menari caci?

Atau begini saja, kapan kamu ke Manggarai supaya kita nonton caci eim?














Pulang ke Kotamu



*Cerpen ini tayang di Rubrik Inspirasi Pos Kupang, Edisi Minggu, 21 Oktober 2018



Matahari Terbenam 29/9/18 dari Jl. Wirajaya, Ende (depan Gereja St. Yosep Onekore) - dok.pribadi

Kota ini, tiba-tiba menjadi begitu syahdu, di tengah musim yang tak pasti. Angin bertiup kencang dari arah timur dan hujan mendadak tumpah-ruah semalaman di bulan Juni yang seharusnya melimpahkan sinar matahari.

Ia termangu di jok belakang sepeda motor tukang ojek yang ia sewa menuju jalan pulang. Di kejauhan kabut tebal masih menutupi puncak Gunung Wongge dan pendampingnya Gunung Kengo. Jika melihat bentangan alam ini, ia selalu teringat pada impiannya, ia tak akan pernah bisa mewujudkannya, mendaki jauh tinggi hingga ke puncak kedua gunung tersebut. Ada jarak yang tak mampu dibahasakan, tak hanya dari sudutnya memandang secara nyata, tetapi juga dari kedalaman pikiran dan hatinya yang kadang tak bisa ia jelaskan dengan leluasa. 

Hanya pernah sekali waktu, ia mencapai kaki gunung wongge, memanen jagung, membakarnya dan menikmati langsung di tempat, bersama kawan-kawan sepermainannya. Dulu sekali, saat kebebasan bukanlah sebuah perihal yang begitu sangat berharga. Hari-harinya adalah kesenangan belaka.

Ojek melintasi Jalan Wirajaya, sebuah jalan bertabur kenangan di mana seluruh waktunya sepanjang dua belas tahun dihabiskan. Dari seragam merahputih, lalu biruputih, dan akhirnya abuabuputih. Jika ditanya, apakah ia tidak bosan, menghabiskan hidup selama itu melalui jalanan dan lingkungan yang sama? Ia tak akan menjawab, sebagian besar karena ia lupa, lupa apa saja yang telah ia lakukan untuk menghabiskan waktu sebanyak itu pada lintasan yang itu-itu melulu.

Banyak bangunan sekolah berdiri di Jalan Wirajaya, mereka bertetangga dengan akurnya. Oleh karena itu, tidak heran, jika dua belas tahun, ia hanya berpindah gedung dan menyebrang dari sisi jalan yang satu ke sisi jalan yang lain. TKK, SD, SMP, SMA bahkan Perguruan Tinggi. Juga ada gereja dan masjid, biara bagi para pastor, bruder dan suster, yang terakhir cukup mencolok, Kompi Senapan C. Rumah-rumah penduduk, hanyalah sebagian yang menyempil di antara bangunan-bangunan penting tersebut.

Ia tidak ingin membayangkan masa-masa sekolah atau membahas perubahan yang terjadi dengan bangunan dan lingkungan sekolahnya. Ia terlalu sering bernostalgia tentang hal tersebut dengan sahabat-sahabatnya yang saban hari bertemu. Mereka menamai kegiatan tersebut, Reuni Daur Ulang, sebab terjadi terus-menerus dan mereka tak kunjung bosan menceritakan hal yang sama berulang-ulang. Sungguh konyol!

Kompi Senapan C, Lingkungan Angkatan Darat-Tentara Nasional Indonesia yang selalu berusaha ia hindari. Hingga saat ini, ia masih berusaha menemukan alasan, mengapa Ia sangat gugup ketika bertemu orang-orang berpakaian loreng sembari memanggul senjata itu, belum lagi sepatu mereka yang bisa melabrak kepala hingga terbelah dua. Ia teringat sebuah peristiwa, seorang kawan, ia lupa nama dan wajahnya, tetapi tidak dengan kisah yang masih melekat erat di kepala. Sesekali timbul ke permukaan ketika bertemu pemicu.

Senja itu, pukul delapan belas tepat waktu Indonesia tengah. Mereka berjalan kaki cepat agar segera tiba di rumah, setelah melewati sore yang melelahkan untuk menjalani persiapan Ujian Akhir Nasional di sekolah. Kebun belakang SD dan selokan yang mengalir di sepanjang lingkungan Kompi Senapan C, hanya dibatasi sebuah tembok batako yang mulai kusam. Saat melewati Gapura Depan yang bertuliskan Yonif 743-Kompi Senapan C, mendadak terdengar rekaman Lagu Indonesia Raya. Di kejauhan, bendera merah putih menukik turun, perlahan, pada sebuah tiang bercat putih dengan bantuan tiga orang tentara. Para lelaki berseragam itu sungguh gagah. Mereka kemudian mempercepat langkah. Tiba-tiba terdengar suara bentakan dari balik tugu di samping gapura yang bergambar dua prajurit tengah bertempur di medan perang. Rupanya pos jaga di belakang tugu tersebut, berpenghuni.

“Heh, berhenti! Kalian tidak lihat, itu bendera sedang diturunkan? Anak sekolah apa ini, tidak ada rasa hormat pada Bangsa dan Negara.”

Mereka terdiam di tempat, wajah keduanya pucat pasi. Ia menoleh, mendapatkan temannya menggengam buku dan pulpennya lebih kencang, seakan-akan ada yang akan merebutnya, demikian pula yang terjadi padanya. Ia membayangkan, mereka mungkin tidak dapat kembali ke rumah malam ini. Cilaka!

Lelaki bersepatu tinggi, berseragam kacang hijau, bersenapan dan mengenakan helm tersebut kembali membentak,

“Sikap siap dan hormat bendera! Lihat ke arah tiang di atas itu, jangan bergerak sampai lagu selesai.”

Mereka melakukan apa yang diperintahkan, dengan terbata-bata, karena bercampur rasa takut akibat membayangkan hal-hal mengerikan yang bisa terjadi kapan saja.

Ketika Lagu Indonesia Raya selesai dan bunyi yang datang dari pengeras suara menghilang, laki-laki yang memberi aba-aba tadi melihat tepat di mata mereka. Satu per satu dan berkata,

“Sekarang boleh lanjut jalan. Lain kali, kalau lewat di depan sini lagi dan pas bendera sedang dinaikkan atau diturunkan seperti tadi, berhenti dulu, sikap siap dan beri hormat macam tadi. Mengerti?”

“Mengerti, om.” Jawab mereka

“Apa? Ulang?” prajurit tersebut bertanya, memastikan

“Meeeeengeeeertttiiii, Oooom.” Jawab mereka tegas dan meyakinkan seraya menyembunyikan suara yang bergetar karena rasa takut yang masih bersarang

“Baek su. Jalan su. Hati-hati e, su gelap.” Demikian sang prajurit mempersilakan mereka berlalu pulang.

Setelah berjalan cukup jauh, ada sepuluh meter kira-kira, sang kawan memohon berhenti. Napas mereka terengah-engah, seolah tengah berusaha lari menjauh dari kejaran hantu.

Ja’o pu celana basah.” Ujar sang kawan

“Ha, apa?” Ia bertanya, memastikan telinganya tidak salah mendengar

Ja’o pu celana basah, ja’o kencing di celana ko. Ja’o takut ngeri tadi na.”

Ia terkesima. Yang terjadi selanjutnya, pantatnya bertemu tanah, ia terduduk dan ngakak sepuasnya. Sementara temannya berusaha menjepit paha yang lembab dan berbau pesing. Mbingu betul!

Ojek berhenti di lampu merah, di persimpangan jalan wirajaya dan jalan el tari, juga jalan menuju kantor pos (demikian mereka biasa melafalkannya sehari-hari). Jalan el tari kini telah menjadi dua jalur yang tak begitu sibuk. Di kiri-kanannya berdiri gedung-gedung kantor baru maupun juga gedung-gedung hasil renovasi dari bangunan kantor yang lama. Jika melalui jalan ini, ia terkenang pada dua ruang membaca yang tak pernah menolak kedatangannya dan kawan-kawan, ketika hari sabtu tiba atau pun hari-hari lain, di mana sekolah berakhir lebih cepat.

Bunyi bel pulang sekolah adalah seperti berkat yang dinanti-nantikan. Perjalanan sejauh tiga puluh menit, tidak lagi melelahkan ketika tiba di ruang membaca tersebut. Mereka menempuh jalanan yang lebih singkat, yang hanya diketahui tuan tanah setempat dan mereka, para penjelajah kebun dan lorong perumahan. Wangi lembaran buku dan majalah, cahaya ruangan yang memadai, membuat aktivitas membaca menjadi sangat menyenangkan. Sekarang, ruang membaca itu, tak ada lagi. Telah diubah sepenuhnya menjadi toko buku yang hanya dikunjungi sesekali oleh orang-orang yang membutuhkan buku. 

Sedangkan satu ruang baca lain, dulu menjadi bagian dari sebuah gedung perkantoran. Kantor tersebut kini berpindah lokasi, entah di bagian mana kota ini. Bersamaan dengan itu, ruang baca itu pun ikut menghilang. Dilupakan begitu saja. Kota ini tidak begitu antusias dengan Buku.

“Kaka turun di mana ni?” Suara tukang ojek memecah lamunannya

“Oh, itu, di depan rumah cat biru tuh. Turun di depan situ.”

Seperti biasa, larutan masa lalu begitu kental dan membuat lupa waktu. Ia turun, membayar ongkos perjalanan dan berusaha memijak kembali pada kenyataan. Sudah dua puluh tahun rupanya, semua begitu cepat berlalu.

Ende, Juni 2018



Keterangan
Ngakak           : Tertawa lepas
Mbingu           : (Ende, red) Gila
Ja’o                  : (Ende, red) Saya, Aku




Versi Koran



Versi digital Rubrik Inspirasi Pos Kupang 21 Oktober 2018

#latepost waktu itu senin pagi, saya bangun pagi dengan enggan karena tak tahu mau bikin apa di hari yang bagi semua orang adalah malapetaka kesibukan. Lalu, saya menemukan sebuah pesan dengan gambar Koran Pos Kupang ini sebagai salah satu informasi. Gambar kedua dikirim kemudian oleh teman yang lain. Saya selalu memiliki dua arsip ketika cerpen muncul di Koran. Dalam bentuk koran dan dalam bentuk digital.
Maksudnya biar pernah menulis untuk kampung halaman, kota kelahiran dan kenangan masa kecil dan dibaca Bapak sendiri. Hanya saja, apakah Pos Kupang hari kemarin sudah tiba di rumah?

Tepat SATU BULAN. Tanpa konfirmasi apa pun, tiba-tiba dapat kabar beginian dari kawan dan sudah lewat sehari. Okkay fainnnns.

Sepesial Danke dr. Ronald Susilo dan Mas Abu Nabil Wibisana