Meratapi Kristus di Noemuti

Minggu, April 01, 2018 Pankratia Da Svit Kona- 0 Comments



Sore itu, awan hitam menggantung di atas langit Bijeli, nama tempat di mana rumah kami menginap. Pukul 15.00, kami berangkat menuju Gereja Satu Hati, Satu Cinta, Satu Keluarga, Noemuti untuk mengikuti Ibadat Cium Salib dan Perayaan Ekaristi Jumat Agung.

 (Hah? Kenapa? Nama Gerejanya panjang? hahaha Ember, tetapi itu beneran. Serius).

Tiba di gereja, misa baru saja dimulai. Beruntung, kami masih mendapat tempat di dalam gereja, meskipun di bangku paling jauh dari altar. Saya dan salah satu teman saya, menempati satu bangku bersama dua orang bapak dan seorang wanita paruh baya, mungkin dia seumuran saya. Hm…

Beberapa menit sebelum Passio Injil Tuhan dimulai pada Perayaan Jumat Agung yang muram, terdengar guntur yang menggelegar dengan dahsyatnya. Ini terjadi sepanjang bacaan injil yang dinyanyikan tersebut berlangsung di atas altar.

Demikian, supaya genaplah isi Kitab Suci, “ketika Yesus mati di kayu salib, langit seketika menjadi gelap gulita, terjadi gempa bumi yang hebat, Dan lihatlah, tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah dan terjadilah gempa bumi, dan bukit-bukit batu terbelah, dan kuburan-kuburan terbuka dan banyak orang kudus yang telah meninggal bangkit.” (Matius, 27: 51-52)


Yah tidak sehoror isi Kitab Suci juga. Masih dalam taraf yang bisa diterima dan dihadapi.

Hal yang sama terjadi, terdengar dentuman keras dari langit, tepat di atas gereja, hanya sepersekian detik ketika barisan wanita dan Patung Yesus tiba di pintu masuk gereja menuju altar untuk memulai RATAPAN. Setelah Passio selesai, upacara dilanjutkan dengan RATAPAN. Tradisi meratapi kematian Kristus di Hari Jumat Agung setelah Kisah Sengsara selesai dinyanyikan ini, terdapat di beberapa Paroki di Keuskupan Atambua maupun juga Keuskupan Agung Kupang.

Disebut ratapan, sebab syair yang dinyanyikan dalam bahasa Dawan ini berisi tentang kesedihan dan duka yang mendalam akan kematian Kristus. Orang Dawan, sebagaimana juga beberapa suku lain di Nusa Tenggara Timur, memiliki kebiasaan menangis di samping jenazah yang telah meninggal dunia. Tangisan tersebut memiliki nada dan akan terdengar seperti nyanyian yang sedih menyayat hati. Saat menangis itu, kenangan-kenangan yang sudah terjadi di masa hidup Almarhum akan diungkapkan melalui ratapan tersebut.

Ketimbang panik dengan bunyi-bunyi alam dari langit, umat di dalam gereja memilih tetap khusyuk dan tenang. Sepertinya ini fenomena alam yang sudah lumrah terjadi setiap tahunnya di sini.

Ketika ratapan dimulai, seluruh gereja hening, masing-masing sibuk dengan isi di dalam hatinya (bukan kepala, saya yakin begitu). Di luar dugaan, pada ratapan yang memilukan ini, terdapat satu bagian yang dinyanyikan bersama-sama dengan UMAT.

Tidak ada bahasa yang tepat untuk menjelaskan suasana serta perasaan untuk kejadian ini. Jika kau mungkin ingin tahu, apa yang saya lakukan saat itu; saya menutup Novel Cannery Row yang tengah saya baca sejak Passio mencapai pertengahan tadi (karena saya sungguh mulai bosan dengan Kisah Sengsara yang diulang-ulang sejak saya belum mengerti hingga khatam Kitab Suci).

Saya kemudian terdiam, tenggelam bersama ratapan. Tanpa sadar, mata saya basah. Biasanya, untuk hal-hal semacam ini, saya tidak pernah punya cukup alasan untuk hal-hal yang terjadi dengan tubuh saya, apalagi ini berada di luar kendali saya. Menalarnya dengan cara apa pun, saya tak mampu. Maka, saya memilih diam sembari membiarkan pipi, rambut hingga bahu saya kebanjiran.

Saya teringat anjuran Yesus yang dahulu, waktu saya masih kanak-kanak, yang saya nilai sungguh angkuh sekali: “Jang ko menangis saya. Menangis untuk ko, ko pu suami dan ko pu anak-anak.”

(yang single, dikondisikan aja yah :D)

Hingga saat ini, saya masih kepo, sungguhkah Tuhan ada? Benarkah Yesus, PuteraNya?

(24 Jam kemudian, saya tetap menyatakan Percaya bahwa Ia sungguh ada dan Yesus sungguh Puteranya pada Pembaharuan Janji Baptis di Perayaan Ekaristi Sabtu Alleluya).

Saya kadang dijuluki sangat kekanak-kanakan di usia yang sebegini ini, masih saja meragukan Tuhan dan semua sepak terjang Beliau.

Kisahnya tak lekang oleh waktu, meski sampai detik ini, tidak ada satu pun yang bisa memastikan “Apa agama Yesus?”

Yesus hanya menyebarkan sebuah ajaran yang kadang sangat menguras tenaga, waktu dan perasaan: “CINTA KASIH.”

Dan saya, masih terduduk di antara ratusan umat di gereja ini, meratapi kematian laki-laki seksi berambut sebahu, sebab siang kemarin Ia dibiarkan telanjang di tiang gantungan. Ia dengan tegas membalikkan makna tiang penyiksaan tersebut dari simbol keterpurukan, penyiksaan yang hina dina menjadi sebuah tanda kemenangan, yang entah mengapa, hingga saat ini, masih menjadi gerakan sekaligus mantra utama dalam setiap kondisi.


Nikiniki, 31 Maret 2018
Dari sebuah Perayaan Malam Paskah yang melelahkan
Saya memilih untuk belum move on dan mencatat ini pada Jurnal
*Akhir bulan ini, saya cerewet sekali.


Barisan Wanita yang Meratap. Foto: Eko Ninu







0 komentar: