Refleksi yang cukup P a n j a n g

Sabtu, Februari 25, 2017 Pankratia Da Svit Kona- 0 Comments



Belakangan saya sedikit terusik dengan pemikiran beberapa orang tentang “SAKIT” entah sakit di Rumah Sakit atau Sakit di Rumah sendiri. Mereka seperti menyalahkan kekurangprihatinan orang lain pada penderitaan orang tertentu. Bahwa sebuah kewajiban bagi ORANG SEHAT untuk berusaha MENYEMBUHKAN ORANG SAKIT, bagaimana pun caranya. Apalagi kalau itu Tokoh Penting, semua berlomba yang paling P E D U L I. Lebih baik menyembuhkan orang yang sakit daripada mengucapkan belasungkawa dan menjadikan peristiwa itu sebagai ajang penghormatan terakhir paling haru. Teknologi sudah maju kok, para dokter dikerahkan, kita hanya perlu membayarnya, kalau tak cukup uang, mari kumpulkan-donasi. Pernahkah kita berpikir bahwa ORANG YANG SAKIT tersebut sedang kesulitan melawan penderitaan sakit yang sangat? Lalu kita dengan seenaknya menghamparkan beban ke hadapannya dengan MEWAJIBKAN DIA UNTUK SEMBUH melalui penghiburan bahwa ia mampu melawan penyakitnya dan akan segera sehat-melalui berbagai buah tangan dan UANG. Bisa kah kita membiarkan ia menikmati sakitnya? Apa Sakit itu salah?

Sejak lama saya mulai berpikir keras tentang ini dan semakin memahaminya ketika menemukan tulisan AJAHN BRAM yang ini;

Seorang rekan biksu telah menderita suatu penyakit tak dikenal selama beberapa tahun. Dia menghabiskan hari demi hari, minggu demi minggu, berbaring di ranjang sepanjang hari, terlalu lemah bahkan hanya untuk berjalan keluar kamar. Pihak wihara itu telah membiayai berbagai jenis pengobatan, baik medis maupun alternatif, dalam upaya menyembuhkannya, tetapi tampaknya tak ada yang berhasil. Ketika dia merasa sedikit baikan, dia berjalan terhuyung huyung beberapa langkah, lalu tumbang lagi berminggu-minggu. Para anggota wihara sering berpikir bahwa dia akan segera meninggal.

Suatu hari, kepala wihara yang bijaksana mendapatkan ilham mengenai masalah ini. Jadi, dia pergi ke kamar biksu yang sakit itu. Biksu yang terbaring itu menatap kepala wihara dengan tatapan nanar pasrah.

“Saya datang ke sini, “ kata kepala wihara, “atas nama seluruh biarawan dan biarawati di wihara ini, juga seluruh umat penyantun kita. Atas nama seluruh orang yang peduli dan mengasihimu, saya datang untuk memberimu izin untuk mati. Kamu tidak harus sembuh.”

Mendengar kata-kata itu, si biksu sakit terisak. Dia telah berupaya keras untuk sembuh. Teman-temannya telah banyak membantu demi kesembuhannya, sehingga dia TIDAK MAU MENGECEWAKAN mereka. Dia merasa begitu gagal, begitu bersalah, karena tak kunjung sembuh. Saat mendengar kata-kata sang kepala wihara, seketika dia merasa BEBAS UNTUK MENJADI ORANG SAKIT, BAHKAN BEBAS UNTUK MATI. Dia tak perlu lagi BERJUANG DEMIKIAN KERAS UNTUK MENYENANGKAN TEMAN-TEMANNYA. Kelegaan itu membuatnya menangis.

Menurut Anda, apa yang terjadi kemudian? Apakah dia jadi meninggal?

Tidak.

Semenjak hari itu, kesehatannya mulai membaik, ia menjalani pengobatan dengan nikmat hingga akhirnya pulih kembali.
//
*Mungkin kita memang perlu melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Belajar ikhlas dan peduli dengan cara yang tidak biasa, memang agak susah sih dengan tradisi masyarakat kita yang sudah berakar dalam. Akan tetapi, kenapa tidak dicoba? Hm…


***

Ini juga alasan saya menuliskan kegelisahan ini, kepergian seorang Sastrawan yang sudah lanjut usia dan sakit.




0 komentar: