J E R A T

Minggu, Desember 04, 2016 Pankratia Da Svit Kona- 0 Comments



Sebuah Cerpen #MariaPankratia

*Santarang Edisi Mei 2016


Yang melihat dengan nyata, mendengar dua kali...

Kalimat itu keluar dari mulut atasannya, si lelaki Italia. Ia teringat ungkapan masa kecil, juga ayahnya yang senantiasa menyemangati ia bernyanyi sebelum Sekolah Minggu dimulai.

 “Rambu, yang semangat nyanyi e. Karena bernyanyi sama dengan kita berdoa dua kali.”

Dalam ruangan dengan suhu dingin yang menerpa hampir ke sebagian tubuhnya, hanya ada mereka berdua, sang atasan berkepala hampir saja licin dengan aksen Italia yang kental namun memiliki kemampuan bahasa indonesia cukup baik, dan dirinya, seorang gadis yang sedari tadi tergugu pelan. Sang atasan kembali berbicara,

“Dina, maaf sebelumnya, apakah ada masalah yang sungguh membuat kamu sangat terintimidasi sehingga kamu sampai seperti ini? Bapak tidak akan paham duduk persoalannya jika kamu terus saja menangis.”

Gadis itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan. Sang atasan terdiam menatapnya yang terus saja menangis. Hanya ada teriakan koki di dapur lantai bawah kepada para pelayan,

“Out Table 35.”


***

Kejadian itu seperti mimpi. Atau kilat ketika hujan. Ringkas. Cepat namun berbekas.
Pukul 07.00 pagi ia telah menyalakan lampu  store. Belum ada karyawan lain yang datang kecuali karyawan dapur yang mendapat jatah piket pagi. Mereka harus menyiapkan makan siang para karyawan, juga bahan mentah yang harus diiris, dipotong atau dibersihkan dari bungkusannya sehingga tidak repot ketika memasak orderan membludak siang nanti. Aroma berbagai macam bahan makanan kebutuhan dapur khusus makanan Italia, seperti  anchovies, arthicoke, wine  dan yang lainnya, menguar dari dalam gudang berbaur dengan wangi makanan yang menyeberang dari dapur di sampingnya.

Ia akan berganti pakaian seperti biasa sebelum memulai aktivitas mengangkat, memindahkan, menghitung, dan segala hal yang menjadikannya pantas digaji karena berada di tempat ini. Ditutup dan dikuncinya pintu  store. Kemudian ia mengecek jendela yang belum sempat ia buka; masih tertutup rapat seraya menghindari CCTV agar lekuk tubuhnya tidak tampak pada tampilan layar di ruang utama.

Tak ada ruang khusus untuk berganti pakaian, hanya disediakan loker bagi para karyawan di lorong menuju lantai dua yang adalah kantor operasional restoran. Bukan menjadi masalah baginya harus bertukar pakaian di gudang penyimpanan, selama ia dapat melakukannya dengan nyaman dan aman.

Sudah sebelas bulan ia menghabiskan waktu di restoran Italia itu, menikmati rejeki Tuhan melalui perantaraan seorang lelaki Italia yang mewujudkan mimpinya dalam dunia kuliner. Bisnis makanan sedang sangat menjanjikan. Tak ada yang cukup istimewa hingga detik ini kecuali banyak pengetahuan baru yang ia dapatkan.

Begitulah yang lumrah terjadi saat kita memulai hal yang sebelumnya tidak pernah kita lakukan. Selain ilmu, tentu saja ada kawan baru dan lawan baru. Sebagian besar pekerja di restoran adalah rekan sekampungnya dari Timur. Mereka memang datang ke kota itu khusus untuk mencari nafkah. Berbeda dengannya. Ia ibarat seseorang yang sambil menyelam minum air. Pagi bekerja dan sore kuliah. Eksistensi dan cita-cita yang membara memang membutuhkan lebih banyak pengorbanan.

Sudah sebelas bulan juga ia berkenalan dan bergaul dengan  pekerja pekerja  lain yang sebagian besar adalah orang dari tanah ini. Tanah di mana ia mengais rejeki dan ilmu. Mereka adalah orang baik. Sangat baik, hingga pada suatu senja yang abu-abu, hari yang selalu sama, saat ia memanfaatkan salah satu sudut gudang tempat ia bersemayam untuk berganti pakaian. Ada seseorang di sana. Menatapnya penuh bisa. 

Lelaki itu selalu baik padanya. Saban hari ia menanyakan kabarnya meski hanya dijawab dengan senyuman singkat atau anggukan pelan karena rasa malu yang bercampur tidak peduli. Lelaki yang selalu ia sadari memperhatikannya diam-diam. Tatapannya aneh.

Meskipun perasaan aneh itu kadang merayap sesekali, tetap saja ia tidak peduli. Mungkin lelaki itu hanya iseng sebagaimana Komang atau Iluh yang selalu suka bercanda padanya dan reaksinya selalu sama. Diam, tersenyum seperlunya dan lalu menjauh. Tak acuh.Saat itu tersisa sepotong kutang yang menutupi kedua puting cokelatnya. Tubuhnya memberikan isyarat kaku, membeku. 

Lelaki itu berdiri di hadapannya seolah sudah lama menanti. Terkejut tak terkira, diraihnya segala yang ada disekitarnya. Botol  wine, galon saus, bahkan krat  soft  drink. Dipukulnya sekuat tenaga lelaki itu bak orang kesetanan. Penuh marah tanpa akal. Setelah kesadarannya kembali ia menemukan kedua tangannya yang telah bersimbah darah. Kutangnya masih utuh menempel dan menutupi lekuk payudaranya, sementara seragam kerja dan kemeja yang hendak ia ganti telah berserakan. Ia terduduk lemas dan menangis.

Senja itu cepat berubah menjadi gelap yang panjang. Kekacauan terjadi dan kembali ia tak sadarkan diri. Semua orang yang ada di restoran seketika ramai semacam kondangan atau pasar malam lebih tepatnya. 

Kasak-kusuk dan bisik busuk berlompatan dari mulut yang satu ke mulut yang lain.Komentar-komentar tentang keterbelakangannya menyebar begitu cepat. Sejak awal ia bekerja semua selalu mengatakan hal yang sama bahwa ia perempuan yang aneh. Karena ia selalu muncul tanpa suara atau sebuah pertanda. Sementara jenazah lelaki itu terkapar, kaku dan kehilangan segalanya. Lelaki itu mati.


***

“Bapak masih menunggu cerita darimu, Dina. Cerita yang benar dan lengkap.”
Suara tangisannya kian keras. Ditatapnya kedua bola mata lelaki Italia itu, berharap seluruh rentetan kejadian yang sesungguhnya melintas pada bola matanya sehingga tidak perlu lagi pertanyaan berhamburan memenuhi isi ruangan.
***
Ayahnya seorang yang rendah hati. Mengantarkannya ke sekolah dan menjemputnya kembali saat hari mulai tinggi. Sekolah tempat ia belajar merupakan satu-satunya Sekolah Dasar yang menampung murid-murid dari lima dusun yang ada disekitarnya. Dusun tempat ia dan ayah tinggal adalah yag paling jauh jaraknya. Membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk tiba di sekolah tepat bel tanda masuk berbunyi.

Dalam rumahnya tersisa ia dan ayah, ibunya telah lama pergi menuju  Prai Marapu. Ketika ibu pergi, belum ada bangunan gereja dengan salib terpancang di bubungan. Dulu, saat ibu masih hidup dan segar bugar, ia selalu diajak menyajikan makanan dan berdoa di pohon-pohon besar dan rindang sebagaimana kepercayaan para  Marapu. Ibu meninggal karena menderita tumor yang sangat parah di bagian kiri selangkangannya. 

Beberapa tahun setelah kepergian ibu, ia dikenalkan kepada seorang lelaki yang kemudian diketahuinya bernama Pastor Ansel. Pastor Ansel yang membaptis ia dan ayahnya menjadi Katolik. Pastor Ansel yang baik hati yang selalu membacakan cerita Alkitab yang luar biasa, bukan hanya saat Sekolah Minggu, kapan saja ia boleh mampir ke paroki tempat Pastor Ansel tinggal.

Sebagai  ana humba  yang berbakti, ia tidak ingin melewatkan pengabdiannya pada sang ayah. Sepulang sekolah, ia selalu membantunya mencari kayu bakar barang seikat dua ikat. Atau memungut pinang dari hutan di dekat kampung agar ayah tak kekurangan cemilan yang bisa menenteramkan mulut dan hatinya. Padahal ayah tidak pernah menyuruhnya melakukan itu. Ia senang karena mampu melakukan semuanya dengan tangan kecilnya. Kala senja tiba, ia akan duduk di samping ayah. Mereka akan saling menggoda sementara liur ayah yang memerah akibat  happa  muncrat dan mengotori dinding-dinding rumah. Saat itu ia akan tertawa tergelak menyaksikan tingkah ayah yang lucu.

Di suatu siang yang hangat, ketika ayah sama sekali belum muncul menjemputnya ia mulai resah. Kawan-kawannya telah kembali ke rumah sejak tadi, dijemput orang tua mereka, ada juga yang pulang berjalan sendiri karena lokasi dusun yang tidak begitu jauh dari sekolah tempat mereka belajar.Karena ayah tak kunjung datang, ia memutuskan untuk berjalan saja pelan-pelan, mungkin ayah juga sedang dalam perjalanan. Mereka pasti akan berpapasan di tengah jalan. Harapannya sia-sia, ayah tak juga muncul hingga ia tiba di rumah.

Ketika ia menginjakkan kaki di halaman, terdengar suara teriakan. Suara ayah. Secepat mungkin ia menerobos masuk. Ada dua pria yang sedang bergumul, salah satu pria ia kenali sebagai ayahnya dan pria yang lain adalah pamannya. Adik ibunya, Umbu Herman. Naluri ingin membela dan menyelamatkan ayahnya muncul begitu saja, ia mengambil sebilah bambu yang tergeletak di ruang tamu. Bilah bambu yang akan dipakai ayah merenovasi dinding-dinding rumah mereka. Ia belum pernah tahu bahwa kemarahan dapat mendatangkan kejutan yang luar biasa. Sekuat tenaga ia mengayunkan bambu tanpa mengenali wajah siapa yang akan mendapatkan sasaran pukulan bambu tersebut. 

Darah akibat luka sayatan bambu mengalir deras, usus ayahnya menggelambir dari perutnya yang hitam karena terpanggang matahari sehari-hari. Seketika rumahnya diselimuti diam yang aneh, dingin mengitari sekujur tubuhnya. Matanya seolah bernanah, padangannya kabur dan semuanya hitam. Gadis sepuluh tahun menghabisi ayahnya dengan sebilah bambu. Sejak siang itu, siang di mana ayahnya mati lemas karena perbuatannya, tak pernah ada satu kata pun yang dapat keluar dari mulutnya. Kedua lempeng bibirnya seperti disulam rapat, menyatu. Gagu.

Apa yang terjadi selanjutnya selalu berusaha ia hilangkan dari isi kepalanya. Pastor Ansel yang murah hati mengirim ia jauh ke sebuah kota. Ia diperkenalkan pada kehidupan biara yang syahdu dan tertib demi ketenangan dan perbaikan psikisnya. Pastor Ansel yakin suatu saat ia akan kembali menjadi gadis riang. Gadis yang adalah anak ayahnya. 

Dengan alasan usia serta hubungan darah dan penjelasan pamannya, ia dibebaskan dari tuduhan pembunuhan. Ia disekolahkan dengan baik. Akan tetapi seumur hidupnya ia tidak pernah terbebas dari beban rasa bersalah yang selalu membuat nafasnya tersengal dan dadanya seperti dihantam palu godam. Suster dari biara tempat ia tinggal dengan telaten dan sabar membantunya lari dari kenangan yang terus saja menghantui. 

Kenangan itu berhasil terlupakan untuk saat tertentu namun tersimpan rapi di sudut entah, kemudian akan muncul kembali di saat-saat tertentu dengan atau tanpa sepengetahuannya.
Saat ia merindukan sang ayah, rasa bersalah itu datang bersamanya. Mereka beriringan seperti pengantin menuju pelaminan. Tak ada tangis yang lebih menyayat dari pada tangisan anak yang menghabisi nyawa ayahnya sendiri. 

Dan untuk segala yang sudah ia lewati, ia pungut dan satukan perlahan puing-puing tersebut sebagai harapan. Ayahnya selalu mendambakan sebuah pigura menghiasi ruang tamu mereka. Pigura bergambar ayah dan anaknya yang bertoga. Seorang tukang kayu yang mampu menyekolahkan anaknya hingga sarjana akan menjadi sebuah kebanggaan tak terkira. Ia memutuskan untuk keluar dari biara tempat ia tinggal, mencari pekerjaan dan mendaftar kuliah. Suster yang mengasuhnya begitu sedih saat membiarkannya pergi namun sudah saatnya ia dibiarkan mengambil langkah sendiri. Menentukan pilihan bagi hidupnya.


***

Ruangan itu kini menjadi lebih dingin, sesekali lelaki Italia tersebut menghela nafasnya. Matanya memandang sejurus kepada gadis di depannya. Disodorinya selembar kertas dan sebuah pena.

“Baiklah, Bapak akan memberimu waktu untuk menuliskan segalanya. Karena kamu tidak ingin bertemu polisi, karena kamu juga tidak mampu melarikan diri, Bapak akan tetap di sini, menunggumu menceritakan semuanya.”

Sejak hari di mana ia menghabisi ayahnya, gadis itu memilih untuk menjadi bisu. Sejak siang itu, siang di mana ia begitu mati ketakutan bahwa ia akan kehilangan ayahnya. Ia memilih untuk tidak bicara selamanya. 

Segala yang terjadi padanya selama ini mendekam, mengendap dan berkembang biak di kepala dan hatinya seperti tangisnya yang kini menjelma sungai tak berujung. Bahkan samudera pun tak akan sanggup lagi menampung alirannya. Jeratan yang begitu erat mematikan. Kekal.


Keterangan:

Prai Marapu: Surga Marapu.

Ana Humba: Anak Sumba.

Marapu: sebuah agama atau kepercayaan lokal yang dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba. Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk agama ini. Agama ini memiliki kepercayaan pemujaan kepada nenek moyang dan leluhur. Pemeluk agama Marapu percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara dan bahwa setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal di dunia roh, yaitu di surga Marapu yang dikenal sebagai Prai Marapu.

Happa: Sirih Pinang.


0 komentar: