J E R A T
Sebuah Cerpen #MariaPankratia
*Santarang Edisi Mei 2016
Yang melihat dengan nyata, mendengar dua kali...
Kalimat itu keluar dari mulut atasannya, si lelaki Italia.
Ia teringat ungkapan masa kecil, juga ayahnya yang senantiasa menyemangati ia bernyanyi
sebelum Sekolah Minggu dimulai.
“Rambu, yang semangat
nyanyi e. Karena bernyanyi sama dengan kita berdoa dua kali.”
Dalam ruangan dengan suhu dingin yang menerpa hampir ke sebagian
tubuhnya, hanya ada mereka berdua, sang atasan berkepala hampir saja licin
dengan aksen Italia yang kental namun memiliki kemampuan bahasa indonesia cukup
baik, dan dirinya, seorang gadis yang sedari tadi tergugu pelan. Sang atasan
kembali berbicara,
“Dina, maaf sebelumnya, apakah ada masalah yang sungguh membuat
kamu sangat terintimidasi sehingga kamu sampai seperti ini? Bapak tidak akan
paham duduk persoalannya jika kamu terus saja menangis.”
Gadis itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan. Sang atasan
terdiam menatapnya yang terus saja menangis. Hanya ada teriakan koki di dapur
lantai bawah kepada para pelayan,
“Out Table 35.”
***
Kejadian itu seperti mimpi. Atau kilat ketika hujan.
Ringkas. Cepat namun berbekas.
Pukul 07.00 pagi ia telah menyalakan lampu store. Belum ada karyawan lain yang datang
kecuali karyawan dapur yang mendapat jatah piket pagi. Mereka harus menyiapkan
makan siang para karyawan, juga bahan mentah yang harus diiris, dipotong atau dibersihkan
dari bungkusannya sehingga tidak repot ketika memasak orderan membludak siang
nanti. Aroma berbagai macam bahan makanan kebutuhan dapur khusus makanan
Italia, seperti anchovies, arthicoke,
wine dan yang lainnya, menguar dari
dalam gudang berbaur dengan wangi makanan yang menyeberang dari dapur di
sampingnya.
Ia akan berganti pakaian seperti biasa sebelum memulai
aktivitas mengangkat, memindahkan, menghitung, dan segala hal yang menjadikannya
pantas digaji karena berada di tempat ini. Ditutup dan dikuncinya pintu store. Kemudian ia mengecek jendela yang
belum sempat ia buka; masih tertutup rapat seraya menghindari CCTV agar lekuk
tubuhnya tidak tampak pada tampilan layar di ruang utama.
Tak ada ruang khusus untuk berganti pakaian, hanya
disediakan loker bagi para karyawan di lorong menuju lantai dua yang adalah
kantor operasional restoran. Bukan menjadi masalah baginya harus bertukar pakaian
di gudang penyimpanan, selama ia dapat melakukannya dengan nyaman dan aman.
Sudah sebelas bulan ia menghabiskan waktu di restoran Italia
itu, menikmati rejeki Tuhan melalui perantaraan seorang lelaki Italia yang
mewujudkan mimpinya dalam dunia kuliner. Bisnis makanan sedang sangat
menjanjikan. Tak ada yang cukup istimewa hingga detik ini kecuali banyak
pengetahuan baru yang ia dapatkan.
Begitulah yang lumrah terjadi saat kita memulai hal yang sebelumnya
tidak pernah kita lakukan. Selain ilmu, tentu saja ada kawan baru dan lawan
baru. Sebagian besar pekerja di restoran adalah rekan sekampungnya dari Timur.
Mereka memang datang ke kota itu khusus untuk mencari nafkah. Berbeda
dengannya. Ia ibarat seseorang yang sambil menyelam minum air. Pagi bekerja dan
sore kuliah. Eksistensi dan cita-cita yang membara memang membutuhkan lebih
banyak pengorbanan.
Sudah sebelas bulan juga ia berkenalan dan bergaul
dengan pekerja pekerja lain yang sebagian besar adalah orang dari
tanah ini. Tanah di mana ia mengais rejeki dan ilmu. Mereka adalah orang baik.
Sangat baik, hingga pada suatu senja yang abu-abu, hari yang selalu sama, saat
ia memanfaatkan salah satu sudut gudang tempat ia bersemayam untuk berganti
pakaian. Ada seseorang di sana. Menatapnya penuh bisa.
Lelaki itu selalu baik
padanya. Saban hari ia menanyakan kabarnya meski hanya dijawab dengan senyuman
singkat atau anggukan pelan karena rasa malu yang bercampur tidak peduli.
Lelaki yang selalu ia sadari memperhatikannya diam-diam. Tatapannya aneh.
Meskipun perasaan aneh itu kadang merayap sesekali, tetap
saja ia tidak peduli. Mungkin lelaki itu hanya iseng sebagaimana Komang atau
Iluh yang selalu suka bercanda padanya dan reaksinya selalu sama. Diam,
tersenyum seperlunya dan lalu menjauh. Tak acuh.Saat itu tersisa sepotong kutang
yang menutupi kedua puting cokelatnya. Tubuhnya memberikan isyarat kaku,
membeku.
Lelaki itu berdiri di hadapannya seolah sudah lama menanti. Terkejut
tak terkira, diraihnya segala yang ada disekitarnya. Botol wine, galon saus, bahkan krat soft
drink. Dipukulnya sekuat tenaga lelaki itu bak orang kesetanan. Penuh
marah tanpa akal. Setelah kesadarannya kembali ia menemukan kedua tangannya
yang telah bersimbah darah. Kutangnya masih utuh menempel dan menutupi lekuk
payudaranya, sementara seragam kerja dan kemeja yang hendak ia ganti telah berserakan.
Ia terduduk lemas dan menangis.
Senja itu cepat berubah menjadi gelap yang panjang.
Kekacauan terjadi dan kembali ia tak sadarkan diri. Semua orang yang ada di restoran
seketika ramai semacam kondangan atau pasar malam lebih tepatnya.
Kasak-kusuk
dan bisik busuk berlompatan dari mulut yang satu ke mulut yang lain.Komentar-komentar
tentang keterbelakangannya menyebar begitu cepat. Sejak awal ia bekerja semua selalu
mengatakan hal yang sama bahwa ia perempuan yang aneh. Karena ia selalu muncul
tanpa suara atau sebuah pertanda. Sementara jenazah lelaki itu terkapar, kaku
dan kehilangan segalanya. Lelaki itu mati.
***
“Bapak masih menunggu cerita darimu, Dina. Cerita yang benar
dan lengkap.”
Suara tangisannya kian keras. Ditatapnya kedua bola mata
lelaki Italia itu, berharap seluruh rentetan kejadian yang sesungguhnya melintas
pada bola matanya sehingga tidak perlu lagi pertanyaan berhamburan memenuhi isi
ruangan.
***
Ayahnya seorang yang rendah hati. Mengantarkannya ke sekolah
dan menjemputnya kembali saat hari mulai tinggi. Sekolah tempat ia belajar
merupakan satu-satunya Sekolah Dasar yang menampung murid-murid dari lima dusun
yang ada disekitarnya. Dusun tempat ia dan ayah tinggal adalah yag paling jauh
jaraknya. Membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk tiba di sekolah tepat bel
tanda masuk berbunyi.
Dalam rumahnya tersisa ia dan ayah, ibunya telah lama pergi
menuju Prai Marapu. Ketika ibu pergi,
belum ada bangunan gereja dengan salib terpancang di bubungan. Dulu, saat ibu
masih hidup dan segar bugar, ia selalu diajak menyajikan makanan dan berdoa di
pohon-pohon besar dan rindang sebagaimana kepercayaan para Marapu. Ibu meninggal karena menderita tumor
yang sangat parah di bagian kiri selangkangannya.
Beberapa tahun setelah kepergian
ibu, ia dikenalkan kepada seorang lelaki yang kemudian diketahuinya bernama
Pastor Ansel. Pastor Ansel yang membaptis ia dan ayahnya menjadi Katolik. Pastor Ansel yang baik hati yang selalu membacakan cerita
Alkitab yang luar biasa, bukan hanya saat Sekolah Minggu, kapan saja ia boleh
mampir ke paroki tempat Pastor Ansel tinggal.
Sebagai ana
humba yang berbakti, ia tidak ingin
melewatkan pengabdiannya pada sang ayah. Sepulang sekolah, ia selalu membantunya
mencari kayu bakar barang seikat dua ikat. Atau memungut pinang dari hutan di
dekat kampung agar ayah tak kekurangan cemilan yang bisa menenteramkan mulut
dan hatinya. Padahal ayah tidak pernah menyuruhnya melakukan itu. Ia senang karena
mampu melakukan semuanya dengan tangan kecilnya. Kala senja tiba, ia akan duduk
di samping ayah. Mereka akan saling menggoda sementara liur ayah yang memerah
akibat happa muncrat dan mengotori dinding-dinding rumah.
Saat itu ia akan tertawa tergelak menyaksikan tingkah ayah yang lucu.
Di suatu siang yang hangat, ketika ayah sama sekali belum
muncul menjemputnya ia mulai resah. Kawan-kawannya telah kembali ke rumah sejak
tadi, dijemput orang tua mereka, ada juga yang pulang berjalan sendiri karena
lokasi dusun yang tidak begitu jauh dari sekolah tempat mereka belajar.Karena
ayah tak kunjung datang, ia memutuskan untuk berjalan saja pelan-pelan, mungkin
ayah juga sedang dalam perjalanan. Mereka pasti akan berpapasan di tengah
jalan. Harapannya sia-sia, ayah tak juga muncul hingga ia tiba di rumah.
Ketika ia menginjakkan kaki di halaman, terdengar suara
teriakan. Suara ayah. Secepat mungkin ia menerobos masuk. Ada dua pria yang
sedang bergumul, salah satu pria ia kenali sebagai ayahnya dan pria yang lain
adalah pamannya. Adik ibunya, Umbu Herman. Naluri ingin membela dan menyelamatkan
ayahnya muncul begitu saja, ia mengambil sebilah bambu yang tergeletak di ruang
tamu. Bilah bambu yang akan dipakai ayah merenovasi dinding-dinding rumah
mereka. Ia belum pernah tahu bahwa kemarahan dapat mendatangkan kejutan yang
luar biasa. Sekuat tenaga ia mengayunkan bambu tanpa mengenali wajah siapa yang
akan mendapatkan sasaran pukulan bambu tersebut.
Darah akibat luka sayatan bambu
mengalir deras, usus ayahnya menggelambir dari perutnya yang hitam karena
terpanggang matahari sehari-hari. Seketika rumahnya diselimuti diam yang aneh, dingin
mengitari sekujur tubuhnya. Matanya seolah bernanah, padangannya kabur dan
semuanya hitam. Gadis sepuluh tahun menghabisi ayahnya dengan sebilah bambu.
Sejak siang itu, siang di mana ayahnya mati lemas karena perbuatannya, tak
pernah ada satu kata pun yang dapat keluar dari mulutnya. Kedua lempeng
bibirnya seperti disulam rapat, menyatu. Gagu.
Apa yang terjadi selanjutnya selalu berusaha ia hilangkan
dari isi kepalanya. Pastor Ansel yang murah hati mengirim ia jauh ke sebuah kota.
Ia diperkenalkan pada kehidupan biara yang syahdu dan tertib demi ketenangan
dan perbaikan psikisnya. Pastor Ansel yakin suatu saat ia akan kembali menjadi
gadis riang. Gadis yang adalah anak ayahnya.
Dengan alasan usia serta hubungan
darah dan penjelasan pamannya, ia dibebaskan dari tuduhan pembunuhan. Ia
disekolahkan dengan baik. Akan tetapi seumur hidupnya ia tidak pernah terbebas dari
beban rasa bersalah yang selalu membuat nafasnya tersengal dan dadanya seperti
dihantam palu godam. Suster dari biara tempat ia tinggal dengan telaten dan
sabar membantunya lari dari kenangan yang terus saja menghantui.
Kenangan itu
berhasil terlupakan untuk saat tertentu namun tersimpan rapi di sudut entah, kemudian
akan muncul kembali di saat-saat tertentu dengan atau tanpa sepengetahuannya.
Saat ia merindukan sang ayah, rasa bersalah itu datang bersamanya.
Mereka beriringan seperti pengantin menuju pelaminan. Tak ada tangis yang lebih
menyayat dari pada tangisan anak yang menghabisi nyawa ayahnya sendiri.
Dan
untuk segala yang sudah ia lewati, ia pungut dan satukan perlahan puing-puing
tersebut sebagai harapan. Ayahnya selalu mendambakan sebuah pigura menghiasi ruang
tamu mereka. Pigura bergambar ayah dan anaknya yang bertoga. Seorang tukang
kayu yang mampu menyekolahkan anaknya hingga sarjana akan menjadi sebuah
kebanggaan tak terkira. Ia memutuskan untuk keluar dari biara tempat ia
tinggal, mencari pekerjaan dan mendaftar kuliah. Suster yang mengasuhnya begitu
sedih saat membiarkannya pergi namun sudah saatnya ia dibiarkan mengambil
langkah sendiri. Menentukan pilihan bagi hidupnya.
***
Ruangan itu kini menjadi lebih dingin, sesekali lelaki
Italia tersebut menghela nafasnya. Matanya memandang sejurus kepada gadis di
depannya. Disodorinya selembar kertas dan sebuah pena.
“Baiklah, Bapak akan memberimu waktu untuk menuliskan segalanya.
Karena kamu tidak ingin bertemu polisi, karena kamu juga tidak mampu melarikan
diri, Bapak akan tetap di sini, menunggumu menceritakan semuanya.”
Sejak hari di mana ia menghabisi ayahnya, gadis itu memilih
untuk menjadi bisu. Sejak siang itu, siang di mana ia begitu mati ketakutan bahwa
ia akan kehilangan ayahnya. Ia memilih untuk tidak bicara selamanya.
Segala
yang terjadi padanya selama ini mendekam, mengendap dan berkembang biak di
kepala dan hatinya seperti tangisnya yang kini menjelma sungai tak berujung.
Bahkan samudera pun tak akan sanggup lagi menampung alirannya. Jeratan yang
begitu erat mematikan. Kekal.
Keterangan:
Prai Marapu: Surga Marapu.
Ana Humba: Anak Sumba.
Marapu: sebuah agama atau kepercayaan lokal yang dianut oleh masyarakat
di Pulau Sumba. Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk agama ini. Agama ini
memiliki kepercayaan pemujaan kepada nenek moyang dan leluhur. Pemeluk agama Marapu
percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara dan bahwa setelah akhir
zaman mereka akan hidup kekal di dunia roh, yaitu di surga Marapu yang dikenal
sebagai Prai Marapu.
Happa: Sirih Pinang.
0 komentar: