A D A M
Sebuah Cerpen #MariaPankratia
*Bali Post Edisi Minggu Wage, 3 Juli 2016
Remaja lelaki
itu selalu bermain di sepanjang gang kecil padat hunian. Dengan teman-teman yang dapat diajaknya,
mereka menghabiskan waktu bersama. Seumuran atau bukan, satu sama lain selalu memanggil
dengan nama yang diberikan kedua orang tua mereka. Atau sesekali dengan nama
induk semangnya, jika geram hinggap terkadang.
Aku sedang
dalam perjalanan pulang. Hari itu aku lesu, polisi tidur yang biasanya kusentuh
dengan ujung sepatuku, kubiarkan melata menunggu. Sesekali ia harus diacuhkan
sebab terlampau sering ia diberi perhatian melalui deru kendaraan yang
melambat. Adam, nama anak itu, ia menyapaku dengan genit. Sudah beberapa hari
ini ia bertingkah aneh bila bertemu.
“Hai, Mba”
Tak
kupedulikan panggilannya. Namun ia kukuh mencoba lagi.
“Mba, capek
yah?”
Aku berbalik
dan membentaknya,
“IYA,
KENAPA?”
Ia ngeloyor
pergi, kabur membawa amarahku. Tiba di kos, lesu itu menghilang. Segelas air
putih membuatku terduduk kebingungan.
***
Kantor
tengah dilanda kekacauan selama seminggu. Penjualan produk kami menurun drastis
dan seperti biasa, ini adalah musim yang tepat untuk mendapatkan serangan
membabi buta dari bos besar. Sepanjang hari kami akan berhadapan dengan
wajahnya yang seram menakutkan, lalu racauannya yang tak kunjung mendekati garis
finish. Supervisorku terus membobardir dengan berbagai macam masukan,
gagasan, ide, inovasi yang dengan sendirinya akan berbalik, bukan hanya kepada
dirinya sebagai pencetus tetapi juga kami yang hanyalah kaki tangan penerus
perintah dan himbauan.
Setiap hari
aku kembali dengan wajah yang kuyu dan merusak suasana hati siapa saja yang
kutemui di jalan, termasuk Adam. Hari ini ia menggodaku lagi.
“Mba, mba
cakep”
Sunyi
“Ih Mbanya
sombong deh.”
Aku
mematung, memperhatikannya. Nama Adam ternyata cukup tepat baginya, tinggi
semampai, hitam manis dengan bibir yang melankolis. Jenis rambutnya adalah
jenis yang dapat diapakan saja ketika air bertemu dengan pomade, dan matanya
wahai semacam pantulan bulan bintang di malam takbiran. Kulemparkan sebuah
pertanyaan padanya,
“Kelas
berapa kau?”
“Dua SMP
hihi, ih Mbanya ngomong”
Suaranya
merdu, serak dan basah. Aku tersentak dan berjalan menjauhinya. Kawan-kawannya
menyoraki Adam dengan riuh.
Kuhempaskan
tubuhku di kamar dan bayangan wajah Adam melintas. Anak itu nikmat.
***
Hari ini
kantor hanya buka setengah hari, akan diadakan meeting internal. Aku tentu saja tidak masuk dalam jajaran manusia
yang harus hadir pada pertemuan semacam itu. Aku dan teman-temanku dipulangkan
lebih awal.
Sepanjang
perjalanan playlist memperdengarkan
suara chrisye, aku gandrung pada pria bersuara sengau. Menurutku ia cukup
seksi, bukan karena suaranya tetapi kecerdasan menghadirkan lirik pada setiap
lagunya. Tiba-tiba Adam muncul.
“Hai Mba,
tumben cepat pulang”
Aku terdiam
karena kali ini Adam sendirian. Kulepaskan headseat
dari telingaku dan mengajaknya bicara.
“kenapa kalo
cepat pulang?”
“hm gak
apa-apa” jawabnya
“kamu kenapa
jam segini sudah main?” tanyaku lagi
“kan udah
pulang sekolah” jawabnya
“ya udah,
sama dong” aku berlalu menyudahi pertanyaanku
Tiba di kos,
aku membaringkan badanku, menutup mata dan menarik nafas panjang. Pintu kos-ku
diketuk. Ketika kubuka pintunya, kepala Adam nongol. Aku sedikit terkejut tetapi
hatiku berdesir. Dari balik punggungnya ia mengeluarkan sebuah bungkusan Es
Kelapa Muda.
“Buat Mbanya hihi”
kemudian ia
berlari, kencang sekali, sampai terdengar derapnya di lantai satu dari kamarku
di lantai dua.
Siang itu
aku menyesap Es Kelapa muda pemberian Adam sembari mendengarkan “Kala Cinta
Menggoda” milik Chrisye. Senyum terkulum, serasa manis es kelapa muda ini
berlomba-lomba dengan wajah Adam di pelupuk mataku.
***
Seminggu
kemudian, kantor dinyatakan collaps.
Perusahaan harus memotong sebagian tenaga karyawan yang dianggap tidak begitu
produktif. Aku salah satunya. Kabar tersebut tersiar dengan gesit, aku bahkan
belum sempat membayangkan kekalutan jika harus mengangkat kaki dari pekerjaan
ini. Dua puluh tujuh tahun, sendirian, tanpa tujuan hidup; bisa bertahan sampai
masa ini dengan makanan dan tidur secukupnya adalah karunia.
Dengan
langkah gontai aku menyusuri jalan pulang. Air mata merembes perlahan dari
pelupuk mata hingga ujung lubang hidungku. Barangkali pemandangan yang sungguh
menggembirakan bagi para pejalan kaki yang lainnya, mereka akan membahas ini
saat tiba di tujuan masing-masing.
Sore itu,
aku menemukan Adam menanti di depan kos. Dengan tingginya yang hanya sepundak,
ia berusaha memperhatikan dua biji mataku. Dalam kamar yang kusam dan sumuk
tanpa kipas angin kecuali angin yang nyosor dari lubang jendela, ia menyeka air
mata yang berlinangan di pipiku dengan kedua tangkup tangannya yang hitam dan
hanya mampu menutup sebagian pipi. Ketika bibir Adam menyentuh bibirku dan
melumatnya dengan gairah, aku tak lagi sungkan. Kami menghabiskan waktu yang
lama untuk meredakan kesedihan melalui persenggamaan yang dahsyat.
Ini adalah
pengalaman pertama bagi kami berdua. Adam begitu lihai. Ketika kepalanya telah
bersandar di ujung putingku dan kami tengah membiarkan lelah memudar, barulah
ia bercerita bahwa ia dapat sepandai itu karena menonton video yang tersimpan
di handphone ayahnya. Ayah Adam
seorang guru, begitu yang aku ketahui, sebab setiap pagi kami berpapasan ketika
akan berangkat bekerja. Sementara Ibu Adam adalah seorang Ibu Rumah Tangga.
Sering kami terlibat perbincangan hambar ketika ada gossip panas seputaran gang. Aku yakin, aku adalah salah satu
bintang hangat pada percakapan ibu-ibu saban hari karena Adam ternyata
mengenalku dengan sungguh baik.
Katanya “Mba
itu sering dibicarain, ibu-ibu itu bilang; ih cakep-cakep belum kawin.”
Aku
tersenyum mendengarkan Adam bercerita. Ia kembali ke rumahnya setelah kami
melakukannya sekali lagi.
***
Sepanjang
dua bulan aku menganggur, mengandalkan tabungan yang cukup membeli siomay atau
bajigur. Untuk menahan rasa laparku, Adam sering muncul membawa nasi dan lauk
dari meja makan di rumahnya. Kami makan bersama di kamar lalu bersenggama lagi
hingga tertidur. Saat petang merayap, Adam kembali ke rumahnya dan menjawab
kebingungan teman-temannya sebab ia sulit diajak bermain lagi sekarang.
Hingga suatu
hari, Adam tak muncul di depan pintu kamarku, melainkan ibunya. Aku dikatai dan
dicaci maki seperti binatang. Dilempari banyak perkakas dan barang. Pemilik
kosku hadir sebagai pengamat yang lalu mengetuk palu bahwa aku sebaiknya pindah
dan mencari tempat kos yang lain, para Ibu bergunjing sembari memincingkan mata
mereka terhadapku. Seolah aku perempuan sampah paling hina.
Dua minggu
kemudian, ketika aku sedang menumpang di kamar kos teman. Aku terjatuh di kamar
mandi. Janin milikku dan Adam luruh, tak kuat menahan frustrasi dan kekacauan
dalam tubuh. Susah payah aku pertahankan bayi ini sejak diusir oleh Ibu Adam,
ia akhirnya pergi juga meninggalkanku, sama seperti Adam.
0 komentar: