Ini Bukan Jessica dan Sianida, Ini Jualan Manusia
*Balebengong.net terbit 28 Oktober 2016 #CitizenJournalismAward
Mandi pagi saya ini tiba-tiba terputus. Saya
jeda karena pertanyaan ini muncul tiba-tiba di kepala. Kenapa saya harus mandi?
Kenapa manusia disarankan mandi dua kali sehari? Sejak kapan hal ini berlaku
seperti aturan tidak tertulis di dunia? Siapa menganjurkan perihal ini?
Banyak
hal yang manusia lakukan di dunia ini tanpa dipikirkan terlebih dahulu hanya
karena memang sudah seperti itu yang berlaku dalam kehidupan. Kenapa kita tidak
pertanyakan hal-hal yang katanya sederhana itu? Mengapa harus begini, mengapa
harus begitu.
Sesekali
ada yang bertanya dan akan dijawab sekenanya saja, khususnya oleh para tetua
kita: Yah memang sudah harus begitu. Jangan banyak tanya, lakukan saja.
Cerewet!
Dalam
karyanya Essay Concerning Human Understanding, John Locke mencoba
menjawab persoalan dari manakah asal ide dan pengetahuan kita, apa yang mampu
kita ketahui, sejauh mana pengetahuan kita memiliki kepastian? Kapan kita
dibenarkan berpegang pada pendirian yang didasarkan pada ide kita?
Penelitian
semacam ini menjadi penting karena kita akan mengetahui kekuatan dan batas
pikiran manusia. Dengan demikian, “pikiran manusia yang sibuk” akan membatasi
diri pada pembahasan masalah-masalah yang sebenarnya memang dapat diolah. Dia
akan “duduk dengan tenang membiarkan tidak mengerti” hal-hal yang di luar
jangkauan kemampuannya.
Begitu
banyak hal di sekitar kita yang berpendar seperti cahaya. Saya yakin semuanya
penting untuk dipikirkan. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak ingin
susah-susah memahaminya karena tidak ingin, bukan tidak mampu. Sebab semua
manusia terlahir jenius. Kasarnya, tidak tertarik karena tidak menarik.
Human Trafficking
Seperti Human
Trafficking. Kasus yang sedang marak diberitakan ini mungkin sudah
menjadi perhatian publik nasional. Namun, nasional di sini tidak berarti semua
manusia Indonesia paham dan mau terlibat memikirkannya. Tulisan ini dibikin
dengan tujuan menarik perhatian banyak orang sehingga kesadaran dapat muncul.
Lalu, makin banyak yang mulai berpikir tentang hal ini. Lebih bagus lagi apabila
memutuskan membantu dengan cara masing-masing.
Human Trafficking, pengertiannya yang
paling umum, termaktub dalam UU NKRI No. 21 tahun 2007. Di sana tersurat, “Yang
dimaksudkan dengan perdagangandalam manusia adalah tindakan
perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan dengan memanfaatkan
posisi rentan, penjeratan uang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam daerah dan di luar daerah maupun
antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”
Praktiknya;
menemukan manusia dari mana saja yang bisa dikendalikan sebagaimana sapi perah
karena seseorang merasa sudah menyerahkan sejumlah uang atau barang sebagai
kompensasi. Manusia yang “terbeli” itu dapat diperlakukan sesukanya. Tak jauh
beda dengan perbudakan, menurut ngana?
Perlu
kita ketahui juga bahwa kebutuhan akan tenaga kerja manusia ini tidak hanya
datang dari luar Indonesia seperti Malaysia dan Hongkong. Justru di dalam
negeri banyak tenaga kerja seperti pekerja rumah tangga (PRT) dan baby
sitteryang didatangkan dari pelosok daerah demi memenuhi permintaan pasar.
Saya
pernah menemukan iklan lowongan pekerja rumah tangga di Bali
Advertiser. Saya lupa edisi ke berapa pada 2012. Saya pernah
memostingnya di Facebook. Iklan itu berisi special request pada
baris terakhir “Diprioritaskan yang berasal dari Sumba.” Ini fenomena menarik.
Bahwa hari-hari ini, karakter manusia juga menentukan derajat dan kualitas suku
atau etnis tertentu sehingga membentuk pasar yang cukup signifikan.
Saya
sendiri sangsi, para tenaga kerja yang masih berada di ruang lingkup seputar
Indonesia ini apakah mendapatkan hak sesuai kewajiban yang sudah mereka
jalankan atau belum. Di akhir Mei 2016, saya diberi kesempatan mengecap
pengalaman ini bersama pengurus Ikatan Keluarga Besar Flores, Paguyuban
Flobamora di Bali.
Pada
kasus ini, ada 29 orang perempuan yang dicegah keberangkatannya ke Jakarta di
Bandara Ngurah Rai, Bali. Beberapa orang yang saya wawancarai berusia masih di
bawah 20 tahun. IKB Flobamora Bali dihubungi sejumlah pihak di Sumba Barat
Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT) baik itu Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM)
agar membantu membatalkan keberangkatan nona-nona Sumba ini.
Pasalnya
pola-pola memberangkatkan tenaga kerja tanpa identitas sering terjadi dan
merupakan salah satu modus penjualan manusia (human trafficking).
Sebagian besar berangkat dengan dokumen yang baru saja diurus seminggu
sebelumnya. Bahkan ada keterangan usia yang tidak sesuai antara KTP, Surat
Permandian dan Ijazah. Mereka mengaku akan dipekerjakan sebagai PRT, baby
sitter dan merawat orang jompo. Gaji yang dijanjikan pun bervariasi.
Tidak semuanya mendapatkan informasi sama dari agen yang merekrut.
Berbagai
alasan mereka kemukakan. Sebagian besar mengakui tuntutan kebutuhan ekonomi
keluarga menyebabkan mereka harus berangkat ke Jakarta dan bekerja apa saja.
Lain lagi dengan alasan beberapa orang anak perempuan yang baru saja lulus SMA.
Ketika saya bertanya tentang cita-cita dan keputusan mereka melakukan
perjalanan ini. Mereka hanya ingin menabung biaya pendidikan agar bisa
bersekolah.
Setelah
dua tahun kontrak kerja mereka selesai dan dana sudah cukup, mereka akan
kembali ke kampung halaman atau hijrah ke kota lain supaya bisa melanjutkan
sekolah. Sesederhana itu rencana yang mereka bangun.
Faktor Pendorong
Beberapa
hal yang mendorong hal seperti perdagangan manusia bisa terjadi, saya
ilustrasikan seperti berikut:
Bertha
ibu dengan empat orang anak di pelosok daerah. Pendidikan terakhirnya Sekolah
Dasar. Menikah di usia dini karena sudah telanjur hamil. Setiap hari ia sibuk
membantu suami di ladang sebagai petani. Hasil pertanian tidak menentu karena
musim tidak pasti serta pengelolaan yang masih sederhana. Bertha sekeluarga pun
harus mengikat perut setiap hari. Belum lagi dua anaknya yang paling besar
sudah mulai bersekolah.
Suatu
ketika, Sius, Sekertaris Desa yang juga teman bermainnya di masa kecil
berkunjung ke rumah Bertha. Ia menawarkan pekerjaan di tempat sangat jauh
dengan gaji menarik. Pekerjaannya pun tidak terlalu berat, “Kau cuma cuci
pakaian, masak, setrika macam yang kau biasa bikin di rumah juga. Itu satu
bulan kau sudah dapat sekitar dua juta. Belum lagi tunjangan lain-lain. Nanti
saya yang urus kau punya surat-surat. Kau cukup kerja satu atau dua tahun. Kau
sudah bisa pulang dan bawa uang banyak. Kerja di luar negeri lagi.”
Sepanjang
malam, Bertha tidak dapat memejamkan mata. Ia bahkan membangunkan suaminya dan
mengajak berdiskusi. Suaminya sedikit keberatan, mengingat anak-anak mereka akan
ditinggalkan ibunya untuk waktu lama. Lagipula, suami Bertha ragu dengan apa
yang dikatakan Sius. Malam itu mereka tidur saling memunggungi satu sama lain.
Dua
hari kemudian, saat akan beranjak tidur di malam hari, Bertha kembali membahas
hal tersebut. Suaminya tetap bersikeras tidak mengizinkan ia pergi. Mereka
bertengkar cukup hebat.
Keesokan
hari, Bertha mendatangi mertuanya dan mengadu. Kedua mertuanya medengarkan
dengan seksama dan merasa Bertha menemukan solusi tepat untuk meningkatkan
kondisi perekonomian keluarga. Lalu kenapa anak mereka yang adalah suami Bertha
harus melarang Bertha berangkat bekerja?
Suami
Bertha dipanggil, diajak berbicara serius. Ia berusaha memaparkan banyak
alasan, baik itu anak-anak maupun keraguannya tentang Sius. Alasan tersebut
dipatahkan begitu saja oleh kedua orang tuanya. “Anak-anakmu biar kami yang
jaga, kasih saja Bertha pergi. Sius itu kita kenal baik. Dia tidak mungkin
bikin Bertha luntang-lantung di tanah orang.”
Singkat
cerita, Bertha pun berangkat. Hanya membutuhkan waktu satu minggu untuk
mengurus dokumen keberangkatan. Bertha begitu total mempercayai Sius. Selama
enam bulan setelah keberangkatan, suami dan anak-anaknya tidak pernah menerima
kabar berita dari Bertha.
Setahun
kemudian, dua petugas Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia (BP3TKI) mendatangi rumahnya dan memberikan kabar menyesakkan. Bertha
dinyatakan meninggal di negeri perantauan akibat sakit yang tidak dapat
disembuhkan.
Akan
tetapi, banyak pihak yang peduli dan menyangsikan kejadian ini. Banyak
kejanggalan sehingga diadakan penyelidikan lebih lanjut. Berita-berita yang
menyusul kemudian hanya menjadi mimpi buruk bagi suami dan anak-anaknya serta
penyesalan tak berujung bagi kedua mertuanya. Sementara Sius, tetap hidup dengan
aman dan tenteram. Ng….salah siapa?
Kesimpulan
dari ilustrasi di atas menghasilkan beberapa poin.
Pertama,
masih dan akan selalu tentang faktor ekonomi atau kemiskinan. Permasalahan ini
sering sekali menjadi masalah utama dalam kasus human trafficking.
Tanggung jawab yang besar untuk menopang hidup keluarga, membayar semua
pengeluaran dan pendidikan anak, saudara, dan lainnya sering menjadi pemicu
mencari pekerjaan di luar negeri yang tidak jelas kepastiannya.
Kedua,
keinginan untuk menjadi kaya dalam waktu yang singkat.
Ketiga,
faktor budaya seperti: peran perempuan untuk mencari nafkah, memang sudah
kodratnya perempuan mengurus rumah dan hanya membantu untu mencari nafkah
tambahan, namun tanggung jawab atas keberlangsungan hidup keluarganya menjadi alasan
untuk berimigrasi.
Selain
itu juga, peran anak dalam sebuah keluarga, kepatuhan anak terhadap orang tua
serta rasa tanggung jawab untuk membayar hutang yang keluarganya miliki,
memberikan motivasi tersendiri bagi mereka untuk berangkat bekerja.
Keempat,
faktor budaya lainnya: khusus bagi TKI laki-laki. Motivasi untuk berangkat
bekerja ke Negara tetangga terkadang bukan hanya tentang keluarga, tetapi
tentang perempuan yang akan dinikahi.
Khusus
di NTT, tradisi “belis” atau mas kawin sejak beberapa tahun silam terjadi
pergeseran makna yang memberikan tekanan cukup besar bagi pihak laki-laki. Jika
terus berada di kampung, biaya mas kawin dan resepsi menikah tak akan pernah
cukup. Menjadi TKI adalah jalur alternatif yang bisa ditempuh.
Kelima,
perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan
termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas,
gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak
perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan
rentan terhadap trafficking disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka.
Keenam,
kurangnya kesadaran, baik mereka yang menjalankan atau terlibat dalam
perdagangan manusia ataupun mereka yang menjadi korban perdagangan manusia. Hal
ini karena kurang hati-hatinya dan kurangnya informasi serta pengetahuan
yang mereka dapat tentang motif-motif dari Perdagangan Manusia.
Ketujuh,
pengetahuan yang terbatas yang dimiliki, orang dengan pendidikan yang terbatas
memiliki lebih sedikit keahlian/skill dan kesempatan kerja dan mereka lebih
mudah menjadi sasaran karena memutuskan bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak
membutuhkan keahlian.
Kedelapan,
orang-orang terdekat yang cukup mengambil andil dalam membentuk keputusan tidak
memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadahi sehingga ancaman tidak hanya
datang dari luar melainkan juga dari dalam rumah itu sendiri. Tak jarang,
iming-iming sejumlah uang justru memperlancar proses keberangkatan. Duit sejuta
di pelosok sana, itu BANYAK SEKALI.
Berita Tragis
Akhir
Juli 2016, KOMPAS.COM memuat berita tragis dan sungguh menyayat hati: sepanjang
2016 sudah 23 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Nusa Tenggara Timur (NTT)
meninggal di Malaysia. Sayangnya, kabar ini tak sedemikian mencuat dan menyita perhatian
khalayak, sebagaimana publik Indonesia menempatkan rasa kepo-nya yang besar
pada kasus kopi sianida.
Perdagangan
manusia memang bukan isu seksi layaknya drama Jessica dan Mirna.
Pada 11
Oktober 2016 kemarin, Kompas TV bekerja sama dengan Jaringan Relawan Untuk
Kemanusiaan (J-RUK) Sumba melalui program Berkas Kompas mengangkat topik “Jalan
Gelap TKI Ilegal.” Pada liputan ini, diketahui sepanjang tahun 2016 telah ada
35 korban TKI yang meninggal di perantauan. Hanya ada empat TKI yang berangkat
melalui jalur resmi sementara tiga puluh satu lainnya berangkat secara legal
atau memalsukan identitas.
Jumlah
mereka yang mati dikabarkan terus bertambah. Hingga 25 Oktober 2016, ketika
tulisan ini sedang saya kerjakan, sudah 44 orang TKI asal NTT meninggal di
negara orang.
Kasus
yang cukup menghebohkan adalah kematian buruh migran bernama Yulfrida Selan (19
tahun), asal Timor Tengah Selatan, NTT. Yulfrida meninggalkan kampung halaman
tanpa sepengetahuan keluarganya sejak September 2015.
Pada 13
Juli 2016, petugas BP3TKI NTT memberitahu keluarga, bahwa Yulfrida telah
meninggal gantung diri di dapur rumah majikannya di Malaysia. Saat jenazah
Yulfrida diserahkan pada keluarga, ditemukan sejumlah kejanggalan: identitas
korban dipalsukan, kondisi jenazah penuh bekas jahitan, serta dugaan Yulfrida
menjadi korban perdagangan organ tubuh, yang kemudian dibantah Polri.
Tak
pernah habis masalah TKI ini diangkat, namun tidak kunjung terurai. Kasus di
NTT menunjukkan pengiriman TKI tidak resmi lebih jadi pilihan ketimbang jalur
legal. Mengapa bisa demikian? Selain karena permintaan tinggi, warga desa mudah
ditipu dengan cara ilegal, demi terhindar dari biaya-biaya yang dianggap
membebani seperti tes kesehatan, asuransi hingga biaya pelatihan. Identitas
mereka dipalsukan, sertifikat keterampilan pun dipalsukan. Oleh para calo, TKI
kemudian dikirim ke majikan yang telah memesan.
Data
yang dihimpun tim International Organization for Migration menyebutkan
65 persen TKI direkrut oleh pekerja individual, para calo atau tetangganya.
Sekitar 35 persen direkrut lembaga penyalur tenaga kerja (PPTKIS), dan sekitar
5 persen bahkan dijerumuskan oleh keluarganya sendiri, sisanya sebagian kecil
diculik untuk dieksploitasi.
Kasus
terbaru pada 23 Agustus 2016 lalu, Polda NTT mengungkap sindikat perdagangan
orang yang menukarkan 20 TKI ke luar negeri, dengan satu mobil
Xenia. Sungguh ironi, nyawa manusia hanya dihargai satu buah mobil.
Bagi
yang selama ini penasaran, semoga tulisan ini menjawab rasa-rasa yang selama
ini berkecamuk di kepala Anda. Kenapa orang-orang ini mau berangkat kerja ke
luar negeri? Kenapa mereka bisa menjadi korban perdangangan manusia? Kenapa
mereka bisa mati begitu saja dan tidak dipedulikan?
Mulai
saat ini, cobalah kita lebih peka dengan situasi di sekitar. Di negara kita
tercinta ini. Apabila memiliki tenaga kerja di rumah yang berasal dari pelosok
daerah, sudahkah kita memperlakukan dengan layak dan memberikan hak yang
seharusnya ia dapatkan?
Begitu
pula jika kita mendapat curiga, mencium hal-hal yang mengarah pada cerita-cerita yang
sudah saya kemukakan di atas, sepatutnya kita mencari tahu dan mengantisipasi.
Terhadap keluarga, kenalan, siapa saja yang kita jumpai.
Sampaikan informasi-informasi berharga ini lalu meneruskannya kepada yang
sungguh-sungguh membutuhkan. Dengan demikian tidak ada lagi korban-korban
selanjutnya pun kesedihan yang berkepanjangan.
Penutup
Jangan
terburu-buru sebab tulisan ini belum selesai. Cerita ini tidak fiktif. Ini yang
mencuat keluar dari sekian kenangan yang tersimpan lama. Saya tarik dari lemari
penyimpanan memori karena dibutuhkan.
Belasan
tahun yang lalu, saat itu saya masih sangat kecil dan tidak mengerti apa-apa.
Rumah kami kedatangan sejumlah keluarga yang akan berangkat ke Malaysia. Saya
terpukau, waow itu kan luar negeri. Kakak sepupu saya yang adalah anak dari
kakak ayah saya, mengumpulkan mereka di ruang tamu lalu membagikan Kartu
Identitas mereka.
Ia
menekankan supaya mereka semua berhati-hati saat naik kapal nanti, usahakan
semua tiba di Kalimantan dengan selamat. Saat itu saya hanya bengong menatap
biji matanya yang hampir menggelinding keluar, juga kumisnya yang terus
bergerak seiring ia bicara.
Tiga
tahun lalu, adiknya, salah satu dari yang berangkat, dinyatakan meninggal
karena TBC di Malaysia. Hal ini terjadi setelah berkali-kali mereka
pulang-pergi bekerja ke Malaysia. Dan saya baru mendengar kabar duka ini
setahun lalu dari adik kandung saya.
Laki-laki
yang meninggal itu, kami cukup dekat saat saya masih sering bertandang ke
kampung. Dia sepupu yang selalu mengabulkan keinginan saya akan mata yang lapar
terhadap buah-buah di pepohonan sekitar rumahnya. Hari-hari ini, saya mulai
penasaran, apakah sungguh ia mati karena sakit? [b]
#StopHumanTraficking
#StopBajualOrangIndonesia #StopBajualOrangNTT
Ini yang jualan organ manusia itu ya Maria ?
BalasHapusIya, Om. Ini sangat berpotensi besar ke sana.
HapusBeberapa sudah jadi Korban, seperti Yufrida Selan itu.
Hallo, Salam kenal. Terima Kasih sudah membaca :D
BalasHapus