Kalau Saya Orang Bali, Apakah Saya Mampu?
*Tulisan ini dimuat di balebengong.net - media warga berbagi cerita pada tanggal 07 Maret 2016 di Rubrik SOSIAL BUDAYA. Satu hari sebelum Hari Raya Nyepi Caka.
Membahas Bali biasanya
semua orang fokus kepada pariwisatanya, pantai dan perempuan-perempuan
cantiknya. Bingung saya, kenapa setiap bertemu mereka yang ingin ke Bali atau
baru saja mendarat di Bali, selalu itu dua hal saja yang dibahas. Tak tahu
mereka, Bali sering mondar-mandir di televisi dengan sajian budayanya, alam
raya yang penuh barisan teras-teras sawah dan upacara-upacara adat yang banyak
mengandung makna bagi kehidupan. Salah satu upacara yang sebentar lagi akan
dilaksanakan adalah Nyepi yang diawali dengan Melasti.
Upacara ini selalu saya
nantikan setiap tahun. Kalau ditanya kenapa, saya akan menjawab tidak tahu.
Entahlah. Suka aja. Hah?
Agar tidak fatal maka
sebelum saya lanjut bercerita, saya lampirkan sebaris makna dan tujuan dari
Melasti. Saya temukan ini di Wikipedia berbahasa Indonesia dan beberapa situs
budaya.
Melasti :
Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan
upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala
sarana persembahyangan yang ada di Pura (tempat suci) di arak ke pantai atau
danau, karena laut atau danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa
menyucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam.
Makna lain dari Melasti :
Ritual membersihkan "pratima" dan benda yang disakralkan ke laut.
Kegiatan ini diwariskan secara turun temurun di agama Hindu. Umat yang
melakukan prosesi melasti tersebut membawa sesaji dan peralatan suci (arca atau
pratima), sembari diiringi dengan musik gamelan bleganjur atau alunan musik
tradisional khas umat Hindu. Prosesi melasti di Agama Hindu adalah kegiatan
menyucikan pratima menjelang hari raya Nyepi sebagai pergantian tahun saka.
Dalam prosesi melasti tersebut, dilangsungkan doa bersama di pinggir pantai. Di
depan umat Hindu yang berdoa, berjejer aneka ragam sesaji yang ada di jepana.
Di dalam jepana itu ada telur, aneka ragam buah-buahan untuk dilarung ke laut,
secara bersama-sama. Sesaji dilarung ke laut itu sebagai bentuk tolak bala dan
syukur agar dunia ini semakin lestari.
Di arak ke pantai atau
danau dengah berjalan kaki, bukan konvoi dan sejenisnya yang sering dilakukan
orang-orang bermotor besar atau anak-ank racing gagal move on.
Dahulu sekali, saat kepekaan saya belum bekerja dengan baik, saya sering
kepikiran ketika Nyepi hampir tiba. Gelap, tak ada cahaya. Persediaan makanan
harus banyak sebab tak ada satu pun manusia beraktivitas termasuk ibu-ibu
pemilik warung di sekitar lingkungan kos-an. Paranoid gila-gilaan lah,
seolah-olah Nyepi akan berlangsung satu minggu.
Beberapa tahun lalu,
tepatnya tahun 2012. Saya sudah hidup di Denpasar selama tujuh tahun saat itu.
Malam itu dengan tenaga dan pikiran yang masih tersisa kurang lebih 30% untuk
melanjutkan perjalanan ke Gereja sebab ada latihan tablo (Drama Kisah Sengsara
Yesus) untuk Paskah. Lesu saya menantikan Angkutan umum di tempat ngetem-nya
yang biasa (saya tidak bisa berkendara, roda dua maupun empat). Namun hampir
tiga puluh menit saya menanti, tidak ada satupun angkot yang parkir di situ
sementara hujan perlahan turun. Tiba-tiba dari arah kanan jalan yaitu dari arah
pantai pelabuhan nelayan Benoa, muncul rombongan orang-orang berpakaian
putih-putih. Para wanita berkebaya putih dan ber-kamben putih mengusung gebogan
dan alat-alat persembahyangan sementara para lelaki pun sama dengan udeng dan
kemeja putih juga kamben berwarna senada. Beberapa orang lelaki berjalan cepat
sembari memegang payung yang menangkup arca dan pratima. Kondisi saat itu,
rintik hujan mulai bervolume besar, mungkin apabila diumpamakan dengan
kecepatan speedometer mencapai 40KM/Jam. Akan tetapi, dengan jarak tempuh
sejauh itu menuju Pura Utama sebagai tujuan terakhir dari perjalanan, sambil
memikul gebogan, alat persembahyangan dan lain-lain, sembari menghaturkan
pujian atau yang lebih dikenal me-kidung, juga memikul alat musik berat seperti
Gong beserta perangkatnya, rombongan ini tetap bersemangat dan antusias. Tak
tampak lelah sama sekali. Satu kalimat yang terlintas di pikiran saya saat itu,
“kalau saya dilahirkan menjadi orang Bali, apakah saya mampu untuk melakukan
ini?”
Daripada menunggu lama
angkot yang tidak muncul juga, saya memutuskan berjalan beriringan dengan
rombongan ini. Tepat disamping para kaum lelaki yang memainkan gamelan
bleganjur ditingkahi kidung yang membuat suasana saat itu begitu syahdu-mistis
meskipun semua berlangsung di jalanan yang cukup ramai (Traffic light
Benoa-Bali). Saya kemudian teringat Prosesi Semana Santa di Larantuka yang
pernah saya ikuti baru sekali dalam seumur hidup saya. Yang sering juga terjadi
pada bulan yang sama ketika Hari Raya Nyepi diperingati. Sudah lumrah terjadi
bahwa Hari Raya Paskah selalu terjadi tepat beberapa minggu setelah Nyepi
berlangsung. Tidak banyak yang menyadari ini, semua didunia ini memiliki citra
dan maknanya masing-masing. Alangkah baiknya jika kita mampu menikmati semua
keberagaman ini. Dan pada tahun 2016, kali ini Nyepi jatuh tepat pada tanggal 9
Maret, dimana pada hari yang sama Gerhana Matahari yang hanya terjadi 350 tahun
sekali akan melintasi 11 Provinsi di Indonesia. Tidak termasuk Bali. Namun,
apakah lagi-lagi kita akan menyikapi ini sebagai sebuah kebetulan saja? Para
Pendahulu pasti tidak serampangan menetapkan tanggal untuk sebuah perayaan
spiritual seperti Nyepi. Hari khusus memulai tahun yang baru dengan melakukan
"Catur Brata" Penyepian yang terdiri dari amati geni (tiada
berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak
bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak
mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu dapat melaksanakan tapa,brata,yoga
dan semadhi. Demikianlah untuk masa baru, benar-benar dimulai dengan suatu
halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru Caka pun,
dasar ini dipergunakan, sehingga semua yang kita lakukan berawal dari
ketiadaan,suci dan bersih. Tiap orang berilmu (sang wruhing tattwa jñana)
melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga ( menghubungkan jiwa dengan
paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadi (manunggal
kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin). Semua itu
menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi
setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru.
Kadang banyak hal yang
sulit dipahami tapi cukup dinikmati saja, begitulah yang saya rasakan saat saya
menyaksikan KEHIDUPAN DI BALI. Banyak hal yang menimbulkan pertanyaan dan
pernyataan baru, menariknya saya tidak mau terburu-buru mencari tahu karena
sepertinya semua punya kesempatannya sendiri untuk menjadi hal terdepan di
pikiran saya. Untuk dipikirkan, diperdalam kemudian disimpan dengan baik
sebagai HARTA yang mesti dibagikan kepada penerus-penerus hidup ini dikemudian
hari.
Bagi teman-teman saya
yang sebentar lagi akan melaksanakan Ibadah Nyepi beserta rangkaiannya, saya
ucapkan Selamat Menunaikan Ibadahnya. Semoga seluruh semesta diberkati dan
berbahagia.
0 komentar: