AKHIRNYA (*Sebuah Refleksi)
Awal tahun yang mengagumkan :)
Pengalaman mengejutkan tiba lebih awal, yaitu
sebuah hubungan yang saya namai dengan “nekat bodo” ah apalah apalah
hahahaha...
Saya mengiyakan tawaran lawan jenis ini karena
menghargai masa lalu yang pernah kami lewati bersama dan niatnya yang waow patut lah dicoba, bahwa ia ingin menjalani sesuatu yang berbeda dan serius. Maka saya
menanggapi hal tersebut dengan sedikit antusias. Sedikit.
Kemudian kejadian berikut yang sejujurnya
sudah saya duga sebelumnya. Bahwa, lawan jenis yang saya percaya memiliki keinginan berubah ini
ternyata hanya sedang membohongi diri sendiri. Saya tertawa geli karena
kekonyolan ini, sembari mengetik ini saya tertawa hahahahaha....
Satu hal yang saya dapatkan dari situasi ini
adalah SAYA SENDIRI. Kenapa saya sendiri? Saya menemukan sebuah kesadaran. Ini
salah satu kesadaran yang saya syukuri selain kesadaran lain yang akan saya
ceritakan berikutnya.
Lawan jenis ini rupanya membantu saya berhenti menjadi
“bebal”
Ia, dengan caranya yang “nekat bodo” itu
membantu saya menjadi peka pada kebutuhan saya sendiri. Kebutuhan akan
penghargaan pada diri sendiri. Tentang memahami siapa saya saat ini dan apa
yang seharusnya saya lakukan untuk menyenangkan dan memuliakan diri sendiri.
Bahwa ketika saya tidak suka, saya harus mengatakan TIDAK SUKA. Bukan karena
saya egois, namun lebih kepada kenyamanan saya sendiri. Bagaimana saya bisa
membuat orang lain nyaman sementara diri sendiri saya buat tidak nyaman.
Juga tentang
membuka mata hati dan pikiran saya terhadap kalimat “satu kata dan satu
perbuatan” itu sebaiknya selaras dengan realita yang saya jalani. Maka,
beristirahatlah saya dengan tenang dari hal-hal gila. Hal-hal yang saya pikir
sudah tidak efisien lagi saat ini. Kecuali sesekali menjadi alasan paling
mujarab untuk membikin saya senyam senyum sendiri saban hari. Ketika saya mengambil ingatan-ingatan
lampau itu ke dalam arena pertunjukan pikiran saya. Berubah itu menyenangkan,
teman.
Kesadaran lain muncul dua hari lalu. Ketika
sahabat dan teman kecil saya telah pamit pulang dari kunjungannya yang
tiba-tiba ke kos saya.
Ketika SMA dulu, saya dikelompokan dalam
sebuah kelas yang siswa/inya memiliki kapasitas “mengagumkan.” Di masa itu.
Saya sempat panik. Lebih kepada protes. Alasannya adalah sebagai berikut:
1.
Sebenarnya saya minder. Makanya
saya bilang saya sempat panik. Pemikiran bahwa saya tidak bisa apa-apa, bukan
siapa-siapa dan tidak mampu berkompetisi sudah ada sejak lama. Menggenang jauh
di alam bawah sadar saya. Terselubung dalam bentuk kata maupun perbuatan yang
sama sekali tidak membangun diri saya sendiri. Saya menyalahkan sistem sosial
dan lingkungan kita yang sampai kini mungkin masih sama. Yah, saya lahir dan
besar dengan dijejali berbagai macam “perbandingan” bahwa karena Si A orang
tuanya begini maka anaknya begini, Si B lebih baik dari Si C, Si Anu lebih
pintar dan patuh dari Si Inu makanya dia juara kelas terus. Dan orang tua-tua
itu tidak pernah menyadari bahwa itu salah satu jenis motivasi paling
MENYESATKAN yang akhirnya saya buktikan sendiri.
(Meskipun karakter dan kemampuan saya tetap
terlihat, shining like a diamond gitu kan hahahaha. Juga latar belakang orang
tua yang hm terkadang saya malah merasa itu kutukan. Sehingga tidak bisa saya
hindari jika sesekali saya diberi mandat yang mau tidak mau harus saya terima.
Demi membuktikan saya anak orang tua saya, ketimbang membuktikan bahwa MEMANG
SAYA BISA. Poor I’m, right? But it’s okay at least I’m growing up wkwkwkwk)
2.
Pemikiran idealis saya : “ini
kenapa harus ada pengelompokan kelas begini? Yang pintar ke kelas INI. Yang
tidak terlalu pintar ke kelas ITU. Yang biasa-biasa saja ke kelas INI ITU.”
Bukankah ini sejenis pelecehan secara terang-terangan? Kenapa tidak memanggil
satu-satu siswa/inya lalu ditanyai hendak memilih jurusan apa sesuai minat dan
kemampuannya.
Susah payah saya akhirnya dapat lulus dari
Bloody Hell Senior High School with embel-embel “Sekolah Unggulan” kawasan
Indonesia Timur. Saat itu. Berdarah-darah, men... seriously, I mean it! Lulus
dengan nilai rata-rata, ibaratnya ko kurang 0,01 ko su tidak lulus tuh!
Hahahaha.... Tapi yang bikin saya bangga pada diri sendiri adalah: Meskipun
saya pernah masuk dalam daftar merah alias siswa/i yang kemungkinan besar tidak
akan bisa naik ke kelas III karena nilainya di bawah rata-rata. Tetapi saya
tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk terus maju. Pada akhirnya saya naik kelas
III dan LULUS tanpa UJIAN ULANG atau PENGULANGAN SETAHUN LAGI di KELAS III. Saya
hampir saja bunuh diri karena takut tidak lulus. Sampai detik ini, pemikiran
dangkal saya selalu menenangkan : Itu karena kau rajin berdoa pada Bunda Maria
di Kapela. D*mn! hahahaha
Mood belajar saya naik turun, sama seperti
kondisi perekonomian bangsa. Apa sih hahaha.. dari jaman sekulah saya lebih
mencemaskan negara daripada diri sendiri. Fvck up! Hahahahhaa...
Kemudian, dua hari lalu saya MENGERTI.
Ini kesadaran lain yang saya maksudkan. Manusia digolongkan bukan tanpa alasan
atau pengalaman. Ketika kita berada di lingkungan yang tidak dipenuhi tantangan
dan masalah, hidup kita akan berjalan biasa saja. Kapasitas kita justru akan
sangat membingungkan untuk menentukan “Siapa kita sebenarnya.” Kita memang
harus terus mendapatkan masalah atau BIKIN MASALAH SEKALIAN (gue banget) supaya
kita tahu sudah sampai mana kita sekarang ini, harus seperti bagaimana lagi
supaya kita bisa lebih lagi. Break the limit!
Maka kepada Para Pengajar dan Kepala Sekolah
SMAK SYURADIKARA Tahun ajaran 2002-2005, Pater Micahel Da Fretes, SVD dan Bruder Simplisius Yoseph Hanafi, SVD yang entah
sudah di mana saat ini. Yang sangat keras kepala menempatkan saya di Kelas
2Ipa2. Yang mengabaikan permohonan saya berkali-kali agar pindah ke kelas
bahasa, karena saya tergila-gila dengan Puisi Chairil dan Mbelingnya Remi
Silado. Saya mengucapkan Terima Kasih, sudah mengarahkan saya pada jalan yang
seharusnya. Maaf kalian harus lama menunggu, kesadaran ini malah muncul delapan
belas tahun kemudian. Hahahhaa... Lux Ex Scienta. I’m Proud to be My Self NOW!
Denpasar, 21 Januari 2016
Maria Pankratia Mete Seda
SYURADIKARA 2005
Denpasar, 21 Januari 2016
Maria Pankratia Mete Seda
SYURADIKARA 2005
0 komentar: