Senja Singkat di Kaki Wongge
(*Cerita Teman Kecilku)Untuk MUDAers NTT Menulis :)
Sore itu Ibu sedang tak di rumah. Seperti biasa, Ibu akan membayar tidur siangnya nanti malam, siang secerah ini akan dipergunakan untuk bertandang ke rumah tante Yo atau agak lebih jauh dekat ladang kita yang di Uniflor Ende, bersenda gurau dengan tanta Oka dan Om Vitalis di kiosnya yang bersebelahan dengan rumpun bambu yang rimbun. Sesekali aku menyusul Ibu karena sepertinya apa yang mereka bahas sungguh sangat menarik namun belakangan aku mulai jenuh dengan bahan obrolan mereka karena pasti mereka akan berbincang tentang Rumah Om Yakobus yang katanya dibangun dengan uang hasil korupsi atau anak Om Ignas yang sudah lulus IPDN karena Bapaknya punya jabatan di kantor daerah sampai bergunjing soal Pak Dorus yang punya isteri kedua di kampung halamannya makanya Pak Dorus jadi hobby mudik. busyeeett dah...
Entahlah, saat itu telingaku merasa kurang sabar mendengarnya dan memberikan rangsangan ke kakiku untuk beranjak pergi. hm...
"..Hei Mersi, mai kita pi cari mangga.." sebuah suara memanggilku
Aha, itu Lin. Teman bermainku, dia lebih tua setahun dariku. Lin anak dari Tante Retha. Ibu suka melarangku bergaul dengan Lin katanya keluarganya bisa menjampi-jampi orang. Aku sering ketawa bila Ibu berbisik tentang hal tersebut ditelingaku. Ingin sekali membekap tatapan Ibu saat itu dengan kalimat ini
"Jampi-jampi saja mama punya otak dulu supaya jangan suka pikir *rewo-rewo,hahahahaha" Pasti Ibu langsung mencubit pahaku hingga memerah. Aseemm
(*Rewo-rewo : Sembarangan)
"Cari mangga dimana heko siang-siang begini" tanyaku
"di kami pu kebun, dekat *wongge, ko mo ikut tidak?"
(*Wongge : Nama sebuah gunung di Kota Ende)
"Ho, Ja'o ikut koh" bersemangat aku tiba-tiba
Aku menyukai Gunung, tapi tidak dengan Wongge. Dia menyeramkan di malam hari. Sering untuk membuatku cepat terlelap, Ibu membayangiku dengan rupa seorang Wongge yang kasar.
"Jaman dulu Wongge itu brewokan, tinggi besar, kemana-mana tidak pake bju, badan hitam, jelek sambil pikul parang dia cari anak-anak yang suka melawan orang tua."
Dalam imajinasiku, Wongge itu seperti Gozzila tapi dengan bulu yang jarang karena Wongge masih manusia dan akupun memaksakan mataku tertutup karena takut yang akut.
(Mengingat ini aku suka tersenyum sendiri)
"Masih jauh kah?" tanyaku dengan nafas yang memburu
Kami telah tiba di bukit pertama menuju kebun keluarga Lin. Orang tua Lin adalah petani serabutan, Bapaknya juga seorang buruh bangunan. Beliau yang membangun rumahku bersama beberapa tentangga lain yang juga memiliki profesi sama. Makanya aku heran saat ibuku membisikkan doktrin keramatnya ke telingaku bahwa keluarga Lin suka menjampi-jampi orang. Kenapa orang tuaku masih mempercayakan bapaknya bekerja untuk mereka kalo mereka masih menaruh curiga pada istrinya? hm...Ibu Lin memang nampak sedikit misterius dan ganjil tapi sebenarnya beliau sangat lucu. Aku sering dibuatnya terpingkal saat duduk bersama. Menjadi orang dewasa itu rumit yah. hehehehe..
Tiba-tiba ada suara gemuruh dan teriakan nyaring..."weh awas we..weh minggir..."
Lengkingan mengagetkan itu datang dari ujung bukit seperti orang berlari kencang terus hingga berhenti dihadapan kami yang spontan bersembunyi dibalik pohon kelapa yang meranggas, sebentar lagi buahnya yang busuk akan lepas dan menimpa kami. uhukk....
Debu tanah kering berterbangan kesana kemari, seperti lakon sendratari dengan efek asap dimana-mana suara itu membuat kami sedikit terguncang...
"hahahaha..hahahaha...kamu kaget kah?"
Aku dan Lin masih saja terperangah, mencoba mencari sosok dibalik debu yang mulai menipis. Dan itulah mereka, ditengah jalan hutan yang bergelombang dan tandus karena bekas aliran hujan. John dan Lius beserta seekor anjing hutan yang entah mereka temukan dimana tapi langsung mengikuti mereka sejak tadi menuruni bukit untuk menjemput kami.
"Hei..kamu dua nih bikin kaget saja" Lin menegur mereka.
John dan Lius adalah adik kandung Lin. Lin adalah Perempuan sulung dari enam bersaudara yang empat diantaranya adalah laki-laki termasuk John dan Lius.
Kami mengatur langkah lagi menuju kebun keluarga Lin yang terletak di kaki gunung Wongge.
"Mersi, kau mau jagung tidak?"
Aku menoleh pada Lius yang tiba-tiba bertanya tentang penganan kegemaranku itu.
"Mau kah, ada kah di kamu pu kebun?"
John yang menyahut "Ada e..nanti kita bakar rame-rame ee, ada mereka Ignas diatas"
Wah rupa-rupanya ada personil lain yang telah mendahului kami. Aku tak sabar menikmati keseruan sore ini di kaki gunung Wongge.
Satu-satu nafas yang tersisa saat aku menapaki tanah datar disamping pondok beratap daun *sumbu yang berdiri di sudut kebun keluarga Lin.
(*Sumbu : Daun kelapa yang sudah kering dan digunakan sebagai atap bangunan)
Pondok tersebut sangat terlihat rapuh karena telah dibangun sejak lama oleh Bapak Lin, mungkin sejak awal kebun ini dibuka. Di sekeliling pondok ada bermacam-macam palawija seperti tomat, cabe kecil khas Ende (yang rasanya dijamin pedis menggigit sekali), daun kemangi, daun sereh, bawang merah dan putih, daun pandan juga ada. Sayangnya Iklim dan tanah di Ende tidak cocok untuk menanam kentang dan sebangsanya meskipun kebunnya terletak di kaki gunung. Ya iyalahhh...
Aku masih berusaha menyesuaikan mataku dengan lingkungan sekitar sedangkan Lin memetik beberapa biji cabe yang mulai memerah ketika sebuah suara mengagetkan kami.
"Woi..*wengi deki miu?"
(*wengi deki miu : kapan kalian tiba?)
Ah itu kukenali sebagai suara Ignas. Bapaknya sering kita sapa dengan Om *Eja, entah siapa nama orang tua itu sebenarnya. (*Eja : Paman dalam bahasa Ende)
"baru-baru saja" jawabku
"Mersi, mai kita ambil mangga di sebelah sana" ajaknya sambil mengarahkan telunjuknya ke utara
"banyak kah?" tanyaku
"banyak *ngeri.. ayo sudah"
(*Untuk menggambarkan sesuatu yang luar biasa, orang Ende akan menambahkan kata "ngeri" dibelakangnya. Meskipun seharusnya itu bertentangan dengan konotasi kata ngeri yang sebenarnya, hahahaha)
Agak menjorok kedalam kaki gunung, terdapat beberapa pohon mangga yang sedang berbuah lebat. Pohon-pohon mangga ini langsung bersebelahan dengan hutan hujan tropis gunung Wongge. Aku menatap nanar pada rumput-rumputnya yang lembab dan pepohonannya yang rimbun menghijau berkelimpahan klorofil. Tertegun dan gemetar, ada binatang apakah dibaliknya? Bagaimana jika hari gelap? Adakah makhluk yang menghuninya? wew... Pantaslah Wongge dijuluki Lelaki bertubuh kekar dan seram, Ia diselimuti hutan yang lebat dan menakutkan. Kata si Ignas, kalau musim hujan puncak Wongge berkabut. Hanya tak akan nampak dari rumahku karena begitu jauhnya puncak gunung dari batas jalan raya apalagi dari rumahku. hm..
Tapi aku tidak ingin mengusik pikiran dan kesenangku dengan bayangan Wongge yang menakutkan itu. Aku akan menikmati sore ini dengan makan mangga dan jagung sepuasnya bersama teman-temanku.
John, Lius dan ebiet sudah disana sedang mengeruk mangga dengan gigi-gigi mereka yang kuat sementara tangan kecil mereka mencengkram buah mangga yang sebentar lagi tidak akan menyisakan apa-apa kecuali bijinya yang akan dihisap perlahan dan lama. Itu adalah salah satu cara kami menikmati buah mangga hingga gigitan terakhir. Aku tak mau ketinggalan pesat ini, kuambil sebuah dari baju Lius. yah mangga itu ditumpuk pada baju lius yang membuatnya nampak seperti sedang menggendong sesuatu diperutnya. Begitu banyak mangga yang dipetik. Tak ada pisau atau parang, tak ada air atau kain untuk sekedar mengelapnya agar lebih higienis untuk disantap. Ah, tak peduli, hantam saja yang penting hati senang dan puas. Aku mengupas kulit mangga dengan gigitan pertamaku dan seterusnya menikmati seluruh isinya dengan caraku sendiri dan tentu saja tak jauh berbeda dengan cara Lius, John, Ignas dan ebiet tadi. hahahaha...
Selesai berpuas diri dengan mangga, kami mendatangi Lin di pondok yang sedang sibuk menyalahkan tungku api.
"Lin, enak ngeri mangga tadi. kau ti mau makan kah?" selorohku dengan mata berbinar
Lin hanya tersenyum sambil terus meniup bara api pada tungku agar tetap menyala kemudian Ia berkata padaku
"Suruh Lius petik jagung sudah, saya su siap api nih"
Waw...mataku melebar. Jagung sodara-sodara. Gesit aku menghampiri Lius dan Ebiet yang sedang bergurau.
"We, lin bilang petik su jagung. dia su siap api"
"Oke Bos" Lius mengacungkan jempolnya padaku.
Hatiku riang, turut serta Lius dan Ebiet pergi memetik jagung-jagung muda yang bertebaran di kebun keluarga Lin sementara John dan Ignas menyiapkan cabe dan kemangi untuk dimakan bersama jagung nanti. Liurku menetes bahkan saat mengetik cerita ini. hiyahahahaha...
Jagung terkumpul, ada sekitar selusin batang. Cukuplah untuk kami berenam, seorang dapat jatah dua. Giliran Lin bertugas membakar jagung-jagung itu di tungku yang sudah tersedia.
"Lin, ada garam?" John bertanya
"Aduh betul e..sa lupa bawa tadi" Lin menepuk kepalanya kesal
"Coba kamu cari dibelakang situ, biasanya mama taroh satu *lepo disini" Lius memberitahu
(*Lepo : Bungkusan garam dari anyaman daun pandan)
Lin beranjak kebelakang pondok, tempat ibunya menyimpan beberapa barang dan benar saja ada sebungkus garam kasar tersimpan disana. Aku suka makan garam ini, meskipun kata beberapa ahli kesehatan dan guruku garam berbiji besar ini tidak mengandung cukup yodium sehingga tidak baik untuk di konsumsi.
Sambal gubahan John dan Ignas telah selesai diracik. Cabe mentah dicampur daun kemangi, daung bawang, dan potongan sereh serta garam secukupnya. Menggiurkan!
Aku sungguh mengingatnya, kadang jika tak ada cemilan kami akan memakan sambal gubahan kami ini, kosong, tanpa apapun. Sensasinya tetap menyenangkan dan meledak-ledak, itu kenapa aku suka lalapan dengan kemangi meski temanku lebih suka memasukannya dalam kobokan sebagai teman cuci tangan. huh...(Sejujurnya, aku hampir mati menginginkan sambal itu saat ini T.T)
Bunyi api menggeletak diantara obrolan kami yang sedang menunggu jagung bakar kami matang.
"We, kamu lihat mukanya ignas ngera ata polo na, hahahah"
Kami semua tertawa mendengar candaan lius, wajah Ignas benar-benar kotor karena debu dan getah dari pohon mangga yang dipanjatnya sampai-sampai Lius mengejeknya seperti setan atau ata polo dalam bahasa kami.
"eh su hangus tuh" mata jeli Ebiet mengarah pada jagung yang berada diatas tungku.
Lin cepat-cepat mengambil kulit jagung yang dipakai untuk mengangkat jagung tersebut dari tungku sehingga tangannya tidak melepuh karena panas api. Setelah semua jagung telah matang dan dibungkus dengan kulit jagungnya yang sengaja disimpan Lin untuk membungkus jagung masing-masing sehingga kami bisa makan dengan nyaman tanpa merasa kepanasan (mana ada tissue ditengah hutan bo). Sesuai pembagian tadi, seorang mendapat dua. Sambal racikan John dan Ignas sudah berada ditengah-tengah kami dan kamipun beraksi. Mencolek sambal sambil menggigit jagung bakar masing-masing. Maknyosss... Dalam proses memamahbiak jagung tersebut tak ada seorangpun yang berbicara. Semua konsentrasi tercurah hanya pada jagung dan sambalnya sementara diluar hari mulai gelap dan anjing-anjing hutan sibung menggonggong.
Kami membereskan pondok dengan cepat, membuang semua sampah yang kami hasilkan pada tempatnya kemudian bersiap pulang.
Dan tanpa kami sadari, tak ada air disekitar kebun dan dalam pondok sementara kami mulai mengeluh karena kehausan dan kepedisan. Kalau kau ada disana saat itu dan melihat tampang meringis kami yang sangat menggelikan, aku saja masih mampu terbahak karena itu.
Saat matahari di ujung Pantai Ende mulai meredup dan lepuhan cabe di lidah kami mulai merayap sampai ke kepala, kamipun bergegas berlari menuruni bukit menciptakan labirin kami sendiri melalui jalanan bukit yang menurun-berundak dan berkelok, sedikit terjal, menerbangkan debu yang menyatu dengan gelap senja pelan memekat demi mengejar cahaya matahari yang perlahan bersembunyi dari kami. Saat bertemu jalan raya, kami bersorak. Jalan ke rumah tak lagi jauh dan sebentar lagi tenggorokan kami akan dialiri banyak air. Puji Tuhan.
Saat menenggak segelas air putih sambil merayu lidahku yang terbakar kepedisan di belakang rumah malam ini, Wongge nampak besar dan perkasa diantara senyap malam meski hanya shilloutenya. Sekawanan kelelawar terbang memecah bulan diatasnya. Kapan aku mampu menyamai puncaknya?! Ya Tuhan....
#Nama dan Cerita sebagian adalah nyata dan sebagian lain rekaan. Setting cerita, memang benar-benar di Kaki Gunung Wongge - Kecamatan Paupire Kabupaten Ende. *hometown*
Begitu 'polos' dan indah. Ayo kapan buat buku sendiri, Marsie? :)
BalasHapusmembaca ini mengingatkan saya akan majalah "KUNANG-KUNANG"..
BalasHapusmestinya ko kirim ini kesitu.. :btw masih ada tidak ew??:
marsiee lucu ...bagus banget aku terlena membacanya
BalasHapussa jadi lapar..!! bikin buku sudah, buku cerpen basis. kau pandai mendongeng..! :D
BalasHapusjadi pengen maem jagung mbah...
BalasHapuskapan buat cerita hantu?
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus@ K'T : Haihahahahaha,,,,malu saia belum kapasitas kaka ee
BalasHapus@ Doddy : begitupun saya waktu buat cerita ini sempat ingat majalah itu, dulu satu kali benar sempat ngirim puisi ke Kunang2 dan puji tuhan dimuat :p
@ Ayu : ahem...tengkyuu
@ Lieke : dasar, mukamu ingat makanan molo. wkwkwkwkw..pandai mendongeng?sini ta dongengin ndo..wkwkwkwkwkw.
@ Anonymous : Galih tah? hahaha, ayo kapan2 mbakar jagung bareng..cerita hantu?duh nda ahli kalo gitu2an.wkwkwkwkw
setuju dengan lieke, isi kepalamu banyak cerita dongeng hahahaahah
BalasHapusHm....tapi belum tentu muat sebuku, om. wkwkwkwkwkw
BalasHapus