Ketika Bapak Hilang

Minggu, Desember 04, 2016 Pankratia Da Svit Kona- 0 Comments



Sebuah Cerpen #MariaPankratia

(Ini cerpen lama yang saya edit dan kirimkan ke Santarang. Lalu diedit kembali oleh Pemred Jurnal Santarang yang ngeri-ngeri sedap itu, maka jadi lah seperti ini. Ada kemungkinan cerita ini akan saya revisi lagi pada bagian akhirnya. Hihi)


*Santarang Edisi Agustus 2016



Lukas melepas celana yang basah setelah sekian lama terendam air sungai. Hampir lima jam Ia menghabiskan waktu untuk bermain bersama kawan-kawan sejak pulang sekolah. Dan kini yang terjadi, Ia mulai menggigil kedinginan dengan jemari yang mulai pucat keriput karena terendam air. Bergegas Ia mendekati tungku yang sedang menyala membara, perasaan hangat menjalar seketika. Beberapa saat kemudian, Mama telah berada di sampingnya sambil memperbaiki letak kayu bakar supaya tetap menyala mekar.

“Dari mana saja kau? Jam begini baru pulang?”

Lukas menyeringai. Dalam temaram dapur, seringai itu nampak menyebalkan. Hal itu membuat Mama bingung dan kesal sehingga menghardiknya.

“Pergi pake baju sudah sana! Besok kau tidak bisa sekolah, kau lihat memang.”

Lukas yang sudah kembali pulih dari rasa dingin lekas bangkit dan berlari ke dalam kamar untuk berpakaian. Di luar, rintik hujan mulai menggerogoti atap ilalang rumah yang perlahan meranggas akibat terlalap musim yang tak pernah pasti.

***

Lukas adalah anak tunggal dari Bapak Petrus dan Mama Ance. Kelakuannya yang “aduhai” mestilah ditoleransi karena usianya yang baru mendekati tujuh. Bapak Petrus sekeluarga menempati sebuah rumah sederhana beratap alang-alang di Desa Pemo, sekian langkah dari Danau Kelimutu. Di sekitar danau bertaburan hutan pinus dan pepohonan yang namanya sulit disebut.

Danau Kelimutu merupakan danau yang indah, bahkan sudah terkenal ke seluruh penjuru Dunia. Air danau Kelimutu memiliki tiga warna berbeda, ceruk-ceruknya dalam mengandung belerang yang berasal dari letusan gunung berapi sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Ada banyak legenda yang melatarbelakangi fenomena Danau Kelimutu. Bapak Petrus, Ayah Lukas, merupakan salah seorang pencerita yang handal. Pernah sekali waktu, Lukas dan kawan-kawannya menghabiskan malam yang panjang mendengarkan sebuah legenda tentang seorang suami yang nekat melompat ke dalam danau demi menemukan isterinya yang telah meninggal dunia. Masyarakat setempat percaya bahwa manusia yang telah meninggal dunia tempatnya ada di dalam danau tersebut.

Danau berwarna hitam (tiwu ata bupu) adalah tempat bagi orang-orang tua, danau berwarna hijau (tiwu ko’o fai nuwa muri) adalah tempat bagi muda-mudi dan danau berwarna merah (tiwu ata polo) adalah tempat bagi mereka yang selama hidupnya melakukan hal-hal yang menyimpang seperti penenung, penyihir dan sebagainya. Dalam bahasa setempat “Polo Wera” atau “suanggi.”

Semalaman mereka dibuat bergidik membayangkan kejadian yang sebenarnya, mata mereka benderang karena takut bermimpi yang bukan-bukan. Tentu saja hal ini menimbulkan geli bagi bapak petrus dan mama ance yang akhirnya bekerja extra untuk merayu anak-anak itu tidur. Kawan-kawan Lukas memilih menginap saja di rumah Lukas ketimbang pulang dan mengambil resiko bertemu sesuatu di jalanan pada malam gelap buta.

***

Hari ini Lukas bersemangat, sekolahnya akan mengadakan panen jeruk. Semua siswa diajak bersama-sama memanen jeruk di kebun belakang sekolah setelah jam istirahat pertama. Itu artinya kegiatan belajar-mengajar hanya diadakan setengah hari. Lukas dan kawan-kawan dapat menghabiskan jeruk semampu mereka hingga puas dan sakit perut. Bapak Petrus juga akan memanen jeruk di kebun mereka yang berdekatan dengan Danau Kelimutu. Sejak pagi beliau sudah berangkat seorang diri. Hasil panen akan dijual saat rega atau hari pasar nanti. Lukas berniat membantu bapak setelah pulang sekolah.

“Mama, sa pi sekolah dulu” Lukas berteriak pamit pada mamanya

Di luar telah menunggu Ebit dan Anis, sahabat-sahabat Lukas.

“Ho, mbana si..mawe-mawe…” (*Iya, pergilah. Pelan-pelan)

Mama Ance membalas salam Lukas dari dalam rumah.

Pada saat rumah begitu senyap, seisi kampung sibuk barkelompok di kebun. Hanya keretak kayu bakar yang mengisi suara-suara siang dan mama ance pun tenggelam dalam kesibukan menyiapkan makan siang bagi suaminya di ladang. Siang nanti setelah Lukas pulang dari sekolah, mama ance akan mengajak putranya mengantarkan makan siang sekaligus membantu sang suami memanen hasil jeruk mereka.

***

“Mama….”

Jika suara Lukas terdengar membahana didepan rumah, itu tanda sekolah telah usai. Lukas tidak pernah membolos, Ia sangat senang bersekolah, bahkan saat kondisi tubuh melemah dan tak memungkinkan atau cuaca tak bagus dan jalanan berbahaya karena diaspal bagus. Lukas tetap akan berangkat ke sekolah dan menantikan jam-jam ketika Ia bersama kawan-kawan dapat duduk manis mendengarkan sang guru berkisah tentang dunia.

“He, kau su pulang?”

“Iya. Jadi ke kebun tidak kita?”

“Jadi le, kita makan di kebun saja e? Kau su lapar?”

“Belum. OKE BOS”

sambil berucap demikian, Lukas mengangkat ibujarinya tinggi-tinggi. Melihat tingkah anaknya, mama ance hanya bisa tertawa.

***

Hari beranjak siang dan kabut perlahan turun di antara ranting-ranting pinus yang bercabang liar. Sejauh mata memandang hanyalah warna putih yang menyelimuti dan rasa dingin yang menusuk. Mama Ance mengencangkan sarungnya sehingga lebih mudah berjalan. Di depannya, Lukas dengan lincah berloncatan melewati semak belukar. Cuaca di pegunungan memang selalu tidak menentu, di siang hari sekalipun yang semestinya panas terik, kabut justru melebat dengan pongahnya.

Lukas mempercepat langkahnya, Ia tak sabar ingin berjumpa bapak. Beberapa saat kemudian, mereka telah tiba di tujuan. Kebun tampak lengang. Dari pondok tempat bapak biasa beristirahat, tampak asap membumbung. Sepertinya beliau sedang membakar sesuatu, entah ubi, kentang atau sejenisnya. Lukas bergegas menuju pondok sambil berteriak memanggil.

“Bapa.. bapa.. kami ra’i do” (*Bapa, bapa, kami sudah datang)

Tidak ada sahutan dari dalam pondok maupun dari sekitaran kebun. Mama Ance masih berdiri, sesekali mengamati palawija yang ditanam di samping pondok. Mama Ance seperti merasakan diam yang aneh. Firasat buruk menghampirinya. Mama Ance menyusul Lukas ke pondok. Di dalam pondok tidak tampak seorang pun kecuali tungku api yang masih menyala terang dengan onggokan ubi jalar yang sepertinya hendak dibakar. Kain sarung bapak tergeletak begitu saja di bale-bale. Mama Ance keluar dan mulai berkeliling menyusuri kebun. Diikutinya jejak sepasang kaki yang diduga adalah kaki suaminya. Jejak kaki itu berakhir di semak-semak yang ditumbuhi rerumputan dan semak belukar. Tiba-tiba mama ance menyadari Ia telah sampai pada batas hutan. Hutan hujan yang gulita meskipun hari tengah siang, hutan yang banyak menyimpan cerita dan mitos. Hutan yang dipercaya oleh masyarakat setempat sungguh keramat. Ada dunia lain di sana yang tidak boleh disentuh, jika tak ingin membahayakan diri sendiri. Mama Ance pucat pasi sementara Lukas mulai menangis, takut kehilangan bapaknya. Mama Ance lalu memeluk Lukas dan berkata,

“Mai si, kita walo ro. Kita nosi ebe gheta nua” (*Ayo, kita pulang saja dulu. Kita beritahu orang-orang di kampung)

Tergesa mama ance dan lukas menyusuri jalan pulang. Tidak terasa lagi onak dan duri yang menggores kulit sepanjang perjalanan. Pikiran keduanya hanya terfokus pada satu pertanyaan, “Di mana bapak?”

***

Om Thomas sedang berkelakar ria dengan beberapa penduduk yang lain di bale-bale depan rumah, ketika Ia melihat dua sosok yang berjalan tergesa-gesa mendatanginya. Setelah dekat barulah disadari, mereka adalah saudari dan keponakannya. Lukas tampak menangis tersedu dan Ibunya begitu pucat pasi seperti ketakutan. Mama Ance menghampiri om thomas segera dan tanpa menunggu ditanya lagi beliau langsung memberitahu

“Petrus… Petrus ata polo sono” (Petrus, petrus disembunyikan suanggi)

Om thomas membelalak terkejut, sebagian yang juga ikut mendengarkan bergumam kaget. Setelah sedikit hilang keterkejutannya, om thomas pun bertanya 

“Leka emba? Kau mbe’o leka sai me?” (*Di mana? Dari siapa kamu tahu bahwa dia disembunyikan?)

“gheta uma” (*Di kebun)


Saat mengucapkan kalimat ini mama ance tidak dapat menahan air matanya lagi. Ia menangis histeris. Om thomas pun langsung mengerti setelah mendengarkan kalimat penunjuk keterangan tempat tersebut. Semua orang kampung tahu jika kebun bapak petrus dan mama ance berbatasan langsung dengan hutan keramat. Beberapa kali mereka selalu diperingati agar memperhatikan hari di mana mereka berkebun karena saat-saat tertentu bisa sangat berbahaya. Hal itu lumrah terjadi karena maklhuk-makhluk tak kasat mata tersebut sangat sensitif terhadap perubahan alam maupun lingkungan di sekitar mereka. Untuk menandakan hal itu mereka akan melakukan hal-hal yang kadang tidak masuk akal bagi manusia.

Om Thomas kemudian menghimbau kepada warga yang ada di situ agar mengajak warga lainnya khususnya kaum laki-laki untuk bersama-sama mencari bapak petrus sebelum hari beranjak malam. Para pria berkumpul di rumah om thomas. Setelah mengadakan sedikit diskusi dan mengatur strategi, mereka pun berangkat menuju kebun bapak petrus. Lukas merengek-rengek pada pamannya agar dia ikut mencari. Om Thomas tidak dapat melihat kesedihan di mata bocah itu. Karena sangat menyayangi keponakannya, ia pun mengijinkan Lukas untuk turut serta mencari. Para warga menyisir seluruh kebun hingga jarak 200 meter setelahnya. Ketika mencapai batas hutan keramat, langkah mereka terhenti. Tidak sembarangan orang dapat masuk ke sana tanpa persiapan terlebih dahulu. Segala tumbuhan dan makhluk yang ada di dalamnya begitu purba dan terjaga sejak lama, seperti bahasa alam yang tidak bisa dijelaskan. Beberapa warga menanyakan pendapat om thomas.

“Bagaimana ni? Kita tidak mungkin masuk ke sana tanpa persiapan”

Om Thomas terdiam, beliau tampak berpikir keras dan akhirnya memutuskan.

“Baik, kita pulang saja dulu. Kita lapor Mosalaki. Semoga Beliau bisa kasih petunjuk”

Mosalaki adalah sebutan bagi pemimpin atau tetua adat di kampung itu.


Rombongan kembali ke kampung dan langsung menuju Sa’o Ria atau Rumah Besar, tempat Mosalaki berdiam. Terjadi perbincangan serius antara para lelaki dan Mosalaki. Pada akhirnya diputuskan akan diadakan upacara “Pati Ka Ata Mata” atau “dhera” atau Upacara memberi makan/sesajen bagi para leluhur. Dengan cara ini Mosalaki yakin para leluhur akan memberikan petunjuk atau jalan keluar atas peristiwa yang tengah menimpa warga desanya. Upacara akan diadakan keesokan hari.

***
Bulan tampak kesiangan diatas pucuk menara Sa’o Ria. Lukas telah terjaga sejak tadi. Ia memilih duduk terpaku di sudut rumah sambil menunggu pamannya terbangun untuk meminta Mosalaki melaksanakan upacara. Lukas mulai frustrasi karena tidak bertemu bapak lebih dari sehari.

“Hei Lukas, kau sudah bangun?”

Om Thomas tiba-tiba sudah duduk di sampingnya sembari memeluk Lukas erat-erat.

“Tenang, kita pasti menemukan bapa”

“Hari ini juga? Bisa?”

“Semoga saja”

Lukas tertunduk lesu mendengar jawaban pamannya yang tidak pasti. Ini akan menjadi hari yang panjang baginya. 

Pukul 10.00 pagi, mama ance telah bergabung bersama lukas, om thomas dan beberapa warga yang berdatangan. Mama Ance membawa dua ekor ayam kampung masing-masing berwarna hitam dan merah. Juga ada beras merah, telur ayam kampung, sirih pinang, kapur sirih dan sebotol Moke. Sementara itu, Mosalaki telah mempersiapkan beberapa perlengkapan untuk upacara tersebut. Setelah melewati sesi konsultasi yang panjang dan rumit antara Mama Ance, Om Thomas dan Mosalaki, upacara pun dilaksanakan. Mama Ance Terlebih dahulu memasak bahan makanan yang tadi telah dibawa. Berasnya harus ditanak di dalam bambu sesuai tradisi masyarakat Lio.

Pukul 12.00 siang semua kebutuhan upacara, termasuk makanan, telah lengkap. Mosalaki menghamparkan semua sesajen di atas sebidang batu datar di depan Sa’o Ria. Kemudian, sambil merapalkan mantra, beliau meminta semua warga yang ada disekitarnya turut serta berdoa agar diberikan petunjuk oleh leluhur dan semesta. Selesai upacara dilakukan, petunjuk tidak otomatis didapatkan. Mosalaki harus menunggu waktu semalam lagi untuk didatangi leluhur yang dipercaya akan memberitahukan langkah selanjutnya.

***

Pagi-pagi sekali, Om Thomas, Lukas dan Mama Ance serta beberapa keluarga dekat mereka telah mendatangi Sa’o Ria. Berharap Mosalaki telah mendapatkan petunjuk. Mosalaki dengan luka lesu kebesarannya duduk berhadapan dengan Mama Ance, Lukas dan Om Thomas. Beliau kemudian berbicara.

“Ada kesalahan kecil yang sudah keluarga ini lakukan sehingga leluhur menjadi marah dan memerintahkan makhluk-mahkluk itu menyembunyikan Petrus. Beberapa hari yang lalu, Lukas dan teman-temannya ada pigi bermain di sungai. Apakah benar?”

Mama Ance dan Om Thomas beralih melihat Lukas. Lukas mengangguk mengiyakan. Kemudian Mosalaki berbicara lagi.

“Nah, kalian tidak hati-hati. Kalian mengambil paksa beberapa tanaman yang seharusnya tidak boleh kalian ambil di hutan. Leluhur tidak memberitahukan tanaman apa itu namun karena kelakuan kalian, kehidupan makhluk di sana menjadi terganggu, karena itu mereka marah sekali. Mereka menyandera bapamu supaya kamu dan teman-temanmu menyadari kesalahan kalian dan berjanji tidak akan melakukannya lagi.”

Lukas terdiam. Ia tiba-tiba teringat beberapa hari yang lalu saat menghabiskan waktu bermain di sungai bersama kawan-kawan. Mereka mematahkan beberapa ranting pepohonan yang mereka sendiri tidak ketahui namanya. Pohon itu memiliki daun yang lebar dan batang yang alot sehingga dapat dipakai sebagai perahu-perahuan di sungai. Mereka mematahkannya dengan paksa sampai terlepas ranting dari pohonnya. Tanpa mereka sadari, pohon itu adalah tempat tinggal beberapa makhluk penjaga hutan. Pohon itu sudah seperti rumah bagi para makhluk tersebut sehingga saat ada orang lain yang tiba-tiba mengusiknya, mereka menjadi sangat marah. Mosalaki kembali berbicara.

“Untuk menebus kesalahan kalian, dan agar bapamu bisa kembali lagi, kalian harus mengadakan upacara sekali lagi di perbatasan hutan. Sesajennya masih sama seperti kemarin. Kita akan melakukan itu sore ini pukul enam di kebun kalian. Semoga saja bapamu akan dikembalikan dan masih dalam kondisi baik-baik saja.”

Mama Ance menarik nafas panjang, Om Thomas menyampaikan terima kasih yang mendalam kemudian pamit untuk segera menyiapkan perlengkapan upacara.

***

Sore beranjak remang, dengan dibantu cahaya dari obor bambu rombongan, yang terdiri atas Mosalaki, Om Thomas, Mama Ance, Lukas dan keluarga terdekat, menuju ladang di kaki Danau Kelimutu. Dari kejauhan, Danau Kelimutu seperti tembok alam raksasa. Matahari sebentar lagi menghilang dan bintang mulai menyembul di langit. Bulan merangkak perlahan dengan cahayanya yang hangat. Tepat pukul enam sore, waktu yang dipercaya sebagai momen peralihan antara dunia siang dan dunia malam, upacara dimulai. Mosalaki kembali menghamparkan sesajen di atas batu datar di pinggiran ladang yang berbatasan dengan hutan. Beliau merapalkan mantra dan melihat ke sekeliling. Sesekali Mosalaki memejamkan matanya dan mengarahkan kepala ke langit seperti memohon. Selang beberapa saat kemudian, munculah sebuah bayangan diantara semak-semak dari arah hutan. Bapa petrus terlihat kuyu dan berjalan terhuyung-huyung menghampiri mereka. Seketika Lukas berteriak kencang sambil menangis

“Bapa…. Ampun bapa, Lukas yang salah…” 

Bapa Petrus tidak berkata apa-apa karena tidak memiliki tenaga lagi. Beliau hanya memeluk Lukas dan Mama Ance erat-erat.

***


Lukas menemukan keceriaannya kembali, keluarganya telah utuh seperti semula. Sejak hari itu, Lukas berjanji untuk memperingati kawan-kawannya agar tidak sembarangan memotong, mencabut atau merusak tumbuhan dan segala hal yang terdapat di hutan.





0 komentar: