#Rantau

Minggu, November 27, 2016 Pankratia Da Svit Kona- 0 Comments



Indonesia kaya akan suku-sukunya, ada ribuan. Yang terdeteksi dan terdaftar maupun tidak. Sebagian besar suku di Indonesia, orang-orangnya sangat gandrung merantau. Tak asik katanya jika tak keluar kampung. Tak punya pengalaman dan pengetahuan luas. Nenek moyang kita orang pelaut, berlayar sampai jauh. Lalu bagaimana dengan nenek moyang kita yang sebagian adalah petani, membajak sampai jauh juga kah? Hanya musim dan langit yang tahu.

Orang Flores punya tradisi keluar dari rumah selepas Sekolah Menengah Atas. Itu yang lumrah terjadi. Sebagian yang bahkan tidak pernah menyentuh bangku pendidikan sudah keluar dari rumah sejak mereka menginginkannya. Bagi beberapa orang, proses menjadi “manusia” sesungguhnya dimulai saat dimana rumah bukan lagi satu-satunya tempat yang nyaman dan memberikan rasa aman seperti yang kita inginkan. Proses menjadi manusia diawali ketika kita menjadi penghuni dari salah satu kamar kos lusuh, lingkungan riuh kampus, pekerjaan harian yang menguras tenaga dan pikiran, serta macam-macam kesibukan Ibu kota.

Entah apa yang diberitakan ke kampung halaman tetapi orang tua dengan jumawa akan mempersembahkan bahan obrolan yang ringan menarik tentang kebanggaannya pada anak-anak yang telah pergi jauh dari rumah kepada sanak keluarga juga para tetangga.

Sebagai perantau yang mengenyam pengalaman pendidikan juga bekerja, saya akan berbagi di sini tentang pengalaman saya saat menginjak tahun kedua di tanah orang. Dari sudut pandang anak kuliahan, bukan pekerja harian.

Tamat SMU dikirim ke Ibu Kota. Bisa ke ibu kota Negara, ibu kota salah satu propinsi di Indonesia. Orang tua dengan sukarela menginvestasikan harta kekayaan mereka kepada kita.

Ilustrasinya kurang lebih begini ; “Ini sa kasih kau doi, banyak ni. Warna merah semua. Ada sekitar dua puluh lembar atau tiga puluh. Pakai beli spoon, lemari, rak buku, kalo agak lebih baru kau beli komputer, yang bekas saja jangan bagaya pake laptop. Nanti kalo su ada uang sendiri baru kau beli. Ingat kuliah baek-baek, kami di sini cari uang susah setengah mati supaya kau bisa sekolah.”
Lalu apa yang terjadi selanjutnya?

Semester awal. Masa adaptasi, belajar menjadi mahasiswa/i sekaligus perantauan, mandiri segala-galanya tetapi belum bisa BERDIKARI. Karena masih menanti kiriman orang tua, menadahkan tangan setiap bulannya di ATM atau Kantor Bank. Situasi yang lumayan rumit ini terkadang menguras biaya dan waktu yang cukup banyak karena harus menyesuaikan diri dengan kondisi Ibu Kota yang ruam di sebelah kiri dan mulus di sebelah kanan. Lingkungan dan teman-teman juga menjadi faktor penting agar bisa terus eksis. Salah sedikit bisa angkut koper, pulang kampung.

Semester Bingung . Bingung karena semester ini Individu mulai merasa punya hak memilih. Pilihannya antara lain; Bertahan, LANJUTKAN. Menjalani aktivitas sebagai Mahasiswa/i dari kampus  tertentu dengan standar pendidikannya. Dosen dari etnis yang berbeda dengan cara mengajar yang bisa menimbulkan kebingungan yang akut. Gaya bahasa, dialek dan cara penyampaian. Tidak semua bisa menerima keterkejutan ini. Belum lagi tugas yang bisa membikin kepala panas dan muka mendadak mengecil saking pusingnya. Atau saking malasnya. Tetapi sebagian memilih bertahan, berjibaku, menantang badai dan menembusi segala perkara dengan cara masing-masing. Lalu sebagian lain? Sebagian lain mulai berpikir tentang kebosanan, tentang kesenangan lain seperti jalur traveling baru. Mengunjungi teman-teman lama di kota-kota yang berbeda. Merasakan keasikan dan suasana baru di tempat lain. Karena setiap tempat menjanjikan kesenangan yang berbeda-beda. Juga kerunyaman yang skalanya sama.

Semester Cinta. Asoi. Roman Picisan, Saat manusia dikenalkan dengan cinta, atau pergi mengenalinya sendiri. Bagaimana menemukan pasangan di lingkungan perkuliahan, menjalani hubungan yang sehat dan normal atau lebih kepada kebutuhan sehari-hari. Kebutuhan sehari-hari ini bisa bervariasi. Dari makan bersama-sama dan menentukan siapa yang bayar. Laki-laki biasanya berperan aktif karena dipasung tradisi. Lalu kebutuhan lain seperti ojek cinta. Siap dua puluh tujuh jam, saya lebihkan tiga jam karena bonus kasih sayang dan perhatian. Juga kebutuhan terakhir yang sering kita aminkan dalam diam. Kenapa dalam diam? Karena kita merasa bukan urusan kita. Biarkan mereka sendiri yang menyelesaikannya, entah di tempat tidur, di bibir pantai, di dalam mobil atau di kamar kos teman. Selanjutnya yang menyusul adalah, pertentangan batin untuk kedua insan atau pertahanan diri agar cerita ini jangan sampai lolos kepada oknum tidak bertanggung jawab. Karena kalau sampai tidak berakhir di ranjang perkawinan maka aib ini akan sungguh menyakitkan, yang lebih sering terjadi adalah, pasangan yang putus saling menghina satu sama lain dan membongkar aib mereka sendiri dihadapan orang-orang yang katanya adalah kepercayaan mereka. Jika hanya sampai di situ, saya pikir manusia masih bisa survive. Karena ingatan akan terlupakan seiring waktu, jadikan tumbal pengalaman. Bagaimana kalau sampai fatal, semisal berbadan dua maksudnya. Impian membeli laptop baru agar menyenangkan orang tua seperti wejangan sebelum berangkat tentu tak akan kesampaian. Dilematis praktis. Pilihan terbentang beberapa. Hilangkan janin, banyak caranya. Jalani dulu perkuliahan sampai janin sedikit bertumbuh besar lalu pulang dan mengakui kesalahan pada orang tua dan berjanji akan bertanggung jawab atas semuanya, bersama dengan pasangan atau tidak sama sekali.  Bagian ini memang mengerikan. Kondisi ketidakstabilan berpengaruh besar pada kehidupan seseorang. Belum lagi pemikiran tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa diraih jika saja kesalahan ini tidak terjadi.

Semester Egois. Semester ini terjadi apabila kesalahan fatal pada semester cinta yang dibahas sebelumnya sama sekali tidak terjadi. Polemik menemukan jati diri dan solusi dari setiap masalah yang timbul dari dalam diri sendiri (Psikologis) ataupun masalah Lingkungan (adat, budaya, tradisi, keluarga, teman, dan lain sebagainya). Kondisi ini terjadi pada mereka yang suka berpikir rumit. Berjuang mati-matian untuk mengenali “siapa saya sesungguhnya. Apa yang ingin saya lakukan dalam hidup ini. Sudah benar kah jalan yang saya ambil sekarang?.” Bahkan ada yang memilih bunuh diri karena tak kuat menantang diri sendiri. Mereka terlanjur kalah karena tak yakin mampu menaklukan diri sendiri. Kuasai diri sendiri saja tidak mampu apalagi kuasai dunia dan tetek bengeknya.

Semester Uzur. Beberapa kategori untuk semester ini.
Yang Bertahan I
Yang bertahan pada kategori  ini, mereka yang menjalani semester awal dan semester bingung dengan ogah-ogahan. Berjuang hingga selesai sebisanya atau dengan jalan pintas. Saya rasa sudah menjadi rahasia umum yang dimaksudkan dengan jalan pintas tersebut. Ada banyak jalan pintas. Membeli skripsi atau sekalian saja ijazahnya, membayar lebih banyak ke pihak kampus. Beberapa kampus serius menangani ini. Dan mereka bisa kembali ke rumah dengan gagah.

Yang Bertahan II
Rasa malu dengan diri sendiri, dengan lingkungan dan orang tua dan tuntutan hidup di masa kini yang tak terkira, memaksa diri untuk memulai semuanya sendiri. Bekerja dengan mengandalkan ijazah yang sudah ada. Di kota-kota di Indonesia yang sudah jauh berkembang pesat, orang-orang berijazah SMA sangat mudah diterima. Karena tenaga yang terjaring dapat dibayar dengan gaji yang jauh lebih murah ketimbang menerima pekerja lulusan Diploma atau Sarjana. Bukankah Kemampuan dan pengetahuan bisa diasah. Ini ujian hidup sesungguhnya, mental seorang manusia ditempa habis-habisan. Pikiran antara bekerja dan menyelesaikan kuliah berpacu. Seperti dikejar waktu, pertanyaan kapan selesai berlomba-lomba dengan deadline di tempat kerja. Prioritas menjadi musuh paling berat. Apa kabar Ibu dan Bapak di kampung halaman. Menanti dengan anteng, mendaraskan doa penuh ketekunan. Tak jarang memohon mukjizat. Prestige sarjana tetap yang utama.

Yang Bertahan III
Pulang, membantu usaha orang tua. Untuk mereka yang tergolong memiliki orang tua mampu, ini adalah solusi yang sangat dianjurkan. Mana ada orang tua yang membiarkan anaknya terlunta-lunta untuk waktu lama. Bagi mereka yang orang tuanya kurang mampu, cukup lah puas dengan bekerja sebagai honorer di kantor-kantor pemerintahan, melamar pada kantor Bank terdekat yang sedang membuka kesempatan berkarir tanpa ada lagi harapan untuk meningkatkan karir lebih tinggi. Yang agak ironi kaum-kaum yang akhirnya kembali tanpa bukti nyata ini (begitu diistilahkan) justru tak pernah belajar dari kehidupan sebelumnya. Ada saja yang bertemu lawan jenis, entah itu jodohnya atau bukan tetapi mereka melakukan kesalahan lain. Marriage by accident. Kondisi masyarakat kita tidak akan membiarkan engkau berlama-lama dengan keadaan tersebut. Maka menikahlah meskipun tidak yakin dengan pilihannya. Dan menjalani hidup seterusnya. Penyesalan itu berkubang dan terkuak pada waktu-waktu tertentu. Oleh karena itu, selingkuh menjadi masalah moral paling tinggi saat ini. Ralat, mungkin sejak beberapa tahun lalu semenjak saya belum juga mengerti bahwa lelaki yang memiliki anak lain di luar rumahnya berarti ia sedang berselingkuh. Dan keluarga termasuk sang isteri berusaha keras menutupi aib tersebut dari telinga masyarakat demi menghindari gunjingan sengit.

Kategori paling parah di semester ini adalah mereka yang membiarkan dirinya dikalahkan waktu dan jaman yang terus berubah. Santai seperti di pantai, selow semacam di pulau.  Berakhir pada DROP OUT, tidak berguna serta menambah angka pengangguran bangsa. Ada banyak yang seperti ini, beberapa saya kenal dengan baik dan mereka tetap dengan cara berpikir yang memang seperti itu. Malas dan acuh tak acuh. Bak simalakama, mereka terus saja berada ditengah kebingungan menentukan nasibnya sendiri.

Saya akan mengakhiri tulisan panjang ini dengan sesuatu yang sarat akan makna bahagia bagi masyarakat kebanyakan. Mereka ini yang mengukir prestasi dan memberikan momen tak terlupakan bagi orang tua, keluarga dan para sahabat. Gambar-gambar mereka akan terpampang penuh wibawa berbalut pigura menawan di ruang tamu, ruang makan bahkan kamar kedua orang tua. Mereka menjalani perjuangannya sejak semester awal hingga semester uzur dengan cara yang gigih dan elegan. Yang tentu saja membikin iri sebagian mereka yang terjebak pada semester bingung, semester cinta dan semester egois. Mereka kembali dengan senyum terkembang dan bahu serta dagu yang terangkat sempurna. Kekurangan dari kalangan ini adalah mereka tak cukup mengalami guncangan sebab jaminan dari orang tua dan kehati-hatian mereka menghindari masalah. Sehingga terkadang mereka begitu bagus di kertas namun tidak dengan kepribadian mereka. Begitu taat pada garis nasib yang telah umum terjadi. Kembali ke kampung halaman, meneruskan usaha orang tua atau melamar pekerjaan. Sasaran pekerjaan yang paling banyak diincar adalah Pegawai Negeri Sipil. Tunjangan pensiunnya memastikan kehidupanmu aman dan nyaman hingga titik darah penghabisan. Dua atau tiga tahun kemudian, mereka akan menemukan pasangan hidup yang diyakini adalah jodohnya. Mengurus pernikahan, mengundang banyak orang, menghabiskan banyak biaya karena rasa syukur luar biasa. Menghasilkan generasi penerus yang akan melakukan pengulangan yang persis seperti telah mereka lakukan. Lahir, sekolah, menikah dan punya anak. Solusi untuk masalah hidup sudah tertera pada buku panduan keluarga. That’s all. Perfecto!

Lalu, apa sebenarnya yang ideal bagi manusia dalam prosesnya menemukan jati diri serta memaknai hidup? Jawabannya bukan dari siapa pun. Tapi dari diri kita sendiri. Yang pasti, merantaulah agar kamu tahu bagaimana sedapnya Mie Instan paling terkenal dari Indonesia di tanggal tua atau lelahnya diusir tuan kos karena telat membayar tagihan kamar. Sebab, rumah akan selalu menjadi tujuan akhir. Sejauh mana pun kita melangkah.
Tetap cool dan nikmati hidup






0 komentar: