#Rantau
Indonesia kaya akan
suku-sukunya, ada ribuan. Yang terdeteksi dan terdaftar maupun tidak. Sebagian besar
suku di Indonesia, orang-orangnya sangat gandrung merantau. Tak asik katanya
jika tak keluar kampung. Tak punya pengalaman dan pengetahuan luas. Nenek
moyang kita orang pelaut, berlayar sampai jauh. Lalu bagaimana dengan nenek
moyang kita yang sebagian adalah petani, membajak sampai jauh juga kah? Hanya
musim dan langit yang tahu.
Orang Flores punya
tradisi keluar dari rumah selepas Sekolah Menengah Atas. Itu yang lumrah
terjadi. Sebagian yang bahkan tidak pernah menyentuh bangku pendidikan sudah
keluar dari rumah sejak mereka menginginkannya. Bagi beberapa
orang, proses menjadi “manusia” sesungguhnya dimulai saat dimana rumah bukan
lagi satu-satunya tempat yang nyaman dan memberikan rasa aman seperti yang kita
inginkan. Proses menjadi manusia diawali ketika kita menjadi penghuni dari
salah satu kamar kos lusuh, lingkungan riuh kampus, pekerjaan harian yang menguras tenaga dan pikiran,
serta macam-macam kesibukan Ibu kota.
Entah apa yang
diberitakan ke kampung halaman tetapi orang tua dengan jumawa akan
mempersembahkan bahan obrolan yang ringan menarik tentang kebanggaannya pada
anak-anak yang telah pergi jauh dari rumah kepada sanak keluarga juga para
tetangga.
Sebagai perantau
yang mengenyam pengalaman pendidikan juga bekerja, saya akan berbagi di sini
tentang pengalaman saya saat menginjak tahun kedua di tanah orang. Dari sudut
pandang anak kuliahan, bukan pekerja harian.
Tamat SMU dikirim ke Ibu Kota. Bisa ke ibu kota Negara, ibu kota salah satu
propinsi di Indonesia. Orang tua dengan sukarela menginvestasikan harta
kekayaan mereka kepada kita.
Ilustrasinya kurang
lebih begini ; “Ini sa kasih kau doi, banyak ni. Warna merah semua. Ada sekitar
dua puluh lembar atau tiga puluh. Pakai beli spoon, lemari, rak buku, kalo agak
lebih baru kau beli komputer, yang bekas saja jangan bagaya pake laptop. Nanti
kalo su ada uang sendiri baru kau beli. Ingat kuliah baek-baek, kami di sini
cari uang susah setengah mati supaya kau bisa sekolah.”
Lalu apa yang
terjadi selanjutnya?
Semester
awal. Masa
adaptasi, belajar menjadi mahasiswa/i
sekaligus perantauan, mandiri
segala-galanya tetapi belum bisa BERDIKARI. Karena masih menanti kiriman orang tua, menadahkan tangan setiap bulannya
di ATM atau Kantor Bank. Situasi yang lumayan rumit ini terkadang menguras
biaya dan waktu yang cukup banyak karena harus menyesuaikan diri dengan kondisi
Ibu Kota yang ruam di sebelah kiri dan mulus di sebelah kanan. Lingkungan dan
teman-teman juga menjadi faktor penting agar bisa terus eksis. Salah sedikit
bisa angkut koper, pulang kampung.
Semester Bingung . Bingung karena semester ini Individu mulai merasa punya hak
memilih. Pilihannya antara
lain; Bertahan, LANJUTKAN. Menjalani aktivitas sebagai Mahasiswa/i dari
kampus tertentu dengan standar
pendidikannya. Dosen dari etnis yang berbeda dengan cara mengajar yang bisa
menimbulkan kebingungan yang akut. Gaya bahasa, dialek dan cara penyampaian. Tidak
semua bisa menerima keterkejutan ini. Belum lagi tugas yang bisa membikin
kepala panas dan muka mendadak mengecil saking pusingnya. Atau saking malasnya.
Tetapi sebagian memilih bertahan, berjibaku, menantang badai dan menembusi
segala perkara dengan cara masing-masing. Lalu sebagian lain? Sebagian lain
mulai berpikir tentang kebosanan, tentang kesenangan lain seperti jalur traveling baru. Mengunjungi teman-teman
lama di kota-kota yang berbeda. Merasakan keasikan dan suasana baru di tempat
lain. Karena setiap tempat menjanjikan kesenangan yang berbeda-beda. Juga
kerunyaman yang skalanya sama.
Semester Cinta.
Asoi. Roman
Picisan, Saat manusia dikenalkan
dengan cinta, atau pergi mengenalinya sendiri. Bagaimana
menemukan pasangan di lingkungan
perkuliahan, menjalani hubungan yang
sehat dan normal atau
lebih kepada kebutuhan sehari-hari.
Kebutuhan sehari-hari ini bisa bervariasi. Dari makan bersama-sama dan
menentukan siapa yang bayar. Laki-laki biasanya berperan aktif karena dipasung
tradisi. Lalu kebutuhan lain seperti ojek cinta. Siap dua puluh tujuh jam, saya
lebihkan tiga jam karena bonus kasih sayang dan perhatian. Juga kebutuhan
terakhir yang sering kita aminkan dalam diam. Kenapa dalam diam? Karena kita
merasa bukan urusan kita. Biarkan mereka sendiri yang menyelesaikannya, entah
di tempat tidur, di bibir pantai, di dalam mobil atau di kamar kos teman.
Selanjutnya yang menyusul adalah, pertentangan batin untuk kedua insan atau
pertahanan diri agar cerita ini jangan sampai lolos kepada oknum tidak
bertanggung jawab. Karena kalau sampai tidak berakhir di ranjang perkawinan
maka aib ini akan sungguh menyakitkan, yang lebih sering terjadi adalah,
pasangan yang putus saling menghina satu sama lain dan membongkar aib mereka
sendiri dihadapan orang-orang yang katanya adalah kepercayaan mereka.
Jika hanya sampai di situ, saya pikir manusia masih bisa survive. Karena ingatan akan terlupakan
seiring waktu, jadikan tumbal pengalaman. Bagaimana kalau sampai fatal, semisal
berbadan dua maksudnya. Impian membeli laptop baru agar menyenangkan orang tua
seperti wejangan sebelum berangkat tentu tak akan kesampaian. Dilematis
praktis. Pilihan terbentang beberapa. Hilangkan janin, banyak caranya. Jalani
dulu perkuliahan sampai janin sedikit bertumbuh besar lalu pulang dan mengakui
kesalahan pada orang tua dan berjanji akan bertanggung jawab atas semuanya,
bersama dengan pasangan atau tidak sama sekali.
Bagian ini memang mengerikan. Kondisi ketidakstabilan berpengaruh besar
pada kehidupan seseorang. Belum lagi pemikiran tentang kemungkinan-kemungkinan
yang bisa diraih jika saja kesalahan ini tidak terjadi.
Semester Egois.
Semester ini terjadi apabila kesalahan fatal pada semester cinta yang dibahas
sebelumnya sama sekali tidak terjadi. Polemik menemukan jati diri dan solusi dari setiap masalah yang timbul dari dalam diri sendiri
(Psikologis) ataupun
masalah Lingkungan (adat, budaya, tradisi, keluarga, teman, dan lain
sebagainya). Kondisi ini
terjadi pada mereka yang suka berpikir rumit. Berjuang mati-matian untuk
mengenali “siapa saya sesungguhnya. Apa yang ingin saya lakukan dalam hidup
ini. Sudah benar kah jalan yang saya ambil sekarang?.” Bahkan ada yang memilih
bunuh diri karena tak kuat menantang diri sendiri. Mereka terlanjur kalah
karena tak yakin mampu menaklukan diri sendiri. Kuasai diri sendiri saja tidak
mampu apalagi kuasai dunia dan tetek bengeknya.
Semester Uzur. Beberapa kategori untuk semester ini.
Yang Bertahan I
Yang bertahan pada
kategori ini, mereka yang menjalani
semester awal dan semester bingung dengan ogah-ogahan. Berjuang hingga selesai
sebisanya atau dengan jalan pintas. Saya rasa sudah menjadi rahasia umum yang
dimaksudkan dengan jalan pintas tersebut. Ada banyak jalan pintas. Membeli
skripsi atau sekalian saja ijazahnya, membayar lebih banyak ke pihak kampus.
Beberapa kampus serius menangani ini. Dan mereka bisa kembali ke rumah dengan
gagah.
Yang Bertahan II
Rasa malu dengan diri sendiri, dengan lingkungan dan orang tua dan tuntutan hidup di masa kini yang tak terkira,
memaksa diri untuk memulai semuanya sendiri. Bekerja dengan mengandalkan ijazah yang sudah ada. Di
kota-kota di Indonesia yang sudah jauh berkembang pesat, orang-orang berijazah
SMA sangat mudah diterima. Karena tenaga yang terjaring dapat dibayar dengan
gaji yang jauh lebih murah ketimbang menerima pekerja lulusan Diploma atau
Sarjana. Bukankah Kemampuan dan pengetahuan bisa diasah. Ini ujian hidup
sesungguhnya, mental seorang manusia ditempa habis-habisan. Pikiran antara
bekerja dan menyelesaikan kuliah berpacu. Seperti dikejar waktu, pertanyaan
kapan selesai berlomba-lomba dengan deadline
di tempat kerja. Prioritas menjadi musuh paling berat. Apa kabar Ibu dan Bapak
di kampung halaman. Menanti dengan anteng, mendaraskan doa penuh ketekunan. Tak
jarang memohon mukjizat. Prestige
sarjana tetap yang utama.
Yang Bertahan III
Pulang,
membantu usaha orang tua. Untuk mereka yang tergolong memiliki orang tua mampu, ini
adalah solusi yang sangat dianjurkan. Mana ada orang tua yang membiarkan
anaknya terlunta-lunta untuk waktu lama. Bagi mereka yang orang tuanya kurang
mampu, cukup lah puas dengan bekerja sebagai honorer di kantor-kantor
pemerintahan, melamar pada kantor Bank terdekat yang sedang membuka kesempatan
berkarir tanpa ada lagi harapan untuk meningkatkan karir lebih tinggi. Yang
agak ironi kaum-kaum yang akhirnya kembali tanpa bukti nyata ini
(begitu diistilahkan) justru
tak pernah belajar dari kehidupan sebelumnya. Ada saja yang bertemu lawan
jenis, entah itu jodohnya atau bukan tetapi mereka melakukan kesalahan lain. Marriage by accident. Kondisi masyarakat
kita tidak akan membiarkan engkau berlama-lama dengan keadaan tersebut. Maka
menikahlah meskipun tidak yakin dengan pilihannya. Dan menjalani hidup
seterusnya. Penyesalan itu berkubang dan terkuak pada waktu-waktu tertentu.
Oleh karena itu, selingkuh menjadi masalah moral paling tinggi saat ini. Ralat,
mungkin sejak beberapa tahun lalu semenjak saya belum juga mengerti bahwa
lelaki yang memiliki anak lain di luar rumahnya berarti ia sedang berselingkuh. Dan keluarga termasuk sang isteri
berusaha keras menutupi aib tersebut dari telinga masyarakat demi menghindari
gunjingan sengit.
Kategori paling
parah di semester ini adalah mereka yang membiarkan dirinya dikalahkan waktu
dan jaman yang terus berubah. Santai seperti di pantai, selow semacam di
pulau. Berakhir pada DROP OUT, tidak berguna serta menambah
angka pengangguran bangsa. Ada banyak yang seperti ini, beberapa saya kenal
dengan baik dan mereka tetap dengan cara berpikir yang memang seperti itu. Malas
dan acuh tak acuh. Bak simalakama, mereka terus saja berada ditengah
kebingungan menentukan nasibnya sendiri.
Saya akan
mengakhiri tulisan panjang ini dengan sesuatu yang sarat akan makna bahagia
bagi masyarakat kebanyakan. Mereka ini yang mengukir prestasi dan memberikan
momen tak terlupakan bagi orang tua, keluarga dan para sahabat. Gambar-gambar
mereka akan terpampang penuh wibawa berbalut pigura menawan di ruang tamu,
ruang makan bahkan kamar kedua orang tua. Mereka menjalani perjuangannya sejak
semester awal hingga semester uzur dengan cara yang gigih dan elegan. Yang
tentu saja membikin iri sebagian mereka yang terjebak pada semester bingung,
semester cinta dan semester egois. Mereka kembali dengan senyum terkembang dan
bahu serta dagu yang terangkat sempurna. Kekurangan dari kalangan ini adalah
mereka tak cukup mengalami guncangan sebab jaminan dari orang tua dan kehati-hatian
mereka menghindari masalah. Sehingga terkadang mereka begitu bagus di kertas
namun tidak dengan kepribadian mereka. Begitu taat pada garis nasib yang telah
umum terjadi. Kembali ke kampung halaman, meneruskan usaha orang tua atau
melamar pekerjaan. Sasaran pekerjaan yang paling banyak diincar adalah Pegawai Negeri
Sipil. Tunjangan pensiunnya memastikan kehidupanmu aman dan nyaman hingga titik
darah penghabisan. Dua atau tiga tahun kemudian, mereka akan menemukan pasangan
hidup yang diyakini adalah jodohnya. Mengurus pernikahan, mengundang banyak
orang, menghabiskan banyak biaya karena rasa syukur luar biasa. Menghasilkan
generasi penerus yang akan melakukan pengulangan yang persis seperti telah mereka
lakukan. Lahir, sekolah, menikah dan punya anak. Solusi untuk masalah hidup
sudah tertera pada buku panduan keluarga. That’s
all. Perfecto!
Lalu, apa
sebenarnya yang ideal bagi manusia dalam prosesnya menemukan jati diri serta
memaknai hidup? Jawabannya bukan dari siapa pun. Tapi dari diri kita sendiri.
Yang pasti, merantaulah agar kamu tahu bagaimana sedapnya Mie
Instan paling terkenal dari Indonesia di tanggal tua atau lelahnya diusir tuan kos karena telat membayar tagihan
kamar. Sebab, rumah akan selalu menjadi tujuan akhir. Sejauh mana pun kita
melangkah.
Tetap cool dan
nikmati hidup
0 komentar: