KETIKA BAPAK HILANG

Kamis, April 10, 2014 Pankratia Da Svit Kona- 0 Comments

*Tulisan lama yang Baru saja di Posting*


Lukas melepas celananya yang basah setelah sekian lama terendam air sungai yang dingin di musim hujan nan kuyup. Hampir lima jam Ia menghabiskan waktu bersama kawan-kawannya bermain selepas pulang sekolah. Dan kini yang terjadi, Ia mulai menggigil kedinginan dengan jemari yang mulai pucat keriput karena terendam air. Bergegas Ia mendekati tungku yang sedang menyala membara, perasaan hangat menjalar seketika pada tubunya. Beberapa saat kemudian Mama telah berada disampingnya sambil memperbaiki letak kayu bakar supaya tetap menyala mekar.

“Darimana saja kau? Jam begini baru pulang?” Tanya mama

Lukas menyeringai, dalam temaram dapur seringaiannya terlihat menyebalkan. Hal ini membuat Mama bingung dan kesal sehingga menghardiknya

“Pergi pake baju sudah sana, besok kau tidak bisa sekolah kau lihat memang”

Lukas yang sudah kembali pulih dari rasa dingin yang membuatnya keriput lekas bangkit dan berlari kedalam kamar untuk berpakaian. Diluar rintik hujan mulai menggerogoti atap ilalang rumah yang perlahan meranggas akibat terlalap musim yang tak pernah pasti.

***

Lukas adalah satu-satunya putra, tunggal, dari Bapak Petrus dan Mama Ance. Kelakuannya yang aduhai mestilah ditoleransi karena usianya yang baru mendekati tujuh. Lukas sekeluarga menempati sebuah rumah sederhana beratap alang-alang di lingkungan Desa Pemo, sepersekian langkah dari Danau Kelimutu. Disekitarnya bertaburan hutan pinus dan pepohonan yang sulit namanya disebut.

Danau Kelimutu merupakan danau yang indah bahkan sudah terkenal ke seluruh penjuru dunia dan masuk dalam tujuh keajaiban dunia (beberapa dekade yang lalu). Air danau Kelimutu memiliki beberapa warna, ceruk-ceruknya dalam mengandung belerang yang berasal dari letusan gunung berapi sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Ada banyak legenda yang melatarbelakangi fenomena Danau Kelimutu dan Bapak Petrus, Ayah Lukas merupakan salah seorang pencerita yang handal. Pernah sekali waktu, Lukas dan kawan-kawannya menghabiskan malam yang panjang mendengarkan sebuah legenda tentang seorang suami yang nekat melompat kedalam danau demi menemukan isterinya yang telah meninggal dunia karena dipercaya oleh masyarakat setempat bahwa manusia yang telah meninggal dunia tempatnya ada didalam danau tersebut.



Danau berwarna hitam (tiwu ata bupu) adalah tempat bagi orang-orang tua, danau berwarna hijau (tiwu ko’o fai nuwa muri) adalah tempat bagi para muda/I dan danau berwarna merah (tiwu ata polo) adalah tempat bagi mereka yang selama hidupnya melakukan hal-hal yang menyimpang seperti tenung, sihir dan sebagainya. Dalam bahasa setempat “Polo Wera” atau “suanggi” (kalo di bali : Leak)

Semalaman mereka dibuat bergidik membayangkan kejadian yang sebenarnya, mata mereka dibuat benderang karena takut bermimpi yang bukan-bukan. Tentu saja hal ini menimbulkan geli bagi Bapak Petrus dan Mama Ance yang akhirnya bekerja extra demi merayu anak-anak ini tidur. Kawan-kawan Lukas memilih menginap saja di rumahnya ketimbang pulang dan mengambil resiko bertemu sesuatu di jalanan pada malam gelap buta.

***

Hari ini Lukas bersemangat, sekolahnya akan mengadakan panen jeruk. Semua siswa/inya diajak bersama-sama memanen jeruk di kebun belakang sekolah setelah jam istirahat pertama. Itu artinya sekolah hanya diadakan setengah hari saja. Lukas dan kawan-kawan dapat menghabiskan jeruk semampu mereka hingga puas dan sakit perut. Bapak Petrus juga akan memanen jeruk di kebun mereka yang berdekatan dengan Danau Kelimutu. Sejak pagi beliau sudah berangkat seorang diri, hasil panenannya akan dijual saat rega nanti (*rega : hari pasar). Lukas berniat membantu bapak setelah pulang sekolah nanti.
“Mama, sa pi sekolah dulu” Lukas berteriak pamit pada Ibunya.

Diluar telah menunggu Ebit dan Anis, sahabat-sahabat Lukas yang tidak pernah melewatkan harinya tanpa kehadiran Lukas.

“Ho, mbana si..mawe-mawe…” Mama Ance membalas salam Lukas dari dalam rumah
(*Iya, jalan sudah. Pelan-pelan)

Pada saat rumah begitu senyap, seisi kampung sibuk barjamaah di kebunnya hanya keretak kayu bakar yang mengisi suara-suara siang dan Mama Ance pun tenggelam dalam kesibukannya menyiapkan makan siang bagi Bapak Petrus di ladang. Siang nanti setelah Lukas pulang dari sekolah, Mama Ance akan mengajak putranya mengantarkan makan siang sekaligus membantu sang suami memanen hasil jeruk mereka.

***

“Mama….”

Jika suara Lukas terdengar membahana didepan rumah maka pertanda sekolah telah usai. Lukas tidak pernah membolos, Ia sangat menggandrungi sekolah bahkan saat kondisi tubuh melemah tak memungkinkan atau cuaca tak bagus dan jalanan berbahaya karena jalanan di kampung belum di aspal bagus. Lukas tetap akan berangkat ke sekolah dan menantikan jam-jam dimana Ia bersama kawan-kawan dapat duduk manis mendengarkan sang guru menceritakan dunia.

“He, kau su pulang?” Tanya Mama Ance kepada Lukas

“Iya. Jadi ke kebun tidak kita?”

“Jadi, kita makan di kebun saja e? Kau sudah lapar?”

“Belum. OKE BOS” sambil berucap demikian , Ibu Jari Lukas mengacung tinggi-tinggi ke arah Mama Ance. Melihat tingkah pola anaknya Mama Ance hanya bisa tertawa.

***

Hari beranjak siang dan kabut perlahan turun diantara ranting-ranting pinus yang bercabang liar. Sejauh mata memandang hanyalah warna putih yang menyelimuti dan perasaan dingin yang menggigil. Mama Ance mengencangkan sarungnya sehingga lebih mudah berjalan, didepannya Lukas dengan lincah berloncatan melewati semak belukar. Cuaca di pegunungan memang selalu tidak menentu, di siang hari sekalipun yang semestinya panas terik justru sebaliknya kabut mengencang dengan pongahnya.

Lukas mempercepat langkahnya, Ia tak sabar ingin berjumpa bapak. Beberapa saat kemudian, mereka telah tiba di tujuan. Kebun tampak lengang, dari pondok tempat bapak biasa beristirahat tampak asap membumbung. Sepertinya beliau sedang membakar sesuatu, entah ubi, kentang atau sejenisnya. Lukas bergegas menuju pondok sambil berteriak memanggil bapak.

“Bapa.. bapa.. kami ra’I do” (*Bapak, kami sudah datang)

Tidak ada sahutan dari dalam pondok maupun dari sekitaran kebun, Mama Ance masih berdiri sesekali mengamati palawija yang ditanam disamping pondok. Mama Ance seperti merasakan diam yang aneh, firasat buruk kemudian menghampirinya. Mama Ance menyusul Lukas ke pondok. Didalam pondok tidak tampak seorang pun kecuali tungku api yang masih menyala terang dengan onggokan ubi jalar disampingnya yang sepertinya hendak dibakar. Kain sarung bapa tergeletak begitu saja di bale-bale. Mama Ance keluar dari pondok dan mulai berkeliling menyusuri kebun. Diikutinya jejak sepasang kaki yang diduga adalah kaki suaminya. Jejak kaki itu berakhir di semak-semak yang ditumbuhi rerumputan dan semak belukar. Tiba-tiba Mama Ance menyadari Ia telah sampai pada batas hutan. Hutan hujan yang gulita meskipun hari tengah siang, hutan yang banyak menyimpan cerita dan mitos dan dipercaya oleh masyarakat setempat. Hutan itu keramat. Ada dunia lain disana yang tidak boleh disentuh kecuali ingin membahayakan diri sendiri. Mama Ance pucat pasi sementara Lukas mulai menangis, takut kehilangan bapaknya. Mama Ance lalu memeluk Lukas dan berkata,

“Mai si, kita walo ro. Kita nosi ebe gheta nua” (*Ayo, kita pulang saja dulu. Kita kasitahu orang-orang kampung)

Tergesa Mama Ance dan Lukas menyusuri jalan pulang. Tidak terasa lagi onak dan duri yang menggores kulit sepanjang perjalanan pulang. Pikiran keduanya saat ini hanya terfokus pada “Dimana Bapak?”

***

Eja Thomas saat itu tengah berkelakar ria dengan beberapa penduduk yang lain di bale-bale depan rumahnya, ketika Ia melihat dua sosok ibu dan anak yang berjalan tergesa-gesa menuju rumahnya. Setelah dekat barulah Ia kenali mereka adalah saudari dan keponakannya. Ance dan Lukas kecil. Lukas tampak menangis tersedu dan Ibunya begitu pucat pasi seperti ketakutan. Mama Ance menghampiri Eja Thomas begitu segera dan tanpa menunggu ditanya lagi beliau langsung memberitahu

“Petrus… Petrus ata polo sono” (Petrus, petrus disembunyikan suanggi)

Eja Thomas membelalak terkejut, sebagian yang juga ikut mendengarkan bergumam kaget. Setelah sedikit hilang keterkejutannya Eja Thomas pun bertanya

“Leka emba? Kau mbe’o leka sai me?” (*Dimana? Darimana kamu tahu bahwa dia disembunyikan?)

“gheta uma” (*Di kebun)

Saat mengucapkan kalimat ini Mama Ance tidak dapat menahan air matanya lagi. Ia menangis histeris. Eja Thomas pun langsung mengerti setelah mendengarkan kalimat penunjuk keterangan tempat tersebut. Semua orang kampung tahu jika kebun Bapak Petrus dan Mama Ance berbatasan langsung dengan hutan keramat. Beberapa kali mereka selalu diperingati agar memperhatikan hari dimana mereka berkebun karena ada saat-saat tertentu bisa sangat berbahaya sekali. Hal ini lumrah terjadi karena maklhuk-makhluk tak kasat mata tersebut sangat sensitif terhadap perubahan alam maupun lingkungan disekitar mereka. Untuk menandakan hal tersebut mereka akan melakukan hal-hal yang kadang tidak masuk akal bagi manusia.

Eja Thomas kemudian menghimbau kepada warga yang ada disitu agar mengajak warga lainnya khususnya kaum laki-laki untuk bersama-sama mencari Bapak Petrus sebelum hari beranjak sore dan malam menghampiri. Para kaum pria berkumpul di rumah Eja Thomas. Setelah mengadakan sedikit diskusi dan mengatur strategi mereka pun berangkat menuju kebun Bapak Petrus. Lukas merengek-rengek pada pamannya agat dia ikut mencari. Eja Thomas tidak dapat melihat kesedihan di mata bocah tersebut, Ia sangat menyayangi keponakannya itu maka Ia pun mengijinkan Lukas untuk turut serta mencari. Para warga menyisir seluruh kebun hingga jarak 200 meter setelahnya namun ketika mencapai batas hutan keramat, langkah mereka terhenti. Tidak sembarangan orang dapat masuk kesana tanpa persiapan terlebih dahulu. Segala tumbuhan dan makhluk yang ada didalamnya begitu purba dan terjaga sejak lama, seperti bahasa alam yang tidak bisa dibahasakan ataupun dijelaskan. Itulah kepercayaan dan hukum antara manusia dan alam. Beberapa warga menanyakan pendapat Eja Thomas.

“Bagaimana ni? Kita tidak mungkin masuk kesana tanpa persiapan”

Eja Thomas terdiam, beliau tampak berpikir keras dan akhirnya memutuskan.
“Baik, kita pulang saja dulu. Kita lapor Mosalaki. Semoga Beliau bisa kasih petunjuk”
(*Mosalaki : Pemimpin/Tetua Adat)

Rombongan kembali ke kampung dan langsung menuju Sa’o Ria (*Rumah Besar tempat Mosalaki berdiam). Terjadi perbincangan serius antara para lelaki dan Mosalaki. Pada akhirnya diputuskan akan diadakan upacara “Pati Ka Ata Mata” (*Memberi makan/sesajen bagi para leluhur). Dengan cara ini Mosalaki yakin para leluhur akan memberikan petunjuk/jalan keluar atas peristiwa yang tengah menimpa warga desanya. Upacara akan diadakan keesokan hari.



***

Bulan tampak kesiangan diatas pucuk menara Sa’o Ria. Lukas telah terjaga sejak tadi. Ia memilih duduk terpaku di sudut Sa’o Ria sambil menunggu Pamannya Eja Thomas terbangun dan segera meminta Mosalaki melaksanakan upacara. Lukas mulai frustrasi karena tidak bertemu bapak lebih dari sehari. Ia merindukan bapak.

“Hei Lukas, kau sudah bangun?” Eja Thomas menepuk bahu Lukas lalu memeluknya.

“Tenang, kita pasti menemukan bapa”

“Hari ini juga? Bisa?”

“Semoga saja”

Lukas tertunduk lesu mendengar jawaban pamannya yang tidak pasti. Ini akan menjadi hari yang panjang baginya.

Pukul 10.00 pagi, Mama Ance telah bergabung bersama Lukas, Eja Thomas dan beberapa warga yang berdatangan. Mama Ance membawa dua ekor ayam kampung masing-masing berwarna hitam dan merah. Kemudian ada beras merah, telur ayam kampung, sirih pinang, kapur sirih dan sebotol Moke (*Moke : Minuman Keras orang Ende Lio). Sementara itu, Mosalaki telah mempersiapkan beberapa perlengkapan demi berjalannya upacara tersebut. Setelah melewati sesi konsultasi yang panjang dan rumit antara Mama Ance, Eja Thomas dan Mosalaki maka upacara pun dilaksanakan. Terlebih dahulu Mama Ance memasak segala bahan makanan yang tadi telah dibawa termasuk Ayam. Berasnya harus ditanak didalam bambu sesuai tradisi masyarakat Lio.

Pukul 12.00 siang semua kebutuhan upacara termasuk makanan telah lengkap. Mosalaki menghamparkan semua sesajen diatas sebidang batu datar didepan Sa’o Ria. Kemudian sambil merapalkan mantra dia meminta semua warga yang ada disekitarnya turut serta berdoa agar diberikan petunjuk oleh leluhur dan semesta. Selesai upacara dilakukan tidak otomatis petunjuk didapatkan. Mosalaki harus menunggu waktu semalam lagi untuk didatangi leluhur yang dipercaya akan memberitahukan langkah selanjutnya.

***

Pagi-pagi sekali, Eja Thomas, Lukas dan Mama Ance serta beberapa keluarga dekat mereka telah mendatangi Sa’o Ria. Berharap Mosalaki telah mendapatkan petunjuk. Mosalaki dengan luka lesu kebesarannya duduk berhadapan dengan Mama Ance, Lukas dan Eja Thomas. Beliau kemudian berbicara

“Ada kesalahan kecil yang sudah keluarga ini lakukan sehingga leluhur menjadi marah dan memerintahkan makhluk-mahkluk itu menyembunyikan Petrus. Beberapa hari yang lalu, saat Lukas dan teman-temannya bermain di pinggir sungai. Apakah benar?”

Mama Ance dan Eja Thomas beralih melihat Lukas, saat itu Lukas mengangguk mengiyakan. Kemudian Mosalaki berbicara lagi.

“Nah, kalian tidak hati-hati. Kalian mengambil paksa beberapa tanaman yang seharusnya tidak boleh kalian ambil di hutan. Leluhur tidak memberitahukan tanaman apa itu namun karena kelakuan kalian, kehidupan makhluk disana menjadi terganggu oleh karena itu mereka marah sekali. Mereka menyandera bapamu supaya kamu dan teman-temanmu menyadari kesalahan kalian dan berjanji tidak akan melakukannya lagi.”

Lukas terdiam. Ia tiba-tiba teringat beberapa hari yang lalu saat menghabiskan waktu bermain di sungai bersama kawan-kawan. Mereka mematahkan beberapa ranting pepohonan yang mereka sendiri tidak ketahui namanya, namun pohon itu memiliki daun yang lebar dan batang yang a lot sehingga dapat dipakai sebagai perahu-perahuan di sungai. Tanpa Ia sadari, pohon itu adalah tempat tinggal beberapa makhluk penjaga hutan. Pohon itu sudah seperti rumah mereka sehingga saat ada orang lain yang tiba-tiba mengusiknya mereka menjadi sangat marah sehingga menculik bapak petrus. Mosalaki kembali berbicara

“Untuk menebus kesalahan kalian dan agar bapamu bisa kembali lagi, kalian harus mengadakan upacara sekali lagi di perbatasan hutan. Sesajennya masih sama seperti kemarin. Kita akan melakukan itu sore ini pukul enam di kebun kalian. Semoga saja bapamu akan dikembalikan dan masih dalam kondisi baik-baik saja.”
Mama Ance menarik nafas panjang, Eja Thomas menyampaikan terima kasih yang mendalam kemudian pamit untuk segera menyiapkan perlengkapan upacara.

***

Sore beranjak remang, dengan dibantu cahaya dari obor bambu rombongan yang terdiri dari Mosalaki, Eja Thomas, Mama Ance, Lukas dan keluarga terdekat mereka menuju ladang di kaki Danau Kelimutu. Dari kejauhan, Danau Kelimutu seperti tembok alam raksasa. Matahari sebentar lagi menghilang dan bebintang mulai menghiasi langit, bulan merangkak perlahan dengan cahanya yang hangat. Tepat pukul enam sore, waktu yang dipercaya adalah waktu peralihan antara dunia siang dan dunia malam, upacara dimulai. Mosalaki kembali menghamparkan sesajen di atas batu datar di pinggiran ladang yang berbatasan dengan hutan. Beliau merapalkan mantra dan melihat ke sekeliling. Sesekali Mosalaki memejamkan matanya dan mengarahkan kepala ke langit seperti memohon. Selang beberapa saat kemudian, munculah sebuah bayangan diantara semak-semak dari arah hutan. Bapa petrus terlihat kuyu dan berjalan terhuyung-huyung menghampiri mereka. Seketika Lukas berteriak kencang sambil menangis

“Bapa…. Ampun bapa, Lukas yang salah…”

Bapa Petrus tidak berkata apa-apa karena tidak memiliki tenaga lagi, beliau hanya memeluk Lukas dan Mama Ance erat-erat.

***

Lukas menemukan keceriaannya kembali, keluarganya telah utuh sebagaimana semula. Sejak hari itu, Lukas berjanji dan memperingati kawan-kawannya agar tidak sembarangan memotong, mencabut atau merusak tumbuhan dan segala hal yang terdapat di hutan melainkan kita harus bersama-sama menjaganya, memeliharanya agar tidak punah ataupun rusak karena bagaimanapun juga Manusia dan Tumbuhan serta Alam sekitar memiliki ikatan yang kuat yang tidak kita sadari saling melindungi satu dengan yang lainnya.


*LOMBA MENULIS PERHUTANI
Mungkin Tulisan ini gagal karena keterlambatan saya mengirimnya akan tetapi saya berharap tujuan dan isi tulisan ini bermanfaat. GO GREEN, SAVE OUR EARTH \m/



0 komentar: