Dari Sebuah Kematian
*Untuk MUDAers NTT Menulis :)Aku mematung lesu pada lapis tembok bercat kuning kusam kamarku, masih sehari lagi khabar diterimanya aku atau tidak pada Liga Pendidikan Indonesia yang aku ikuti. Dan handphone itu masih terus saja menggeliat sejak tadi. 5 Message received! Yah bahasa-bahasa pelipur lara itu lagi. Tiga bulan belakangan ini aku memanen kalimat-kalimat penguatan tersebut dengan ketegaran yang kugigihkan. Mereka hanya tidak cukup tahu bahwa sebenarnya aku cukup paham
‘manusia sekarat yang menunggu berganti wujud menjadi bisu kaku, itu disebut mayat dan kemudian kita kenali itu sebagai kematian’
Ibuku sekarat!
***
Pukul lima pagi aku terjaga, butir-butir keringat membuat spreiku sedikit lembab. Yah aku tertidur tanpa baju lagi, itu biasa terjadi jika aku melewati malam yang panjang. Handphoneku lagi-lagi bergaung memaksaku harus segera menjawab telephone.
“yah, hallo..”
Suara paruh bayah yang kukenal sebagai dengung suara ayah kini menjejali telingaku.
“sore ini ke Surabaya yah, sepertinya sudah tidak lama lagi”
Bahuku mengeras, juga rahang dan perutku. Hampir saja baterey handphone menyeruak dari cashingnya jika genggamanku tak kulonggarkan. Ah persetan dengan LPI.
“Yah, Pa”
***
Ia terbujur letih, hampir setahun ini. Wajahnya tirus menguning dan rambutnya perlahan habis. Tiga bulan lalu masih sempat Ia kubawa berkeliling kampung halaman di Flores bersama Ayah. Wanita itu, Ibuku. Ia tak pernah sekalipun mengeluh dan merasa menderita. Bahkan ketika banyak orang bertandang ke rumah dan bertanya basa/i
“Sakit apa, Bu?”
Dari tempat tidurnya sendiri, Ia akan menjelaskan dengan lugas apa yang sebenarnya Ia alami meski patah-patah. Kanker rahim yang mengganas. Jadi perempuan itu luar biasa.
Ia tak akan memaksa orang lain repot memikirkan kehidupannya selagi Ia masih mampu memikirkannya sendiri. Aku bangga jadi laki-laki yang keluar dari rahimnya. Kesendirianku sebagai putera satu-satunya tidak pernah membuatku besar kepala dan merasa istimewa sebagaimana tradisi orang tua yang memiliki anak tunggal justru aku diperlakukan sebaliknya. Hidup keras, nak.
***
Ubung sore ini, lengang. Mengantri tiket lalu duduk sendiri di Ruang Tunggu sambil memikirkan satu anggota keluarga yang sekarat dan dia IBUKU. Bukanlah situasi yang menyenangkan. Kusarankan sebaiknya bawalah bahan bacaan jika kau suka membaca, perhatikan lebih banyak orang jika kau suka mempelajari gerak/ik dan karakter manusia, berusahalah menikmati tayangan apa saja yang ditayangkan di Televisi Ruang Tunggu atau bawalah MP3 Player yang berisi music seleramu. Mungkin saja lumayan ampuh meringankan kegalauan stadium menakutkan seperti yang sedang aku alami sekarang. Sayangnya semua saran diatas tidak tidak samasekali berlaku untukku saat ini. Waktu seperti lama bergerak.
***
RKZ Surabaya pagi ini, riuh gawat sebagaimana Rumah Sakit dimana saja. Sudah dari tiga jam lalu hampir 30 pesan menjadi penghuni baru inbox handphoneku dengan isi yang semuanya nyaris sama.
“Yang tabah yah, Fon”
“Berpikir bahwa ini yang terbaik untuk Ibumu
“Tuhan selalu tau yang terbaik untuk hambanya”
Dan 15 panggilan tak terjawab yang sengaja tidak ku acuhkan. Aku bukan muak, aku hanya sedang bingung – kacau, ngantuk dan sedikit letih. Tepat pukul sembilan ku masuki Ruangan berisi jasad-jasad manusia itu, dan disana Dia. Membisu dan mengeras. Pakaian adat sikka menempel longgar membalut tubuhnya yang ringkih. Aku harus apa. Menangis sajakah? Kurasa wajar tapi tak sekarang, saat Ayah datang dan memelukku sambil membisikkan sesuatu
“Ia tak mau menunggumu, Ia tak mau melihat kau sedih akan kesakitan yang Ia alami. Maafkan Ibumu”
***
Bandara Selaparang senja ini menghitam. Pandangan mataku mengabur. Berbagai ucapan dukacita datang dari segala penjuru, Ayah memelukku erat. Sepupu-sepupuku akhirnya berhasil mengeluarkan Jenazah Ibu dari Cargo Pesawat. Iringan berjalan lambat menuju rumah. Wah semua sudah dipersiapkan! Tenda besar dan kursi-kursi didepan rumah, lahan parkir di halaman tetangga yang sukarela diberikan. Sebuah baliho besar berisi Jadwal doa hingga Misa Requim serta Pemakaman dan Malam ketiga dengan latar belakang Photo Ibu. Juga baju hitam ber-sablon wajah Ibu yang akhirnya diberikan padaku satu untuk kupakai.
“jangan membuat kematianku sebagai sidang perkabungan yang penuh rintihan dan dukacita. Aku ingin semuanya meriah layaknya sebuah pesta. Semua harus menerima ini sebagai kehidupan baru bagiku.”
Ingatanku masih jelas!
***
Kawan-kawan kuliahku dari Bali tiba malam itu. Mereka berdua belas, sahabat-sahabat seperjuangan yang tak mengenal jarak dan waktu yang diistilahkan ‘sempat’ mereka hanya mengenal ‘keharusan untuk melawatiku.’ Aku tak sendiri!
***
Dan siang ini, tak ada awan hitam atau duka mendalam. Semua mengangkat dagu tinggi-tinggi dan dengan ikhlas berucap
“Selamat Jalan Mama Yovita, Semoga Engkau tenang disana dan senantiasa mendoakan kami di Bumi, Amin
***
#In Memoriam
R.I.P Mama Yovita Marcelina Balela
Lombok, 27 June 2011
For Me : She is a Senior of Strong and Independent Woman. Proud to know her, though only through stories :)

0 komentar: