TIWU SORA

Senin, November 26, 2018 Pankratia Da Svit Kona- 0 Comments



(Sebuah Legenda)
Ditulis ulang oleh: Maria Pankratia



Agar tetap waras. Ilustrasi: Oan Wutun


Dahulu kala, di sebuah desa hiduplah seorang laki-laki paruh baya bernama Sora. 

Sora dan keluarganya hidup berkecukupan. Semua harta yang ia peroleh, selain karena Sora rajin bekerja, Sora juga memilik tanah garapan yang sangat luas. 

Jika dibandingkan dengan tanah milik warga sekampung, tanah garapan warisan leluhur Sora adalah yang terluas.

Sora memilik sebidang tanah kosong yang letaknya cukup jauh dari ladang yang lama. Tanah kosong itu, bersisihan dengan sebuah aliran sungai yang mengalir. 

Penduduk setempat menyebutnya dengan Kali Lado. Meski tidak begitu besar, sungai itu berlimpahan udang, belut, kepiting dan ikan. 

Sora kerap kali menghabiskan waktunya di Kali Lado. Pagi hari sebelum bekerja, juga ketika senja tiba setelah ia bekerja. 

Sora akan membersihkan badan atau sekedar mencuci muka dan kakinya di Kali Lado. Sesekali ia menaruh jaring penangkap sebelum mulai bekerja, kemudian diambil saat sore hari, sebelum kembali ke rumah. 

Pada musim hujan, kepiting dan udang besar akan sangat banyak terperangkap di jaring yang ia pasang.

Sebagaimana kebiasaan membuka lahan baru, pepohonan harus ditebang dan semak harus dibersihkan kemudian dibakar. 

Oleh karena itu, waktu yang tepat untuk membuka lahan baru, adalah pada penghujung musim kemarau. Saat tumbuhan dan semak sangat kering sehingga mudah dibakar. 

Kemudian, hanya menunggu musim hujan tiba, bibit tanaman pun siap disemai. Jagung, ubi, palawija, kacang-kacangan, dan padi ladang. Sora juga menanam talas di dekat tebing sungai.

Tanaman tumbuh subur di lahan baru itu. Menjelang bulan ketiga, semua bibit yang ditanam nampak mulai bertumbuh besar. 

Padi mulai berbuah, jagung tumbuh tinggi dan berbuah besar, demikian pula dengan kacang-kacangan, ubi dan palawija. 

Sora sekeluarga pun lebih sering menghabiskan waktu di ladang, mengawasi tanaman-tanaman mereka. 

Tak ada hama yang menghampiri tahun ini, juga hewan-hewan seperti babi hutan, burung nuri dan burung beo yang suka merusak tanaman. 

Setiap hari, Sora bersama keluarganya menikmati hasil panen dari ladang mereka. Untuk hasil yang berlimpah itu, Sora dan keluarganya senantiasa mengucap syukur kepada alam semesta.

Sayang, semuanya tidak berjalan mulus seperti harapan Sora. 

Suatu ketika, seperti biasa, Sora dan keluarganya saling berbagi tugas. Istri dan anak-anak Sora bertugas untuk memetik jagung dan kacang. Sora sendiri menuju tebing sungai untuk memeriksa rumpun-rumpun talas yang telah ia tanam. 

Betapa terkejutnya ia, ketika menemukan rumpun-rumpun talas yang mulai berisi menjadi berantakan, tercabut hingga ke akar-akarnya. Ia menduga ada babi hutan atau hewan lain yang merusak talas-talas tersebut. 

Sora segera memeriksa sekeliling lahan dengan cermat, tetapi tak tampak jejak babi hutan atau hewan lainnya di sekitar rumpun talas. Sora menjadi begitu geram. 

Namun, ia berusaha tetap tenang dan menahan amarahnya sebab senja telah tiba, dan hari akan beranjak gelap. Ia dan keluarganya harus kembali ke rumah. Sora memutuskan akan kembali besok dan mencari tahu penyebabnya.

Sepanjang malam ia berpikir keras. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, mungkinkah yang merusak rumpun-rumpun talasnya itu adalah tikus, tupai, atau seperti yang ia duga sebelumnya, babi hutan?

Akan tetapi jika memang hewan-hewan itu yang merusak tanamannya, mengapa tak ada satu jejak pun di sana?

Keesokan harinya, pagi-pagi benar, Sora berjalan kaki menuju ladangnya. 

Sesampainya di ladang, Sora menghampiri rumpun talas di tebing sungai itu. Tampak umbi dan akar-akar talas raib tak tersisa. 

Dengan teliti, ia perhatikan tiap sudut ladang. Semakin lama ia perhatikan, ia menemukan sebuah tanda, yang entah apa tetapi cukup mencurigakan. 

Sora kemudian memutuskan untuk beristirahat sembari memikirkan ide yang tepat untuk menangkap sang pelaku.

Ketika beristirahat, muncul sebuah gagasan, ia memutuskan untuk membuat perangkap besar di sekitar rumpun talas. 

Ia yakin jika dugaannya benar, besok pagi, ia sudah akan menangkap si pelaku yang merusak ladangnya, hidup-hidup. 

Siang itu juga, Sora mulai mengerjakan perangkap. Ia meletakkan perangkap yang ia buat di sekitar rumpun talas yang memiliki tanda khusus, yang ia temukan pagi tadi. 

Sore hari tiba, pekerjaan memasang perangkap telah selesai, Sora merasa puas dan kembali ke rumahnya. Ia berharap malam ini tak akan panjang sebab besok adalah hari yang ia nanti-nantikan.

Hari yang Sora nanti-nantikan tiba. Pagi-pagi buta, meski udara masih begitu dingin, Sora sudah beranjak dari rumah menuju ladang. Istri dan anaknya ia sarankan menyusul kemudian. 

Sora tiba di kebun saat matahari mulai bersinar. Sebelum menuju rumpun talas, terlebih dahulu ia memeriksa tanaman yang lain. Padi, palawija dan kacang masih utuh. 

Sora beranjak menuju rumpun talas, ia berjalan perlahan sambil terus memperhatikan setiap perangkap yang ia pasang. Tak ada hewan apa pun yang terjerat. Akan tetapi ada satu perangkap yang rusak. 

Sora yakin ada yang sempat berjibaku semalaman dengan jerat tersebut hingga akhirnya dapat lepas kembali. Di sekitar perangkap yang rusak itu, terdapat lendir yang sangat licin. Ketika Sora menyentuhnya, terasa lengket di tangan.

Sebagai seorang petani berpengalaman, Sora tentu belum putus asa, ia semakin yakin, sebentar lagi ia akan menemukan si pelaku. 

Sora memperbaiki perangkap yang rusak itu sehingga jadi lebih kokoh. Kali ini, ia menambahkan beberapa perangkap lain yang sama besar di sekitarnya, sehingga kemungkinan si pelaku tertangkap akan lebih besar. 

Tak lupa, ia tambahkan dedak padi dan umbi talas besar yang masih tersisa dari panen sebelumnya. 

Setelah merasa cukup dengan pekerjaan hari itu di rumpun talas, Sora bergabung dengan istri dan anak-anaknya untuk mengerjakan bagian ladang yang lain.

Daun-daun pohon kelapa yang mengering harus diturunkan, semak-semak yang mulai tumbuh lagi di antara tanaman harus dibersihkan. Mereka sekeluarga kembali ke kampung saat senja mengembang di ufuk barat.

Di rumah, semalaman Sora tak dapat memejamkan mata, bolak-balik di tempat tidur memikirkan makhluk apa yang akan ia temukan di perangkap nanti. 

Seperti hari sebelumnya, pagi-pagi benar Sora kembali ke rumpun talas di tebing sungai. Kali ini ia berangkat sendiri, tanpa istri dan anak-anaknya. Dari kejauhan, ia dapat memastikan sesuatu telah terjebak dalam perangkapnya. Ia kemudian berlari sambil berteriak, “Gena dowa!”

Sungguh tak dinyana, di dalam perangkap tersebut, sesuatu yang besar dan licin tengah bergerak buas hendak membebaskan diri dari cengkraman jerat yang menjebaknya semalaman. 

Sora terperanjat menatap seekor belut besar dan ganas, bermandikan lendir di sekujur tubuhnya, meronta ingin melepaskan diri dari perangkap. 

Sora tak habis pikir, bagaimana mungkin ada belut yang besarnya hampir seukuran paha orang dewasa. Dan bagaimana bisa, belut itu terjebak ke dalam perangkapnya?

Setelah menenangkan diri cukup lama di tepi sungai, Sora kembali ke tempat perangkap berisi belut tadi. Ia mengeluarkan tali dan gelang kawat yang telah ia persiapkan dari rumah. 

Sora membuka pintu perangkap, kemudian mengalungkan gelang kawat pada tubuh sang belut melalui kepalanya. Tubuh belut itu diikatnya kuat-kuat dengan tali hingga belut tersebut tidak dapat bergerak. 

Setelah merasa aman dan siap, Sora mengisi belut tersebut ke dalam keranjang dan memikulnya kembali ke kampung. Belut itu luar biasa berat. 

Susah payah Sora memikulnya pulang. Di sepanjang perjalanan, Sora dibuat khawatir sebab si belut terus saja meronta hendak membebaskan diri.

Ketika tiba di kampung, di halaman Sa’o Ria, belut itu tidak tampak lemas, masih tetap segar. Sora  mengikat si belut pada sebuah pohon di halaman rumah adat mereka. Dengan begitu ia dapat memamerkan hasil tangkapannya kepada semua orang. 

Berita tentang Sora dan tangkapan belut raksasanya, tersebar begitu cepat. Tak butuh waktu lama, warga kampung berhamburan keluar rumah, berdatangan dari segala penjuru dan mengerubungi Sora untuk melihat belut besar itu. Meski telah diikat kuat-kuat, belut itu terus bergerak liar, meronta-ronta.

Berita tentang Sora dan belut raksasa tersebar semakin luas. Semakin banyak orang yang berdatangan hendak melihat belut yang tak berdaya itu. Penduduk dari kampung tetangga pun tak mau ketinggalan, menyaksikan keanehan yang terjadi di kampung Sora. 

Berbeda dengan para pria dan beberapa anak yang cukup berani mendekat, bahkan mengelus si belut. Tak sedikit kaum wanita yang berteriak ketakutan bercampur jijik melihat makhluk besar berlendir tergantung di pohon.

Malam itu, bulan bersinar temaram di atas kampung, Sora mengundang keluarga besarnya datang ke rumah. Beberapa lelaki dewasa duduk melingkar di halaman rumah. 

Di bawah sinar rembulan, mereka serius membicarakan kejadian aneh hari itu. Sementara kaum wanita, menanti dengan was-was sembari menjerang air panas untuk menyiapkan minuman. 

Dikelilingi lingkaran manusia, Sora bercerita tentang awal mula hingga akhirnya ia berhasil menangkap dan membawa pulang belut besar ke kampung mereka. 

Di tengah perbincangan, seseorang di antara mereka tiba-tiba menanyakan, apa tindakan selanjutnya terhadap belut itu? Apakah mereka harus membunuhnya atau dibiarkan begitu saja? 

Beberapa orang mengusulkan untuk membunuhnya. Beberapa yang lain, hendak melepaskannya. 

Di tengah perdebatan, muncul sebuah usulan agar tidak membunuhnya atau melepaskannya. Sebaliknya, mereka akan mengadakan sebuah pesta yang meriah dengan makanan, minuman, moke, dan tabuhan musik serta gawi sodha selama tujuh hari tujuh malam sebagai perayaan syukur. 

Ada beberapa orang tidak setuju dengan usul tersebut. Namun, setelah berembuk cukup lama, akhirnya diputuskan perayaan syukur tetap dilaksanakan.

Upacara pun dipersiapkan, kerbau, sapi, babi, kambing, ayam disembelih. Beras berkilo-kilo ditanak, minuman keras didatangkan dari tempat penyulingan terbaik. Alat musik dibunyikan, orang-orang mulai bersukaria. 

Semua orang di kampung diajak untuk memeriahkan perayaan syukur tersebut. Warga desa tetangga juga ikut hadir. Ata sodha terbaik, diundang khusus dari tempat yang jauh. 

Belut besar itu telah dipindahkan, masih dalam kondisi terikat, si belut diletakkan di tengah-tengah  lingkaran orang-orang yang sedang gawi sembari menenggak moke dan menyantap nake wawi.

Hari beranjak petang, kegelapan meliputi kampung. Obor-obor dinyalakan, mereka terus menari, bersukaria hingga pagi tiba. 

Beberapa orang yang mulai kelelahan, terlihat beristirahat. Sementara sebagian yang lain, yang masih bersemangat dan telah dipengaruhi minuman keras, tetap meneruskan tarian mereka. 

Mereka bertandak ria, memekik, tertawa dan berteriak sepuasnya. Demikian perayaan berlangsung sepanjang dua hari dua malam.

Memasuki hari ketiga, dari arah timur, matahari bergerak naik, orang-orang masih terus menari. Para pemuda dan pemudi saling bertukar selendang, melempar senyum menggoda satu sama lain. 

Mereka menari mengitari belut besar yang sedang terikat itu, seakan mengolok-olok kemalangannya yang hanya bisa menonton keriuhan di sekitarnya. 

Makanan dan minuman terus disuguhkan, semua orang tak terkecuali anak-anak, mabuk minum minuman keras. Menjelang sore, langit tiba-tiba berubah mendung. Di kejauhan, awan hitam menggantung pertanda akan turun hujan lebat.

Rintik-rintik hujan mulai jatuh, pakaian yang dikenakan mulai basah oleh air hujan yang bercampur keringat. Orang-orang yang menari tidak peduli, mereka terus menari, menenggak moke dan memekik kegirangan. Melihat itu, Sora pun berteriak,  ia bertanya kepada mereka, 

“Apakah kalian semua sudah lelah?”

Orang-orang itu menjawab serentak, “Kami belum lelah. Kami mau gawi, gawi dan gawi! Tuangkan kami moke dan berikan kami ruja ra, pesta ini tidak boleh berhenti!”

Demikian pesta terus berlanjut sesuai dengan permintaan khalayak ramai. Beberapa kali, Sora kembali menanyakan hal yang sama dan di setiap pertanyaan itu pula, Sora mendapatkan jawaban yang tidak berubah, mereka hanya ingin bersenang-senang, menari dan mabuk sepuasnya.

Hujan semakin lebat, guntur dan kilat bersahut-sahutan, angin bertiup kencang, orang-orang tetap menari dan memekik gembira. 

Perlahan air merayap naik pada pergelangan kaki. Sora juga mulai kehilangan keseimbangan karena terlalu banyak menenggak arak. Melihat air yang mulai tergenang Sora mengganti pertanyaannya, 

“Oiii, sudah sampai di mana airnya?”

“Ooo, baru sampai di pergelangan kaki,” teriak mereka serentak.

Sora menanggapinya dengan teriakan lagi, “Menarilah terus, kita gawi ma’e du’u!”

Hujan terus turun, lebat. Tak ada yang peduli, semua telah mabuk. Seperti orang yang kerasukan, mereka terus menari. 

Untuk yang kedua kalinya, Sora bertanya lagi,

”Deki emba dowa?”

Mereka menjawab, “Sudah sampai di lutut.”

“Apakah kalian mau berhenti?” tanya Sora lagi.

“Tandak terus, jangan berhenti!” jawab mereka dengan semangat yang tak berkurang sedikit pun.

Arak dan daging terus diedarkan. Tak peduli wanita maupun pria, semua mabuk sempoyongan. Sora bertanya lagi, yang ketiga kalinya, 

“Oiii semua yang menari, air sudah sampai di mana?”

Semua riuh menjawab, “Sudah di pinggang, menari terus!”

Hujan yang lebat, menyebabkan kampung kecil itu mulai tergenang. Banjir melanda, masuk hingga ke rumah-rumah dan tempat mereka sedang berpesta pora. Namun, orang-orang tersebut sama sekali tidak peduli. 

Karena mabuk berat, tak ada seorang pun yang menyadari bahwa hujan yang semakin lebat dan air yang mulai tinggi, membuat belut besar yang mereka kelilingi menjadi lebih leluasa untuk membebaskan diri. Dengan beberapa sentakan, tali-tali yang mengikatnya mulai longgar, terlepas begitu saja. 

Belut raksasa itu pun mulai berenang bebas di antara orang-orang yang menari. Sesekali ia meloncat ke permukaan, ia turut bergembira, seolah-olah memberi semangat kepada semua yang sedang menari agar jangan berhenti berpesta.

Sementara itu, orang-orang tua yang sejak awal tidak menyukai tindakan Sora terhadap belut besar yang ia jerat, dan keputusannya untuk mengadakan perayaan syukur tak masuk akal itu, mulai geram. 

Mereka mencium gelagat yang aneh. Cuaca semakin buruk. Banjir semakin besar. Sebentar lagi, kampung pasti akan tenggelam karena banjir.

Para orang tua mulai berteriak marah, mereka yakin para Dewa di tempat tertinggi sedang sangat murka akibat ulah Sora dan keluarganya, sehingga mendatangkan hujan yang lebat dan kampung kini dilanda banjir. 

Mereka memutuskan untuk mengambil sumpah dan memisahkan diri dari kelakuan orang-orang yang sedang berpesta pora itu. 

Dengan sendok bambu, mereka membuat garis sebagai tanda pemisah antara tanah yang sedang mereka pijak, dengan tanah tempat Sora dan orang-orang sedang menari. Mereka kemudian merapalkan sebuah mantra kutukan:

”Kami soke sa dowa kao ina, kami da gha, miu da gharu. Du’a Ngga’e pango no’o nia-nia, nggiu no’o iju-iju. Demi kora no’o bere soli mbebho  melo, gena du’a ebe eo sala ria leko bewa. Re’e mbana leka du’a ebe eo sala leko. Rembu tu leka ebe eo gebo lemo. Ebe ina sama ngere meto eo gebo goe.”

Yang artinya: “Kami menandai dengan sendok ini, kami ke sini, kamu ke sana. Dewa perhatikanlah wajah, batang hidung, sosok orang-orang itu. Jika bencana tanah longsor datang dan menghancurkan jagat raya, sasarilah mereka yang bersalah. Biarkan kemalangan menimpa orang yang bersalah. Hancurlah mereka yang nista. Mereka ibarat ulat yang busuk dan najis!”

Ada sebagian penduduk yang tidak ikut terlibat dalam perayaan, yang mulai berubah menjadi malapetaka tersebut. Kesadaran mereka masih penuh, sebab tidak ikut serta menenggak minuman keras, mereka hanya menonton orang-orang yang menari dan mabuk. 

Mereka kemudian berusaha untuk melarikan diri, saat banjir telah mencapai lutut. Akan tetapi, kutukan sudah mulai bekerja. Siapa yang melarikan diri dan masih berpaling ke belakang, seketika itu juga akan berubah menjadi batu. Di tengah kepanikan, beberapa dari mereka lupa mengindahkan kutukan tersebut, dan berubah menjadi batu.

Hujan terus turun dengan lebatnya, hari sudah malam dan kegelapan meliputi seluruh kampung. Tak ada lagi obor yang bisa dinyalakan, tak ada lagi cahaya apa pun. Banjir sebentar lagi akan mencapai tiang rumah. Meskipun demikian, orang-orang masih terus menari. 

Di tengah kesadaran yang telah menurun, Sora bertanya lagi, 

“Sampai di mana air naik?”

Mereka menjawab, “Sudah di pinggang, sedikit lagi naik ke perut. Ooooii ada yang sudah di dada hahahaha….” Demikian salah satu dari mereka berteriak sembari tertawa terbahak-bahak.

Sora yang mabuk menyuruh mereka untuk tetap menari, 

“Kalian sebaiknya menari terus, arak dan daging masih banyak, mari kita hangatkan tubuh dan makan daging sepuasnya. Pestaaaa….”

Semua orang bersorak membabi buta, meneriakkan arak dan nama Sora.

Orang-orang itu tidak tampak lelah sama sekali. Mereka seperti dikuasai kekuatan lain yang membuat mereka semakin liar dan tak terkendalikan. 

Mereka masih bertahan, berdiri melingkar dan menari. Tidak ada lagi yang memperhatikan belut besar, yang kini terus berenang, mengitari mereka. Sora berteriak lagi, 

“Sudah sampai di mana air naik?”

Mereka menjawab, “Sudah sampai di leher.”

Sebagian dari mereka sudah mulai kesulitan bernafas. Tetapi Sora menyuruh mereka untuk terus bergerak, menari dan bersukaria, 

“Teruslah menari, jangan berhenti!”

Semua orang telah kehilangan kesadarannya, mabuk arak bergelas-gelas dan daging yang tak terhitung banyaknya, yang terus diedarkan sejak dua hari yang lalu tanpa henti. 

Malam makin pekat, dari kejauhan guntur bergemuruh, kilat menyambar dan air yang turun dari langit tiada putusnya. Genangan air semakin tinggi, menutupi atap-atap rumah yang perlahan tenggelam beserta seluruh isinya. 

Kepala Sora masih menyembul di antara kepala orang-orang yang bergandengan tangan sejak hari pertama membentuk lingkaran dan menari.

Di saat-saat seperti itu, Sora masih sempat berteriak menanyakan hal yang sama, 

“A...i..r su...da....h sa...m...pa.....i di.... ma......na?”

Ini adalah suara terakhir yang terdengar dari Sora. Tak ada suara lain yang menyahutinya lagi, memberikan jawaban dan pekikan yang membakar semangat untuk terus menari seperti yang terjadi sebelumnya.

Sora dan keluarganya, orang-orang di kampung mereka, rumah beserta seluruh isinya, Sa’o Ria dan halaman luas, tempat mereka menari mengelilingi belut yang malang, serta warisan leluhur yang tertinggal, musnah tenggelam. 

Tak ada satu pun yang selamat, termasuk warga desa tetangga yang ikut memeriahkan perayaan Sora itu. 

Belut besar yang sejak tadi, tidak lagi menjadi pusat perhatian mereka, kini berenang ke sana dan ke mari menikmati tempat tinggal barunya. 

Si belut telah selamat dari jerat dan ancaman kematian, ia diselamatkan oleh keserakahan manusia.

Malam kian larut, dari langit, air masih terus tumpah, kilat menyambar dan guntur bergemuruh, genangan semakin tinggi tak menyisakan apa pun, kampung Sora menghilang menjelma Tiwu Sora.

-Tamat-

Tiwu Sora dalam bahasa setempat atau Danau Sora dalam bahasa Indonesia, terletak di sebuah desa, yang juga bernama Desa Tiwu Sora, Kecamatan Kotabaru, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hingga kini, masyarakat setempat menaruh kepercayaan bahwa belut-belut yang terdapat di Tiwu Sora adalah orang-orang Kampung Sora yang tenggelam ketika perayaan syukur tersebut. Jika tiba di Tiwu Sora dan air sedang jernih, kita akan melihat tumpukan kayu yang membentuk pola tertentu, seperti tiang-tiang rumah. Tak jauh dari danau, ada sebuah batu yang menyerupai seorang ibu sedang menggendong anaknya. Konon, batu tersebut adalah salah satu yang tertinggal akibat kutukan, seperti yang diceritakan.


Keterangan:
Tiwu                : Danau
Gena Dowa     : Sudah Kena (Tertangkap)
Sa’o Ria           : Rumah Besar, Rumah Adat
Gawi                : Tandak
Sodha              : Syair lagu dalam bahasa adat yang dinyanyikan secara akapela
Ata Sodha       : Penyair yang membawakan syair lagu dalam bahasa adat secara akapela
Moke               : Arak
Nake Wawi     : Daging Babi
Ruja ra            : bagian tertentu dari daging hewan yang diolah bersama darah hewan dengan perasan jeruk limau, cuka, garam dan lombok serta bumbu lainnya.
Gawi ma’e du’u           : Jangan berhenti tandak!
Deki emba dowa         : Sudah sampai di mana?

0 komentar: