Pulang ke Kotamu

Jumat, Maret 15, 2019 Pankratia Da Svit Kona- 1 Comments



*Cerpen ini tayang di Rubrik Inspirasi Pos Kupang, Edisi Minggu, 21 Oktober 2018



Matahari Terbenam 29/9/18 dari Jl. Wirajaya, Ende (depan Gereja St. Yosep Onekore) - dok.pribadi

Kota ini, tiba-tiba menjadi begitu syahdu, di tengah musim yang tak pasti. Angin bertiup kencang dari arah timur dan hujan mendadak tumpah-ruah semalaman di bulan Juni yang seharusnya melimpahkan sinar matahari.

Ia termangu di jok belakang sepeda motor tukang ojek yang ia sewa menuju jalan pulang. Di kejauhan kabut tebal masih menutupi puncak Gunung Wongge dan pendampingnya Gunung Kengo. Jika melihat bentangan alam ini, ia selalu teringat pada impiannya, ia tak akan pernah bisa mewujudkannya, mendaki jauh tinggi hingga ke puncak kedua gunung tersebut. Ada jarak yang tak mampu dibahasakan, tak hanya dari sudutnya memandang secara nyata, tetapi juga dari kedalaman pikiran dan hatinya yang kadang tak bisa ia jelaskan dengan leluasa. 

Hanya pernah sekali waktu, ia mencapai kaki gunung wongge, memanen jagung, membakarnya dan menikmati langsung di tempat, bersama kawan-kawan sepermainannya. Dulu sekali, saat kebebasan bukanlah sebuah perihal yang begitu sangat berharga. Hari-harinya adalah kesenangan belaka.

Ojek melintasi Jalan Wirajaya, sebuah jalan bertabur kenangan di mana seluruh waktunya sepanjang dua belas tahun dihabiskan. Dari seragam merahputih, lalu biruputih, dan akhirnya abuabuputih. Jika ditanya, apakah ia tidak bosan, menghabiskan hidup selama itu melalui jalanan dan lingkungan yang sama? Ia tak akan menjawab, sebagian besar karena ia lupa, lupa apa saja yang telah ia lakukan untuk menghabiskan waktu sebanyak itu pada lintasan yang itu-itu melulu.

Banyak bangunan sekolah berdiri di Jalan Wirajaya, mereka bertetangga dengan akurnya. Oleh karena itu, tidak heran, jika dua belas tahun, ia hanya berpindah gedung dan menyebrang dari sisi jalan yang satu ke sisi jalan yang lain. TKK, SD, SMP, SMA bahkan Perguruan Tinggi. Juga ada gereja dan masjid, biara bagi para pastor, bruder dan suster, yang terakhir cukup mencolok, Kompi Senapan C. Rumah-rumah penduduk, hanyalah sebagian yang menyempil di antara bangunan-bangunan penting tersebut.

Ia tidak ingin membayangkan masa-masa sekolah atau membahas perubahan yang terjadi dengan bangunan dan lingkungan sekolahnya. Ia terlalu sering bernostalgia tentang hal tersebut dengan sahabat-sahabatnya yang saban hari bertemu. Mereka menamai kegiatan tersebut, Reuni Daur Ulang, sebab terjadi terus-menerus dan mereka tak kunjung bosan menceritakan hal yang sama berulang-ulang. Sungguh konyol!

Kompi Senapan C, Lingkungan Angkatan Darat-Tentara Nasional Indonesia yang selalu berusaha ia hindari. Hingga saat ini, ia masih berusaha menemukan alasan, mengapa Ia sangat gugup ketika bertemu orang-orang berpakaian loreng sembari memanggul senjata itu, belum lagi sepatu mereka yang bisa melabrak kepala hingga terbelah dua. Ia teringat sebuah peristiwa, seorang kawan, ia lupa nama dan wajahnya, tetapi tidak dengan kisah yang masih melekat erat di kepala. Sesekali timbul ke permukaan ketika bertemu pemicu.

Senja itu, pukul delapan belas tepat waktu Indonesia tengah. Mereka berjalan kaki cepat agar segera tiba di rumah, setelah melewati sore yang melelahkan untuk menjalani persiapan Ujian Akhir Nasional di sekolah. Kebun belakang SD dan selokan yang mengalir di sepanjang lingkungan Kompi Senapan C, hanya dibatasi sebuah tembok batako yang mulai kusam. Saat melewati Gapura Depan yang bertuliskan Yonif 743-Kompi Senapan C, mendadak terdengar rekaman Lagu Indonesia Raya. Di kejauhan, bendera merah putih menukik turun, perlahan, pada sebuah tiang bercat putih dengan bantuan tiga orang tentara. Para lelaki berseragam itu sungguh gagah. Mereka kemudian mempercepat langkah. Tiba-tiba terdengar suara bentakan dari balik tugu di samping gapura yang bergambar dua prajurit tengah bertempur di medan perang. Rupanya pos jaga di belakang tugu tersebut, berpenghuni.

“Heh, berhenti! Kalian tidak lihat, itu bendera sedang diturunkan? Anak sekolah apa ini, tidak ada rasa hormat pada Bangsa dan Negara.”

Mereka terdiam di tempat, wajah keduanya pucat pasi. Ia menoleh, mendapatkan temannya menggengam buku dan pulpennya lebih kencang, seakan-akan ada yang akan merebutnya, demikian pula yang terjadi padanya. Ia membayangkan, mereka mungkin tidak dapat kembali ke rumah malam ini. Cilaka!

Lelaki bersepatu tinggi, berseragam kacang hijau, bersenapan dan mengenakan helm tersebut kembali membentak,

“Sikap siap dan hormat bendera! Lihat ke arah tiang di atas itu, jangan bergerak sampai lagu selesai.”

Mereka melakukan apa yang diperintahkan, dengan terbata-bata, karena bercampur rasa takut akibat membayangkan hal-hal mengerikan yang bisa terjadi kapan saja.

Ketika Lagu Indonesia Raya selesai dan bunyi yang datang dari pengeras suara menghilang, laki-laki yang memberi aba-aba tadi melihat tepat di mata mereka. Satu per satu dan berkata,

“Sekarang boleh lanjut jalan. Lain kali, kalau lewat di depan sini lagi dan pas bendera sedang dinaikkan atau diturunkan seperti tadi, berhenti dulu, sikap siap dan beri hormat macam tadi. Mengerti?”

“Mengerti, om.” Jawab mereka

“Apa? Ulang?” prajurit tersebut bertanya, memastikan

“Meeeeengeeeertttiiii, Oooom.” Jawab mereka tegas dan meyakinkan seraya menyembunyikan suara yang bergetar karena rasa takut yang masih bersarang

“Baek su. Jalan su. Hati-hati e, su gelap.” Demikian sang prajurit mempersilakan mereka berlalu pulang.

Setelah berjalan cukup jauh, ada sepuluh meter kira-kira, sang kawan memohon berhenti. Napas mereka terengah-engah, seolah tengah berusaha lari menjauh dari kejaran hantu.

Ja’o pu celana basah.” Ujar sang kawan

“Ha, apa?” Ia bertanya, memastikan telinganya tidak salah mendengar

Ja’o pu celana basah, ja’o kencing di celana ko. Ja’o takut ngeri tadi na.”

Ia terkesima. Yang terjadi selanjutnya, pantatnya bertemu tanah, ia terduduk dan ngakak sepuasnya. Sementara temannya berusaha menjepit paha yang lembab dan berbau pesing. Mbingu betul!

Ojek berhenti di lampu merah, di persimpangan jalan wirajaya dan jalan el tari, juga jalan menuju kantor pos (demikian mereka biasa melafalkannya sehari-hari). Jalan el tari kini telah menjadi dua jalur yang tak begitu sibuk. Di kiri-kanannya berdiri gedung-gedung kantor baru maupun juga gedung-gedung hasil renovasi dari bangunan kantor yang lama. Jika melalui jalan ini, ia terkenang pada dua ruang membaca yang tak pernah menolak kedatangannya dan kawan-kawan, ketika hari sabtu tiba atau pun hari-hari lain, di mana sekolah berakhir lebih cepat.

Bunyi bel pulang sekolah adalah seperti berkat yang dinanti-nantikan. Perjalanan sejauh tiga puluh menit, tidak lagi melelahkan ketika tiba di ruang membaca tersebut. Mereka menempuh jalanan yang lebih singkat, yang hanya diketahui tuan tanah setempat dan mereka, para penjelajah kebun dan lorong perumahan. Wangi lembaran buku dan majalah, cahaya ruangan yang memadai, membuat aktivitas membaca menjadi sangat menyenangkan. Sekarang, ruang membaca itu, tak ada lagi. Telah diubah sepenuhnya menjadi toko buku yang hanya dikunjungi sesekali oleh orang-orang yang membutuhkan buku. 

Sedangkan satu ruang baca lain, dulu menjadi bagian dari sebuah gedung perkantoran. Kantor tersebut kini berpindah lokasi, entah di bagian mana kota ini. Bersamaan dengan itu, ruang baca itu pun ikut menghilang. Dilupakan begitu saja. Kota ini tidak begitu antusias dengan Buku.

“Kaka turun di mana ni?” Suara tukang ojek memecah lamunannya

“Oh, itu, di depan rumah cat biru tuh. Turun di depan situ.”

Seperti biasa, larutan masa lalu begitu kental dan membuat lupa waktu. Ia turun, membayar ongkos perjalanan dan berusaha memijak kembali pada kenyataan. Sudah dua puluh tahun rupanya, semua begitu cepat berlalu.

Ende, Juni 2018



Keterangan
Ngakak           : Tertawa lepas
Mbingu           : (Ende, red) Gila
Ja’o                  : (Ende, red) Saya, Aku




Versi Koran



Versi digital Rubrik Inspirasi Pos Kupang 21 Oktober 2018

#latepost waktu itu senin pagi, saya bangun pagi dengan enggan karena tak tahu mau bikin apa di hari yang bagi semua orang adalah malapetaka kesibukan. Lalu, saya menemukan sebuah pesan dengan gambar Koran Pos Kupang ini sebagai salah satu informasi. Gambar kedua dikirim kemudian oleh teman yang lain. Saya selalu memiliki dua arsip ketika cerpen muncul di Koran. Dalam bentuk koran dan dalam bentuk digital.
Maksudnya biar pernah menulis untuk kampung halaman, kota kelahiran dan kenangan masa kecil dan dibaca Bapak sendiri. Hanya saja, apakah Pos Kupang hari kemarin sudah tiba di rumah?

Tepat SATU BULAN. Tanpa konfirmasi apa pun, tiba-tiba dapat kabar beginian dari kawan dan sudah lewat sehari. Okkay fainnnns.

Sepesial Danke dr. Ronald Susilo dan Mas Abu Nabil Wibisana 

1 komentar: