Seediq Bale

Senin, Agustus 20, 2018 Pankratia Da Svit Kona- 0 Comments






DAY 9

I've been invited by Dede Aton to publish a film-poster every day for ten days of a film that once impressed me. Only the poster, no further explanation, plus a nomination for a Facebook buddy to do the same.

(masih tersisa dua postingan lagi, saya tunda! saking bingungnya karena terlalu banyak list film bagus yang sudah pernah ditonton, dan juga karena ada satu film yang hingga beberapa jam yang lalu masih berada di daftar teratas wajib tonton)






Akhirnya. Setelah EMPAT TAHUN bolakbalik cari film ini. Yeah, usianya hampir mirip penantian saya terhadap EKTP yang tak jadi-jadi #MasihYah hahahaha

Saya tidak bisa membiarkan postingan ini hanya sekedar Poster saja, saya akan sangat cerewet untuk ini.

Mei 2014. Awal mula mengetahui judul dan trailer film ini, gara-garanya dikirimi soundtracknya lebih dulu. Di kali pertama mendengarnya, saya membayangkan hutan hujan belantara luas, sungai deras dan padang rumput luas, dan menangis. Aneh? Well yeah.

Yang kirim, sahabat baik saya, yang tak ingin namanya disebutkan. Biasanya, dapat info bagus begini, saya akan sangat penasaran dan mencari tahu segigih mungkin #serius.



Karena posisinya di Kupang, sementara saya masih di Bali, maka film tersebut tidak bisa saya dapatkan segera. Sempat ada ide, kirim flashdisk saja, wkwkwk tetapi tidak terlaksana juga.

Di masa itu, saya hanya kenal Indowebster dan URL film ini, tidak ada. Ke Toko Kaset, cari DVDnya, tidak ketemu.

2015. Pengumuman di Facebook, ada kawan di Lombok yang akhirnya mengirim pesan bahwa dia punya softcopy-nya. Tetapi, entah kenapa, setiap kembali dari Lombok, baru ingat bahwa filmnya belum di-copy. Huahahaha..sial.

Di tahun-tahun selanjutnya, saya masih terus mencari. Bertanya pada kawan yang gemar menonton atau koleksi film, siapa tahu ada, sambil menahan diri hanya menonton dari youtube sesekali potongan-potongan adegan filmnya.

Kemarin, lepas komen-komenan postingan lama di poster film “Burning-2018” di linimasa-nya Rusni Tage, saya iseng bertanya: “Kalau Seediq Bale, ko ada?”

Menn…. Awalnya doi bingung, karena ternyata saya sempat thypo ahahahaha.. doi muncul pakai judulnya yang in English: “Warriors of The Rainbow, ni kah?”

ADA!

Yah tentu saja seperti biasa, dengan sedikit songong (eh banyak kayanya), memamerkan koleksi-koleksi dan gaya klasifikasi filmnya yang tak biasa, siang ini, saya dikirimi link google drive-nya.

Senang dong.

Seperti biasa. Saya nonton sendiri. Dan saya buru-buru mengetik narasi begini panjang, setelah saya selesai menonton keseluruhan film dan behind the scene dari film luar biasa ini. Karena saya takut lupa, bagaimana kesan dan pesan yang luar biasa saya dapatkan dari PRODUKSI SEHEBAT “SEEDIQ BALE.”

Film epik drama sejarah Taiwan 2011 yang disutradarai oleh Wei Te-Sheng dan diproduksi oleh John Woo ini, ditulis berdasarkan pada Insiden Wushe 1930 di Taiwan tengah.

Saya kutip dari Fiksi Lotus, sekilas tentang Insiden Wushe:

Cerita rakyat ini berjudul 原住民英雄 atau “Pahlawan Aborigin” dan berasal dari Taiwan. Suku TaiYa adalah salah satu dari tiga suku yang tergabung dalam suku besar “Seediq” (kaum aborigin Taiwan). 

Suku-suku lainnya yaitu Toda dan Truku. Suku aborigin Taiwan merupakan bangsa Austronesia yang pertama kali menginjakkan kaki di pulau tersebut 8.000 tahun silam. Bahasa asli mereka memiliki rumpun yang sama dengan bahasa kepulauan di Asia Tenggara, seperti Melayu, Jawa dan Tagalog.

 Insiden WuShe” adalah kejadian nyata yang melibatkan perlawanan kaum aborigin Taiwan terhadap pendudukan Jepang pada tahun 1930an. Jumlah korban yang tercatat tidak kurang dari 900 anggota suku aborigin yang berdiam di daerah WuShe (Musha). 

Sebagian besar kaum perempuan dan anak-anak dari suku ini, memutuskan bunuh diri ketika kaum lelaki pergi berperang melawan Jepang. Bagi mereka, kehormatan adalah hal terpenting dalam hidup. Pertempuran adalah Persembahan Darah bagi Para Leluhur, dan merupakan suatu kebanggaan.

Di bagian ini, saya SEPAKAT SEKALI. Belakangan, saya selalu berpikir, jika harga diri dan harapan kita sudah tidak ada, apa lagi yang harus kita perjuangkan dalam hidup ini? #tsahhh Dan yeah, saya menangis hampir tiga atau empat kali sepanjang film ini, dikarenakan perasaan yang campur aduk. Ada sedih, terharu biru, heroik, tegang, dan sebagainya dan sebagainya.

Saya jadi terkenang Film Avatar, salah satu yang kurang lebih mirip yah dan favorit juga. Terus, mengingat kawan-kawan di suku pedalaman Irian Jaya, atau nenek moyang para pahlawan pejuang kita dulu. Dan tentu saja, kita manusia di masa ini, yang barangkali sebenarnya tengah dijajah tetapi tidak menyadari sepenuhnya. Wew berattttsss…


Oke, kembali ke topik, Kaum aborigin Taiwan juga dikenal dengan sebutan “seiban” dalam bahasa Jepang yang berarti “suku liar” dan mereka kerap diperlakukan sebagai orang biadab. Sebagaimana Bangsa Maju, yang selalu menganggap rendah suku/bangsa di pelosok. Bahwasannya, terlihat tidak berpengetahuan, berarti tidak berprikemanusiaan dan berbudaya. Padahal sesungguhnya, pemahaman suku/bangsa tersebut jauh lebih tinggi, tentang bumi, tentang semesta, tentang bagaimana memperlakukan sesama maklhuk hidup di dunia.

Sejak insiden itu, pemerintahan Jepang mengambil solusi untuk mengintensifikasi program pendidikan ala Jepang di Taiwan dengan upaya mendorong semangat muda-mudi lokal untuk meninggikan Kekaisaran Jepang, serta mengadu-domba Taiwan dengan tetangganya (yang juga tengah melawan penjajahan Jepang): Cina.

Dalam sejarahnya kependudukannya, pulau Taiwan sempat dikuasai oleh Dinasti Ming dari Cina sebelum bangsa Belanda datang pada abad ke-17 untuk menetapkan jalur perdagangan di Asia. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Dinasti Ming dan Belanda (Sino-Belanda) yang berujung pada pengusiran tentara Belanda dari daratan Taiwan. 

Setelah Dinasti Ming runtuh, salah satu loyalis kekaisaran tersebut kemudian mendirikan Kerajaan Tungning. Kerajaan itu pun memulai pemberontakan terhadap Cina, yang pada saat itu dikuasai oleh Dinasti Qing. Sayangnya, pada tahun 1683, putra mahkota Kerajaan Tungning gagal memimpin pasukannya untuk memberontak terhadap Dinasti Qing dan oleh sebab itu Cina secara resmi menganeksasi Taiwan sebagai bagian dari kekuasaannya.

Pada akhir abad ke-19, Dinasti Qing dikalahkan oleh pasukan Jepang dalam Perang Sino-Jepang Pertama di mana dua kepulauan di bawah kekuasaan Cina — Taiwan dan Penghu — diambil alih oleh bangsa Jepang untuk kemudian diintegrasikan sepenuhnya sebagai bagian dari Kekaisaran Jepang. 

Salah satu strateginya adalah dengan mengasimilasi atau membantai suku-suku aborigin yang masih tersisa di Taiwan. 

Ketika akhirnya Jepang dikalahkan oleh kekuatan sekutu di tahun 1945, mereka semua mundur dari Taiwan dan oleh sebab itu secara otomatis kekuasaan pemerintahan dikembalikan kepada Cina. 

Hingga saat ini Taiwan masih berusaha untuk ‘melepaskan diri’ dari Cina secara politik.

Itu tadi kisah di balik Film Seediq Bale yang fenomenal warbiyasak bikin mewek dan tegang hampir dua jam lebih. 

Tentang film ini, saya kutip dari Wikipedia, Warriors of the Rainbow: Seediq Bale (Tradisional: 賽德克巴萊; Pinyin: Sàidékè Balái; artinya Seediq Merah atau Pria Sesungguhnya) memiliki versi lengkap yang dibagi dalam dua bagian— Bagian 1 yang berjudul Bendera Matahari dan bagian 2 yang berjudul Jembatan Pelangi, dengan jangka waktu penayangan secara keseluruhan selama empat setengah jam. Versi lengkap dari film ini ditampilkan di Taiwan.

Seediq Bale ditayangkan di kompetisi Festival Film Internasional Venesia ke-68 dan terpilih sebagai perwakilan untuk nominasi pada Penghargaan Akademi ke-84 untuk Film Berbahasa Asing Terbaik pada tahun 2011. 

Film ini merupakan salah satu dari sembilan film yang masuk daftar pendek untuk memasuki putaran pemungutan suara berikutnya dalam babak nominasi. Namun, dua bagian asli dari film tersebut dicampur dalam versi pemotongan internasional tunggal; yang berjangka waktu selama dua setengah jam.

Film KEREN ini merupakan produksi yang paling menghabiskan biaya dalam sejarah sinema Taiwan. Berbanding dengan film di tahun 1995, Braveheart karya Mel Gibson dan The Last of the Mohicans menurut media Taiwan. 

Saya membayangkan Proses Riset yang luar biasa detail di tahapan Pra Produksi Film, sehingga bahasa yang digunakan, wardrobe dan artistik juga pemilihan lokasi shooting, betul-betul SAMPOERNA. 

Lalu kalian mungkin bisa lihat di video behind the scene berikut, bahwa sebagian besar adegan tidak dilakukan di studio sebagaimana film perang dewasa ini. Semua dilaksanakan langsung di lokasi dengan berbagai resiko dan pengalaman keren yang jujur saja menyita banyak sekali imajinasi saya.



Ada dua Tokoh dan beberapa adegan dalam film ini yang benar-benar menjadi favorit saya, 

Tokoh pertama, tentu saja Mouna Rudao (bikin ingat Moana kan? emang masih satu keturunan asal muasalnya, para penjelajah bumi ini). Anak Kepala Suku yang sejak adegan pertama film dimulai, sudah menghipnotis mata dengan kelincahannya tebas kepala musuh. Hingga akhir film, Yang Bersangkutan tetap heroik sekaligus mempesona, meskipun sudah berganti peran oleh karena usia.

Tokoh kedua, adalah PAWAN, remaja pemberani yang hingga akhir hayatnya bertempur dengan kesatria. Castingnya pasti ketat gila, mengingat dia harus lincah loncat sana-sini, pegang senapan dan menembak ke kiri dan ke kanan, terus terjun dari atas jurang sembari mendorong musuh. Euw.

Soal Adegan favorit, hampir semua adegan menguras emosi, yang terus diulang, ketika Mouna Rudao bertemu Roh Ayahnya di Air Terjun. Saat itu, muncul pelangi, yang dalam kepercayaan Suku Mehebu merupakan Jembatan ke Gerbang Para Leluhur. Ayah Mouna berbicara dan mengajaknya bernyanyi. Mereka bernyanyi sambung menyambung, seperti kanon. Hikmat sekali.

Adegan lain, sebelum adegan di atas terjadi, ketika salah satu Polisi Jepang, yang sebelumnya adalah salah satu anggota Suku Mehebu, bertanya kepada Mouna: "begitu burukkah diperintah oleh Jepang?"

Jawaban Mouna: "begitu baikkah diperintah oleh mereka? orang-orang kita dipaksa membungkuk hormat dan memikul kayu balok di pundak kita dan para wanita kita dipaksa untuk berlutut menuang anggur. --- aku adalah seorang ketua, tetapi yang bisa kulakukan cuma mabuk dan pura-pura tak melihat apa-apa. apa yang bisa kulakukan? --- kantor pos? toko? sekolah? apakah semua itu membuat hidup kita lebih mudah dan lebih baik? sebaliknya kita melihat, betapa melaratnya hidup kita."

Satu adegan lagi, ketika Pawan dan kawan-kawannya menangisi para wanita dan adik-adik mereka yang memilih berpisah jalan. Mereka memutuskan untuk berhenti di tengah perjalanan dan bunuh diri berjamaah. Damn! 

 Sementara itu, Polisi Jepang yang sebelumnya anggota Suku Mehebu tadi, yang masih sangat dilema tentang asal muasal darah dagingnya, memilih bunuh diri bersama isteri dan bayinya juga, mengikuti jejak Kaum Wanita dan anak-anak Suku Mehebu lainnya yang ditinggal perang oleh kaum lelaki.

:(

Oke, begini dulu curhatannya. 

Serius, saya bahagia sekali hari ini hingga melupakan EKTP yang belum tahu jadi-jadi juga sejak enam tahun lalu. 

Hari ini, ke Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil lagi, dan belum ada kabar sudah dicetak atau belum sebab “katanya” alat masih rusak dan jaringan masih terganggu. 

Sementara Kartu Keluarga, yang hendak saya urus juga hari ini, terbentur nomor antrian yang katanya hanya dibatasi 50 Orang per-hari. Entah di mana kita bisa mendapatkan nomor antrian tersebut atau informasi bahwa antrian sudah penuh untuk sehari ini, TIDAK ADA PETUNJUK SAMA SEKALI!

BYE!

0 komentar: