Kalau Bukan Dilan, Jangan Jadi Orang Ende. Berat! [Bag. II]

Selasa, Juli 03, 2018 Pankratia Da Svit Kona- 0 Comments


Su macam detektif siang itu. 

Berikut kelanjutan kisah KTP saya yang sejauh angan-angan. Kisah sebelumnya bisa cek di sini: Kalau Bukan Dilan, Jangan Jadi Orang Ende. Berat! [Bag.I]

Saya ke kantor Dispenduk lagi hari Jumat 29 Juni lalu, bertemu seorang Ibu yang sangat ramah dan kemudian mengarahkan saya ke Ruang 7 untuk urusan E-KTP. Wah nomor keberuntungan saya ini, semoga yah alamat baiks.

Tiba di sana, saya lalu menyerahkan kertas bukti pengambilan yang lecek lumutan itu dan Kartu Keluarga versi lama. 

Wih saya diomelin, karena itu kartu keluarga zaman bahula, sudah tidak terpakai lagi. Ya iyalah, 2009 hahaha. Oke, saya kasih Kartu Keluarga baru, yang tidak ada nama saya, Petugasnya bingung dan mulai lihat saya atas bawah. 

Oh Come on saya bukan buronan. 

Lalu saya  ditanya lagi, pernah urus surat pindah domisili? Saya merasa tidak pernah mengurus itu, jadi saya jawab tidak. 

Sang Ibu di Ruangan 7 itu, yang demi tuhan, saya kenapa bisa lupa namanya padahal saya sudah sempat bertanya dan saling berjabat tangan, beliau mengajak saya ke ruangan lain, yang di depannya ada tulisan Kartu Keluarga itu (sebelumnya, sempat saya ceritakan di tulisan bagian I). Oh yah Ibu ini berkacamata.

Kami masuk, menuju pojok ruangan dan bertemu dua orang wanita berkerudung, yang satu masih muda, sedang serius di hadapan layar monitor sambil sesekali menimpali obrolan seorang wanita paruh baya yang duduk di sampingnya.

Wanita kedua ini, tengah asik meliuk-liukkan badannya mengikuti irama dari pemutar musik handphone dan terus nyerocos tentang hasil Pilkada Kabupaten Ende yang katanya sangat fenomenal, pas dengan lagu yang sedang mengiringinya bergoyang.

Kamu mau tahu lagu apa yang sedang ia dengarkan? 

GOYANG DUA JARI! YANG BIASA DI APLIKASI SAKTI TIKTOK ITU. 

Makin lama, jarinya ikutan naik, membentuk angka dua sambil tubuhnya tetap bergerak. 

Saya tiba-tiba pusing. Ugh ada apa dengan masya-raqat Ende ini? Mereka suka punya euforia yang sia-sia, mungkin saya dulu juga begitu kah? Duduk nganga di jalan hanya mau ikut rame, gegi mau ikut pawai keliling sampai goyang tidak jelas, sementara Pasangan yang menang tidak kenal kita sama sekali. #Eh Huft…

Sebelum saya, sudah ada seorang laki-laki duduk di depan meja wanita muda itu, tetapi sepertinya dia sedang berusaha menelpon seseorang untuk urusan yang sama, Kartu Keluarga. 

Urusan saya didahulukan, Sang Ibu dari Ruangan 7 menyerahkan dua lembar Kartu Keluarga milik saya untuk diperiksa. 

Ada lima atau enam kali, saya tak sempat menghitung karena mulai pening, wanita muda berkerudung merah muda itu bolak-balik dari komputer yang ada di hadapannya ke komputer yang ada di seberang mejanya. 

Usut punya usut, voila: karena saya pernah melakukan perekaman sebanyak dua kali yaitu pada tahun 2012 di Denpasar dan 2016 di Ende, maka Nomor Induk Kependudukan (NIK) saya terdeteksi ada dua. 

Oleh karena itu, nama saya tidak masuk di Kartu Keluarga baru. Ugh. 

Sabar dulu, ada yang lebih menakjubkan lagi, ternyata oh ternyata, berdasarkan keterangan di sistem, E-KTP saya statusnya sudah “SIAP CETAK” sejak tahun 2012, beberapa bulan setelah perekaman di Gedung Rektorat Unud itu. Oh Anakku…… ENAM TAHUN lamanya pencarian ini. Hadeh kok bisa yah?

Mendadak saya ingin ke Jakarta, bawa serta peralatan lengkap, mungkin mutilasi saja Setya Novanto dan antek-anteknya kah?! SipalomasekiyaBarzulBollock!

Sedangkan perekaman yang saya lakukan pada tahun 2016 di Kantor Camat Ende Tengah, tidak dijelaskan nasibnya bagaimana, saya juga bingung bagaimana analisanya, tetapi karena alasan itu, NIK saya menjadi GANDA, yang berbuntut pada nama saya tidak ada di Kartu Keluarga dan sampai sekarang E-KTP saya belum ada. FIX BLUNDER!

Solusi yang akhirnya berlaku: Sang Ibu dari Ruangan 7 akan mengajukan permohonan Print E-KTP atas nama saya ke “bagian entah,” beliau tidak menjawab pertanyaan saya. 

Ketika saya menanyakan, berapa lama proses pencetakan ini? Jawabannya sungguh menyedihkan: “Ade, saya tidak bisa janji e, kapan ini jadi. Nanti, satu bulan lagi, datang cek ke sini. Datang saja dan cek, siapa tahu sudah ada.” 

OmowahaiGad. Adakah yang bisa menjamin bahwa ketika saya datang sebulan lagi, E-KTP itu minimal bisa di-cek alias jelas juntrungannya, udah sampai di mana dia? Duh!

Ternyata angka 7 di depan ruangan tersebut, tidak mempan sama sekali. T.T

Alhasil, yep, kertas baru lagi wkwkwkw… dengan sebagian kolom yang dikosongkan. Ya Tuhan, butuh kerja keras dan loyalitas benar yah, menguras segala-galanya.


Oh yah, untuk Kartu Keluarganya, saya hanya perlu membawa KK asli yang versi baru untuk selanjutnya dikeluarkan KK pengganti, yang jelas tertera nama saya nantinya di sana. 

Masalah berikutnya adalah: lembar asli Kartu Keluarga dimaksud, masih ada di Denpasar sekarang, dibawa serta adik saya sejak bulan Januari lalu untuk urusannya itu.

Kembali lagi, yah mungkin sudah nasib saya, bahwa ketika saya memutuskan pulang ke NTT, saya sudah harus siap jika SEBAGIAN BESAR WAKTU SAYA DIHABISKAN UNTUK MENUNGGU.

Menunggu di tengah ketidakpastian, kapan E-KTP jadi?

Menunggu lembar asli KK dikirim dari Denpasar.

Sementara saya harus segera kembali ke Kupang. Arghhhhh.

Trus, trus… ini aku kudu ngera emba lagi?! Akan ada berapa bagian lagi untuk curhat panjang lebar kali tinggi bagi luas ini?

Njlimet Kabeh!


Tenang, Nanti Tuhan Tolong!


0 komentar: