TRIAL & ERROR

Senin, Mei 28, 2018 Pankratia Da Svit Kona- 2 Comments



*Bingung mau kasih judul apa ini tah!


Di tahun 2004 di sebuah kelas IPA di SMAK Syuradikara, saat itu, saya adalah salah satu siswi yang kurang beruntung. Demikian saya mengklaim diri saya sendiri. Saya masih ingat, pagi itu Jam Pertama Pelajaran kelas kami adalah Fisika yang dibawakan oleh seorang Guru Wanita. Sebelumnya, suami Ibu Guru ini, yang adalah seorang Dosen di satu-satunya Universitas di Kota kami, sempat beradu pendapat dengan saya pada sebuah diskusi budaya tentang Asal Usul Seorang Pahlawan Daerah Ende. Jikalau saya salah berpikir, maka maafkanlah, akan tetapi tak pernah intuisi saya mengkhianati saya, mereka tak pernah muncul sia-sia. Hasil kebawelan saya di acara ini juga, yang membuat saya kemudian terpilih sebagai satu-satunya Perwakilan Nusa Tenggara Timur untuk Lawatan sejarah Nasional I di Nangroeh Aceh Darussalam, yang kegiatannya diselenggarakan berkat program terbaru Kementrian Pariwisata dan Budaya Republik Indonesia saat itu.

Kejadian yang akan saya ceritakan ini, berlangsung hanya beberapa hari setelah saya kembali dari Nangroeh Aceh Darussalam, pada bulan Agustus yang mataharinya bersinar sangat cerah bersamaan dengan angin dingin yang bertiup dari arah selatan. Seringkali membikin saya menggigil kedinginan. Persis dengan kejadian ini, yang masih mampu menimbulkan rasa dingin yang tiba-tiba apabila mengingatnya. Dua apa tiga hari sebelumnya (saya lupa tepatnya), kami melaksanakan Tes/Ulangan terhadap salah satu bab yang telah selesai dibahas pada buku mata pelajaran Fisika yang saat itu lazim dipakai. Hasil ulangannya telah dibagikan, dan sebagaimana biasanya, saya yang tak sungguh-sungguh dalam semua mata pelajaran penting pada jurusan saya ini, mendapatkan angka yang bagi saya sudah pas, entah bagi mentor saya atau kawan-kawan saya lainnya.

Pagi itu, Sang Ibu Guru muncul, memberi salam dan berbasa-basi sebentar lalu dengan pongahnya berkata: “oke, jadi hasil ulangan kemarin sudah terima semua toh? Nah sekarang, saya mau, masing-masing duduk sesuai hasil ulangannya, supaya kita tahu, mereka-mereka ini masalahnya di mana?! Ikuti arahan saya, yang lima ke bawah, silakan duduk di deretan kursi sebelah kanan saya (sembari menggerakan tangan beliau, membentuk batasan). Kemudian, yang nilainya enam ke atas, silakan duduk di sebelah kiri saya.” Saat itu, duduk satu deretan ke belakang, (sepertinya tidak ada yang menempati kursi paling depan, kau tahulah kenapa) ada Stivan Agustinus Wungubelen, Euginius Pasely Surya Kandar, Maria Pankratia Mete Seda, Sunartin Abdullah Wahid, Kenisia Natalia Rohy, dua orangnya lagi saya lupa siapa. Jika kalian, penghuni kelas 3Ipa2 ada yang mengingat peristiwa ini, mungkin bisa membantu menyebut dua nama yang kurang. Ruangan kelas yang kita pakai saat itu adalah Ruang A2, deretan ruang kelas di Gedung Induk yang berada pada bangunan yang sama dengan Pendopo Syuradikara yang berlangit-langit tinggi itu.

Saat itu, saya menjadi sangat malu dan terpukul. Seperti dibanting dari udara sahaja rasanya. Yah kau bayangkan, belum selesai bayang-bayang asmara Aceh I’m in Love-ku itu, lalu bertemu pula aku dengan hal memalukan seperti ini. Nol Kilometer Indonesia sudah kucapai, angka enam di atas kertas ulangan saja, tak bisa kujangkau?! What The Fuck kan?
Lebih lanjut, Sang Ibu Guru berkata: “Saya hanya mau kasitahu, kenapa saya pisah-pisahkan kalian begini, supaya kalian tahu diri, ada di posisi yang mana kalian sekarang? masih proses belajar, yang nilainya bagus, jangan cepat puas! Apalagi sombong. Yang nilainya masih hopang, coba dengan sadar. Jangan terlalu sibu-ribu dengan yang tidak ada guna-gana tuh, coba dengan sadar. Tuhan tidak turun tolong kamu supaya nilai mendadak jadi bagus. BELAJAR!” -------- OKE FINE!

Satu hal yang membuat saya sungguh sangat putus asa saat itu dan, merasa yakin bahwa saya tidak akan keluar dari Syuradikara hidup-hidup, bahwa Sang Ibu Guru adalah salah satu yang merekomendasikan saya untuk memilih Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dari beberapa Guru yang menakar kehebatan siswa/inya dari Nilai Rapor saat kenaikan kelas. Beliau juga yang mati-matian memaksa saya bertahan di kelas yang bukan saya pilih ini, yang begitu sangat horror terdengar di awal Masa Orientasi Sekolah (MOS). Beliau yang menasihati selalu, pun setia menghantam saya dan kawan-kawan dengan sindiran yang mematikan di tengah pelajaran berlangsung; “Kalian-kalian ini, sama sekali tidak merasa bersyukur e, sudah dikasih kemampuan seperti itu, bukannya dimanfaatkan dengan baik.” Kira-kira senada dengan ungkapan Kepala Sekolah Bertugas saat itu: “Tidak punya hasrat menaklukan dunia, mau jadi apa kau?”

Sejak awal pemilihan jurusan, saya sangat ingin bergabung di kelas Bahasa, karena ketertarikan saya pada sastra dan dunia menulis. Akan tetapi, sebagaimana nasib remaja berusia 16 tahun di NTT pada umumnya, jalan hidupmu ditentukan oleh Orang tua, Para Guru, Kepala Sekolah dan Nilai di atas kertasmu. Mereka adalah penentu mutlak yang lebih memahami kemampuanmu daripada dirimu sendiri. Kau siapa? Keci ana kemarin sore, macam jago-jago saja. Well!!! Orang tua saya tentu saja bangga setengah mati, anak saya Jurusan IPA, tidak kalah dengan anak-anak tetangga, rekan kerja, pejabat, de es be-nya.

Mereka tidak akan peduli, seberapa pusingnya kau melihat angka-angka tersebut berseliweran entah dari mana datangnya. Bagaimana kau gugup karena takut akan ulangan umum dan dipermalukan di seantero kelas. Bagaimana kau berusaha tetap mengimbangi bakatmu, yang hanya mendapatkan presentasi terkecil dari perhatianmu. Saya bahkan harus mencuri-curi kesempatan, untuk menuliskan puisi atau cerita ketika mood puitis saya tengah indah-indahnya, saat Guru Kimia sedang mencampurkan bahan-bahan di depan kelas hingga berasap dan menggelegak. Euw. Saya tidak peduli.

Hingga saat ini, saya masih merasa sakit hati jika mengingat kejadian di atas. Saya dibuat merasa sebagai manusia paling bodok, goblok, sial, tidak bisa diharapkan dan kawanannya, jika diketik entah sepanjang apa nanti ini. Kawan-kawan kelas saya harus tahu, bahwa saya pernah begitu benci bangun pagi dan harus berangkat ke sekolah karena mesti bergabung dengan mereka, mengikuti pelajaran sembari mengutuki diri sendiri yang adzubilah min zalik apa isi otak saya ini, sampah?!

Ketika merefleksi ini, saya kemudian paham bahwa saya marah karena tidak bisa menerima cara Sang Ibu Guru memperlakukan siswa/inya dengan bijak. Yang membuat saya merasa begitu sangat tertekan dan putus asa, hingga membencinya. Apakah tidak ada cara lain lagi, dari sekian juta kemungkinan cara di dunia ini, saat itu sudah Milenium, Abad 21. Apakah tidak ada cara lain, untuk membuat kami yang BODOK ini menjadi LEBIH BAIK atau PINTAR sebagaimana lazimnya harapan bangsa yang terpatri sejak dahulu kala? Apakah hanya dengan cara membuat kami malu, maka kami otomatis berubah?

Tiga belas tahun kemudian, saya dipertemukan dengan seorang Guru, bernama Simon Seffi. Yang menuliskan buku berjudul: Bermain dengan Sentuhan Personal – Agar Siswa Bisa Baca Tulis Sejak Kelas Satu SD yang di dalamnya juga menjelaskan bagaimana selama ini siswa/i di NTT sejak tingkat dasar sudah diajar menggunakan metode kekerasan dan hukuman yang pada akhirnya menimbulkan efek jera karena malu dan takut. Kekerasan dan hukuman ini, menimbulkan rasa tidak aman dan nyaman kepada siswa/I yang menyebabkan  siswa/I hanya melakukan apa yang diperintahkan Guru. Mereka bersekolah untuk menyenangkan Guru, bukan untuk mendapatkan ilmu.

Pada akhir tahun ajaran, di tahun 2005, saat Pengumuman Kelulusan, saya sengaja datang terlambat. Saya begitu ketakutan bahwa saya tidak akan lulus dan mempermalukan kedua orang tua saya. Keluarga saya, tetangga saya dan tentu saja diri saya sendiri. Saya datang mengenakan baju putih dan rok putih, perpaduan seragam osis dan yayasan, demi menegaskan (lebih kepada diri saya sendiri) bahwa saya tidak akan mencoret-coret seragam saya, sebab ini dibeli dengan jerih susah kedua orang tua yang setiap hari mengomeli saya dan menjelaskan daftar panjang finansial yang telah dihabiskan untuk anak sulung tak tahu diuntung seperti saya. Saya tiba ketika Pendopo Syuradikara sudah lengang, dan sialnya saya berpapasan lagi dengan Sang Ibu Guru yang tetap saja ketus di detik-detik terakhir: “Mete Seda, kau lulus juga e?”

DEMI DEWA!

Saya memiliki, hm entahlah apakah ini anugerah atau kesialan, bahwa saya mampu merekam kejadian yang telah lewat dengan sangat sempurna termasuk percakapan, raut wajah dan tatapan mata, apa lagi jika kejadian tersebut menimbulkan rasa yang seperti klimaks di hati dan pikiran saya (semacam orgasme: ada harubiru, senang, sedih, marah, sakit hati, campur aduk). Entahlah apa namanya, tidak berlebihan jika kadang saya sangat berapi-api ketika bertemu kawan lama atau orang dari masa lalu, belum lagi jika dia memberi kesan mendalam, saya akan mengupas tuntas segala kejadian yang pernah kami lewati bersama. Nostalgia yang kadang cukup menimbulkan ambigu, bisa senang atau bisa jadi membuat risih apabila bertemu teman yang tak suka mengungkit-ungkit masa silam.

Bertahun-tahun kemudian, setelah saya berdarah-darah dan berusaha menerima, memahami dan memaklumi DIRI SENDIRI, belajar dari banyak hal, syukur kepada Tuhan, saya doyan membaca, bahkan mungkin nanti hingga masuk liang lahat, bahwasannya SEMUA MANUSIA DILAHIRKAN JENIUS, tergantung di mana dia berada, bagaimana dia dididik, dengan apa dan siapa dia bergaul serta bagaimana dia mengolah semuanya, itu yang akan menentukan MANUSIA SEPERTI APA KITA. Saya belajar untuk tidak hidup berdasarkan pilihan dan omongan orang lain, saya hidup atas apa yang saya yakini!

Sampai di sini, saya mengetik sembari tersenyum. Sok sekali rupanya. Ahai.
---------------------------------

Setelah hampir sebulan saya tidak mengupdate blog pribadi ini, di sebuah misa sore yang sama sekali tidak bisa mengintervensi suasana hati saya yang kalut, entah mengapa di tengah konsekrasi, saya malah mengingat peristiwa ini. Dan setelah Komuni, saya begitu sengit dengan kertas dan spidol yang berwarna senada dengan rok yang sedang saya pakai. Orange. Entah apa pulak maknanya. Tetapi saya mengamininya sebagai sebuah jalan perubahan. Saya menulis kembali semua kejadian ini dengan sangat lancar dan penuh haru. Lalu menyalinnya di laptop saat pulang, dan memostingnya di sini. Saya tidak tahu, apa manfaat saya menuliskan ini kembali, dan apa pentingnya kau harus membaca ini? Itu terserah kalian.

Tulisan ini, rencananya, ingin saya ikutsertakan pada Kumpulan Cerita Alumni Syuradikara Edisi kedua, yang sampai saat ini juga masih rencana. Sebelumnya, telah ada Kumpulan Cerita Alumni yang terbit di tahun 2012 berjudul 5900 Langkah. Ada 30 Kisah dari 28 Alumni Syuradikara, dari yang Preman dulunya di Sekolah sampai yang Unggulan dan selalu diperhitungkan Para Guru, bergabung untuk menulis di situ. 5900 Langkah, menyimpan banyak cerita, juga ilmu yang tidak akan kau dapatkan di kelas-kelas Sekolah Menengah Atas dengan banyak mata pelajaran yang pada akhirnya sebagian besar hanya sia-sia bagi kehidupanmu di masa depan. Ini serius!


Panjangnya! Tidak ada gambar lagi. Yang kuat yah….hihi…BYE.

Catatan lain saya, tentang masa-masa labil di SMA, bisa dilihat di sini: AKHIRNYA (*Sebuah Refleksi)


Untuk yang punya foto, saya pinjam. saya temukan di google dan ini bagus. Simo Gemi :)


2 komentar: