KTP Transgender, Kenapa Tidak?

Sabtu, Juli 15, 2017 Da Svit Kona 0 Comments


Di masa lalu, di zaman para Raja masih berjaya, lelaki yang kepribadiannya menyerupai wanita dikenal dengan Wandu. Mereka diberi tempat khusus dalam strata sosial sebab memiliki keterampilan yang tidak biasa. Mereka mampu melakukan apa yang biasanya dikerjakan kaum lelaki, bersamaan dengan itu mengemban tugas wanita dengan begitu serius. Bahkan lebih telaten dari para perempuan itu sendiri. Beberapa di antara mereka, bahkan memiliki keahlian khusus dan diminta oleh Raja untuk membantu pemerintahan.

– Almarhum Bapak Agustinus Prajitno – Dari obrolan tidak serius kami beberapa tahun silam di Rumah Topeng dan Wayang Setia Darma, Ubud





Mami Sisca Dharmadee, Transgender, Koordinator Komunitas Waria dan Gay Singaraja (Warga's)

Malam itu, Mami Sisca, demikian ia biasa disapa, berkendara dengan mobilnya menuju Tabanan. Akan ada kegiatan penting yang harus ia hadiri besok pagi. Di tengah perjalanan, sudah hampir memasuki kota Tabanan, ia berpapasan dengan polisi yang sedang mengadakan razia surat-surat kelengkapan kendaraan. Mami Sisca menepi lalu menurunkan kaca mobilnya. Sang polisi menyapa dengan santun,

“Selamat malam, Bu. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Boleh saya minta KTP, SIM dan STNKnya untuk diperiksa?”

Mami sisca mengeluarkan surat-surat yang diminta dan menyerahkannya pada petugas. Sejurus kemudian, sang petugas nampak terkesima ketika melihat KTP Mami Sisca. Ia nampak bingung, kemudian bertanya,

“Kok di KTPnya laki-laki?”

Mami sisca tersenyum simpul, ia sudah menduga reaksi ini dan seperti biasa, ia akan menjelaskan sebagaimana yang sudah-sudah. Malam itu, mami sisca berhenti lebih lama dari pengendara lainnya. ia terlibat obrolan yang jadi sangat panjang dan lebar dengan sang petugas polisi. Tapi tentu saja bukan obrolan serius, justeru hal-hal menarik ngalor ngidul yang terkadang memang suka membuat manusia lupa waktu.

Demikian Mami Sisca menuturkan salah satu pengalamannya, setelah kurang lebih 26 tahun menjalani hidupnya sebagai seorang Transgender (Wanita Pria atau yang disingkat Waria). Di sela-sela kesibukannya menemani para anggota Warga’s (Waria dan Gay Singaraja ) mengikuti VCT (Voluntary, Conceling and Testing) HIV AIDS di lantai dua Puskesmas Buleleng I, ia dengan senang hati menerima tamu kurang penting seperti saya yang memiliki misi cukup kejam. Menggali-gali masa lalu waria dengan nama lengkap Sisca Dharmadee ini.



Salah satu anggota Warga's yang menjalai VCT bersama Ibu Juliasari, didampingi Mami Sisca

Sejak kecil Mami Sisca mengakui, sudah merasakan hal yang berbeda dalam dirinya. Ia lebih senang bermain bersama kawan-kawan perempuan dari pada dengan kawan laki-laki. Orang tuanya menghabiskan banyak biaya untuk  membawanya pada orang pintar, guru karate bahkan dokter supaya Mami Sisca berhenti dari ketertarikannya pada hal-hal yang beraroma keperempuanan. Menginjak usia akil baliq, Mami Sisca terlibat cinta segitiga antara sahabat dan ketua kelasnya di SMP yang tentu saja keduanya laki-laki. Romantis dan menggebu-gebu. Usia 18 tahun, Mami Sisca duduk dan berbicara di hadapan ayahnya, secara khusus ia memohon agar beliau berhenti dari segala usahanya membuat Mami Sisca menjadi laki-laki sejati.

“Saya bilang ke bapak saya, sudah cukup pak, jangan mau dibohongi sama dukun, orang pintar, dokter-dokter itu. Ngabisin duit percuma. Saya nggak mungkin berubah lagi. Saya adalah saya dan saya menikmati semua ini. Masih mending saya yang seperti ini, dari pada saya jadi seperti anak orang lain. Gila, telanjang di jalanan, atau bikin onar tanpa sebab kaya anak-anak nakal. Toh saya masih sehat dan tidak mengganggu orang lain.”

Pada akhirnya, kedua orang tua Mami Sisca menerima kondisinya dan mendukung apa saja yang ia lakukan. Para tetangganya pun lambat laun terbiasa dengan penampilan Mami Sisca yang drastis berubah. Mereka sama sekali tidak menjadikan hal tersebut sebagai sesuatu yang patut dipermasalahkan, sebagaimana yang sering terjadi.

Mami Sisca lahir 44 tahun lalu sebagai laki-laki, 26 tahun lalu memutuskan untuk mengubah keseluruhan penampilannya menjadi seorang perempuan. Dua tahun setelah menjadi seorang Transgender, ia menemukan seorang laki-laki yang hingga kini menjadi pasangan hidupnya. Terhitung sudah 24 tahun, Mami Sisca telah hidup bersama pasangannya dan semua berjalan baik-baik saja. Mami Sisca memiliki karakter yang tidak biasa dan memang menarik perhatian banyak orang sejak pertama bertemu. Ia terbiasa dengan keyakinan diri yang kuat sehingga tidak pernah menyesali semua keputusan yang sudah diambil. Transgender yang sangat gandrung membaca serta bertemu banyak orang ini, pada akhirnya menjadi tumpuan bagi mereka yang membutuhkan media, orang yang bisa menjadi tempat mengadu dan menyimpan rahasia.

Memang benar, pekerjaan Mami Sisca sehari-hari adalah memenuhi kebutuhan kaum wanita yang ingin terlihat cantik, ia bisa ditemui di sebuah salon kecantikan di Singaraja atau sesekali menerima jasa panggilan, jika ada yang lebih suka menjalani perawatannya di rumah. Akan tetapi, di kalangan remaja, waria dan LSL (Lelaki Sex dengan Lelaki) di Kabupaten Buleleng, Mami Sisca adalah teman curhat yang dapat diandalkan. Sudah tidak terhitung mereka yang datang meminta bantuan Mami Sisca untuk mengatasi masalah dalam hubungannya dengan kesehatan (Baca: Penyakit Kelamin dan HIV AIDS). Hampir semua yang menemui Mami Sisca adalah mereka yang tidak berani menceritakan aib sendiri kepada orang lain, termasuk kepada kedua orang tua atau pun sahabat. Mungkin karena itulah, panggilan Mami Sisca disematkan kepada beliau. Ini perihal yang sangat lumrah di Indonesia, hal tabu bukanlah konsumsi keluarga dan teman-teman, apalagi lingkungan sekitarmu. Kau hanya akan berakhir menjadi remah-remah atau puing-puing serpihan kenangan jika itu sampai terjadi.

Awalnya kepedulian Mami Sisca muncul akibat kegelisahannya melihat teman-teman yang mengalami nasib sama dengannya. Namun, mereka tidak seberuntung Mami Sisca yang medapat dukungan dari keluarga untuk bebas mengaktualisasikan diri sebagai laki-laki dengan orientasi seksual tidak seperti biasanya. Selain itu, sebagaimana budaya bangsa yang masih melekat hingga saat ini, kaum yang dianggap tidak normal seperti Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) masih dipandang sebelah mata dan diberi stigma yang buruk. Mereka senantiasa mengalami diskriminasi, kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan dan tidak diterima di tengah masyarakat. Beberapa di antara mereka bahkan berkalang tanah akibat depresi, baik karena kehilangan rasa percaya diri maupun juga akibat penyakit yang tidak tertolong karena ketiadaan tempat berbagi. Maka pada tahun 1994 bersama keenam orang temannya yang juga Waria, Mami Sisca membentuk Persatuan Waria Singaraja (PWS). Tanggal 21 April 2001, PWS resmi berganti nama menjadi Komunitas Waria dan Gay Singaraja (Warga’s) dikarenakan semakin banyak yang terlibat di dalamnya. Bukan hanya waria saja, melainkan juga para penyuka sesama jenis atau yang kini lebih dikenal dengan gay. Terlepas dari kesibukan mereka sehari-hari sebgai individu, anggota Warga’s selalu berusaha tampil di tengah masyarakat melalui perilaku yang baik serta kegiatan yang bermanfaat.

“Jika kamu sering disoroti, kamu juga seharusnya berani balik menyoroti” Demikian keyakinan Mami Sisca ketika memutuskan membentuk komunitas ini.


Sebagian dari anggota Warga's yang sedang mengantri untuk mengikuti VCT

Hal tersebut kemudian menjadi pertimbangan Pemerintah untuk mengajak Warga’s bekerja sama dalam rangka memerangi HIV AIDS di Kabupaten Buleleng. Tahun 2004 program tersebut dimulai dan terus berjalan hingga kini. Mami Sisca didukung oleh para anggota Warga’s selalu menjadi garda depan Kabupaten Buleleng untuk memerangi virus mematikan seperti HIV AIDS dan Penyakit Seksual lainnya. VCT (Voluntary, Conceling and Testing) HIV AIDS yang dilakukan pada hari Rabu Sore (12/07) merupakan salah satu di antara kegiatan rutin Warga’s. Mami Sisca dan Mbok Yasmin selaku pengurus komunitas bersama para petugas lainnya juga aktif turun ke lapangan, dua minggu sekali diadakan razia langsung kepada para anggota Warga’s tentang pemakaian kondom dan cara hidup sehat sebagai kaum transgender. Sesekali Mami Sisca dan kawan-kawan diundang ke sekolah-sekolah untuk mengadakan penyuluhan bagi siswa/i SMP maupun juga SMA di Buleleng. Warga’s juga ikut ambil bagian pada acara tahunan Kota Singaraja, seperti gerak jalan Hari Pendidikan Nasional dan Pawai Pembangunan.

Tahun 2016 lalu, dibawah naungan LSM Gaya Dewata, Bali dan dengan bantuan dana dari Bank Dunia melalui sebuah program sosial, Warga’s dan Lembaga Kesehatan Pemerintah Kabupaten Buleleng menandatangani sebuah kesepakatan (Memorandum Of Understanding) agar aktif mensosialisasikan dan mencegah HIV AIDS di Kabupaten Buleleng. Bahkan acara tahunan seperti Ms. Queen Waria of Singaraja digelar demi mendapatkan sosok terbaik yang menjadi duta dari program tersebut. Hingga saat ini, Warga’s terus bergiat melakukan hal-hal bermanfaat. Akan tetapi tak jarang mereka mendapatkan sorotan masyarakat, sebagaimana yang terjadi pada Perayaan Hari Pendidikan Nasional tahun 2016 lalu. Aksi mereka dikecam karena tampil pada gerak jalan menggunakan seragam sekolah yang dianggap terlalu minim. Mereka dikatakan menunjukan teladan yang kurang baik terhadap para generasi muda. Sebaliknya, Mami Sisca yang pada akhirnya menanggapi hal tersebut menyatakan bahwa, itu adalah salah satu bentuk kegelisahan terhadap fenomena anak sekolah zaman sekarang. Mereka suka mengenakan seragam yang kurang pantas bagi seorang siswa/i tanpa alasan yang jelas. Terkadang bolos di jam pelajaran dan ugal-ugalan di jalan. Tetapi mungkin karena yang tampil di gerak jalan ini adalah para waria, maksud yang ingin disampaikan malah terdistraksi dengan stereotip yang terlanjur sudah menempel selama ini. Ada sekitar 70% warga Buleleng yang selalu mendukung sepak terjang Warga’s, 30% lagi sepertinya bermuka dua. Demikian Mami Sisca mengistilahkannya.

“Yah, kalau bertemu terlihat baik, tetapi sebenarnya di belakang mereka membenci kita. Kita bisa rasa kok.” Ujar Mami Sisca


Jenisa Ayudia, Ms. Queen Waria of Singaraja 2017, 22 Tahun

Ibu Juliasari, petugas VCT Puskesmas Buleleng I yang saya temui di akhir pemeriksaan mengungkapkan, pihak Puskesmas dan Pemerintah Kabupaten Buleleng merasa sangat terbantu dengan kehadiran Komunitas Warga’s.

“Jika tidak ada mereka, kita malah tidak tahu bahwa ada banyak anggota masyarakat kita yang sebenarnya sakit dan membutuhkan pertolongan. Beberapa dari mereka kadang datang dengan mengajak pasangannya, teman-temannya, yang memiliki keluhan atau sekedar ingin tahu tentang kondisi kesehatannya. Mereka secara sukarela meminta untuk kita periksa. Itu sangat sangat membantu kami.”

Saat ini, ada sekitar 95 Waria dan 160 Gay di Buleleng yang menjadi anggota resmi Warga’s. Pada April 2018 mendatang, posisi Koordinator Mami Sisca akan digantikan Mbok Yasmin. Seorang transgender dan wakil koordinator yang tak kalah kerennya (menurut saya pribadi). Mami Sisca menawarkan sebuah konsep yang cukup menarik kepada saya. Jika dalam satu hari terbagi menjadi Pagi, Siang dan Malam, maka para transgender adalah SIANG.

“Kami adalah Siang, kaum antara, dan kami memiliki terang yang sebenar-benarnya. Adalah Hak setiap individu untuk merasakan hidup seturut apa yang diinginkan. Setiap orang memiliki pilihan untuk menikmati hidup masing-masing dan mendapat bahagia atas itu. Selama mereka melakukan hal yang baik, memberikan kontribusi yang berharga untuk dunia, tidak ada yang berbeda antara manusia yang satu dengan yang lain. Justeru keberagaman gender menjadi hal yang patut disyukuri bersama. Semoga ke depannya, ada kesetaraan bagi kaum transgender. Kami tidak pernah meminta untuk dilahirkan seperti ini. Kami berharap untuk diterima dan menjadi bagian dari masyarakat dunia.”
 Jika demikian, apa yang salah dengan sebuah kebijakan seperti KTP Transgender. Kenapa tidak?


Saya bersama Mami Sisca dan Mbok Yasmin

0 komentar: