Rok Untuk Lanny
Sebuah Cerpen #MariaPankratia*Bali Post Edisi Minggu Pon, 4 Desember 2016
Barangkali
ia hanya galau sebab rok di lemari sudah terlampau membosankan. Ia gemar
memakai rok selebar dan sepanjang gorden. Kegemarannya tidak memiliki alasan, karena
ia selalu begitu.
Hari
ini, untuk ketiga kalinya ia bertemu lagi dengan rok yang sama. Masih di
barisan yang itu-itu juga. Busana Wanita Dewasa. Diam, menanti dihampiri, coraknya
hitam-putih. Panjang, menyiratkan jenjang, memancing. Kekaguman itu berubah,
serupa imajinasi yang menumpuk setiap mereka
(ia dan rok itu) bertemu. Ia yakin, lepas ini, frustrasi bakal bersarang lebih
lama dari biasanya. Pada kali yang kedua, sebelum ini, ia melihat rok panjang
itu, rok dengan gambar bunga liar berbahan halus. Ia butuh dua minggu agar
berkemas dari risau yang begitu rusuh di kepala.
Jika
kemudian mungkin ada yang bertanya, kapan ia bertemu dengan rok itu untuk
pertama kalinya? Ia akan kebingungan sebab ia merasa yakin ia dan rok tersebut
memiliki ikatan sejak entah.
***
Pertanyaan
ini muncul di kepala ketika ia memutuskan untuk menghampiri lagi deretan rok di
barisan busana wanita di sebuah pusat perbelanjaan terkemuka kota ini.
“Kok
nggak ada diskon yah? Apa belum kali yah?”
Ia
mengitarinya sebanyak tiga kali, semacam ritual menghatur mukjizat. Seolah-olah
akan ada seorang Bankir atau Pengusaha Kaya berbaik hati datang menawarkan niat
membelikannya.
“Kamu
suka rok ini? Jadi pacar saya yah, kamu bisa dapatkan satu, bonus pulang
bersama saya”
Ia
mengandaikan mereka paham, ia hanya selalu mengandalkan kaki dengan pecahan
pada telapaknya yang kian melebar setiap hari untuk beranjak ke mana-mana.
Setelah mulai lelah memandangi, ia keluar kembali ke pelataran pusat
perbelanjaan itu. Ia duduk termenung di tangga, berharap akan ada ide segar
muncul seketika.
Sepuluh
menit berlalu, ia masuk lagi. Datang dan mengitari. Ia sadar sebuah tatapan
serius mengawasinya sejak tadi. Tatapan
itu sekarang menghampirinya bersama mulut dan gerak tubuh yang lain.
“Mau
dicoba dulu mungkin?” tawar sang pramuniaga
Ia
tersenyum kemudian berusaha mengelak
“Oh,
saya cuma mau lihat-lihat kok”
Sang
pramuniaga mengangguk mengerti lalu perlahan menjauh.
Ia
memutuskan keluar lagi. Duduk lagi, menatap kosong di kejauhan. Rokoknya ia
keluarkan, tarikan pertama begitu dalam hingga membuatnya terbatuk. Seorang security muncul menggantikan petugas
sebelumnya. Security itu berdiri
tepat di belakangnya. Ia sama sekali tak terganggu, konsentrasinya tetap pada
rok. Bara pada rokok hampir selesai dan pilihan itu muncul. Ia harus masuk lagi
dan melakukan sesuatu.
Ia
kembali ke tempat rok terpajang, pelan-pelan ia mengeluarkan lighter dari dalam tas rajutannya.
Sambil menatap rok panjang tersebut dengan ekspresi yang campur aduk, ia
menghunuskan api perlahan. Kurang sedetik lagi, nyala api itu menghampiri
kuncup bunga liar di ujung rok, tiba-tiba sebuah hantaman mendarat tepat pada
punggung kepalanya. Saking giatnya ia merencanakan api, ia alpa pada sang
pramuniaga dan security yang sejak
tadi memasang kode-kode. Tubuhnya diseret ke ruangan belakang, tempat kantor
berada.
***
Mereka
menyundutnya dengan sengatan minyak angin, tepat di bawah lubang hidung. Ia
terbangun dan berteriak kalap, memasang wajah ketakutan sekaligus memohon
ampun. Kemudian mereka meninggalkannya sendirian. Lima menit kemudian seorang laki-laki
berkacamata lebar masuk dan menarik kursi, mereka duduk berhadapan. Saling
memandang cukup lama. Lalu laki-laki itu mulai bertanya,
“Saya
harus panggil anda, Mas atau Mbak?”
“Mbak
aja”
“Oke,
dengan mbak siapa, saya bicara?”
“Lanny”
“Mbak
lanny, mbak sadar apa yang baru saja mbak lakukan?”
Ia
tidak menjawab melainkan menunduk, tungkai kakinya gemetar tak karuan.
Laki-laki itu melanjutkan.
“Mbak
lanny kerja apa?”
“Therapist, Pak”
“Di
mana?”
“Legian,
Pak”
“Mbak
lanny, mbak ini baru saja melanggar Pasal 406 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP). Mbak bisa dipenjara lho”
Ia berjengit mendengar kata penjara. Air
matanya mulai mengalir.
“Kalau nggak mau dipenjara, mbak harusnya tidak
nekat seperti tadi. Jangan nyalakan korek api pada barang jualan saya. Saya
bisa rugi besar, kacau tadi semua kalau apinya merambat ke mana-mana”
Ia mengangguk sembari tetap menunduk.
“Mbak lanny, mbak dengerin saya yah”
“Iya, Pak”
“Saya lupa siapa yang ngomong ini, tetapi kalau
kita paksa minum air laut, dahaga kita gak bakal hilang. Kita bakal haus terus.
Mbak lanny kalau pingin barang dagangan saya, Mbak harus beli, kalau belum bisa
beli yo ditahan keinginannya. Ngerti?”
“Ngerti, Pak”
“Mbak lanny masih mau roknya?”
Ia terkejut, kepalanya terangkat seketika, pada
matanya ada binar sumringah.
“Masih”
Yang terjadi berikutnya adalah laki-laki itu
membuka celananya, menggelontorkan kemaluannya begitu saja di hadapan lanny. Ia
abaikan bahwa lanny juga memiliki bentuk vital yang sama. Kedua laki-laki itu
tengah terjebak pada situasi yang sulit. Dengan sigap laki-laki itu menarik
kepala lanny. Hampir sepuluh menit lanny berjibaku dengan benda tumpul itu di
dalam mulutnya. Setelah erangan tanda puas bergema, memantul pada dinding-dinding
kantor yang lusuh, lanny diusir keluar. Ia disuruh menunggu di samping meja
kasir yang tentu saja sedang bekerja tanpa mengendarai kuda supaya baik
jalannya. Kasir tersebut menatapnya acuh tak acuh, menerima panggilan telepon di mejanya beberapa menit kemudian. Ia
tekun mengangguk-angguk menyerukan kata yang sama
“Iya bos, baik bos”
Ketika pembicaraan di telepon terputus, sang
kasir menarik lanny menuju deretan busana tempat rok panjang incarannya berada.
Kasir penurut itu menyuruh lanny memilih rok yang ia idam-idamkan. Ia membantu
lanny membungkus. Lanny pulang bersama pecahan kaki yang makin melebar, sepat
sperma yang tersisa di mulut dan bungkusan rok cantik bercorak bunga liar di
genggamannya. Air matanya berderai, kali ini berlomba-lomba dengan gemuruh
jantungnya. Bukankah hidup adalah pengorbanan?
0 komentar: