Rok Untuk Lanny

Sabtu, Desember 31, 2016 Pankratia Da Svit Kona- 0 Comments

Sebuah Cerpen #MariaPankratia


*Bali Post Edisi Minggu Pon, 4 Desember 2016



Barangkali ia hanya galau sebab rok di lemari sudah terlampau membosankan. Ia gemar memakai rok selebar dan sepanjang gorden. Kegemarannya tidak memiliki alasan, karena ia selalu begitu.
Hari ini, untuk ketiga kalinya ia bertemu lagi dengan rok yang sama. Masih di barisan yang itu-itu juga. Busana Wanita Dewasa. Diam, menanti dihampiri, coraknya hitam-putih. Panjang, menyiratkan jenjang, memancing. Kekaguman itu berubah, serupa imajinasi yang menumpuk setiap  mereka (ia dan rok itu) bertemu. Ia yakin, lepas ini, frustrasi bakal bersarang lebih lama dari biasanya. Pada kali yang kedua, sebelum ini, ia melihat rok panjang itu, rok dengan gambar bunga liar berbahan halus. Ia butuh dua minggu agar berkemas dari risau yang begitu rusuh di kepala.
Jika kemudian mungkin ada yang bertanya, kapan ia bertemu dengan rok itu untuk pertama kalinya? Ia akan kebingungan sebab ia merasa yakin ia dan rok tersebut memiliki ikatan sejak entah.
***
Pertanyaan ini muncul di kepala ketika ia memutuskan untuk menghampiri lagi deretan rok di barisan busana wanita di sebuah pusat perbelanjaan terkemuka kota ini.
“Kok nggak ada diskon yah? Apa belum kali yah?”
Ia mengitarinya sebanyak tiga kali, semacam ritual menghatur mukjizat. Seolah-olah akan ada seorang Bankir atau Pengusaha Kaya berbaik hati datang menawarkan niat membelikannya.
“Kamu suka rok ini? Jadi pacar saya yah, kamu bisa dapatkan satu, bonus pulang bersama saya”
Ia mengandaikan mereka paham, ia hanya selalu mengandalkan kaki dengan pecahan pada telapaknya yang kian melebar setiap hari untuk beranjak ke mana-mana. Setelah mulai lelah memandangi, ia keluar kembali ke pelataran pusat perbelanjaan itu. Ia duduk termenung di tangga, berharap akan ada ide segar muncul seketika.
Sepuluh menit berlalu, ia masuk lagi. Datang dan mengitari. Ia sadar sebuah tatapan serius mengawasinya sejak tadi. Tatapan  itu sekarang menghampirinya bersama mulut dan gerak tubuh yang lain.
“Mau dicoba dulu mungkin?” tawar sang pramuniaga
Ia tersenyum kemudian berusaha mengelak
“Oh, saya cuma mau lihat-lihat kok”
Sang pramuniaga mengangguk mengerti lalu perlahan menjauh.
Ia memutuskan keluar lagi. Duduk lagi, menatap kosong di kejauhan. Rokoknya ia keluarkan, tarikan pertama begitu dalam hingga membuatnya terbatuk. Seorang security muncul menggantikan petugas sebelumnya. Security itu berdiri tepat di belakangnya. Ia sama sekali tak terganggu, konsentrasinya tetap pada rok. Bara pada rokok hampir selesai dan pilihan itu muncul. Ia harus masuk lagi dan melakukan sesuatu.
Ia kembali ke tempat rok terpajang, pelan-pelan ia mengeluarkan lighter dari dalam tas rajutannya. Sambil menatap rok panjang tersebut dengan ekspresi yang campur aduk, ia menghunuskan api perlahan. Kurang sedetik lagi, nyala api itu menghampiri kuncup bunga liar di ujung rok, tiba-tiba sebuah hantaman mendarat tepat pada punggung kepalanya. Saking giatnya ia merencanakan api, ia alpa pada sang pramuniaga dan security yang sejak tadi memasang kode-kode. Tubuhnya diseret ke ruangan belakang, tempat kantor berada.
***
Mereka menyundutnya dengan sengatan minyak angin, tepat di bawah lubang hidung. Ia terbangun dan berteriak kalap, memasang wajah ketakutan sekaligus memohon ampun. Kemudian mereka meninggalkannya sendirian. Lima menit kemudian seorang laki-laki berkacamata lebar masuk dan menarik kursi, mereka duduk berhadapan. Saling memandang cukup lama. Lalu laki-laki itu mulai bertanya,
“Saya harus panggil anda, Mas atau Mbak?”
“Mbak aja”
“Oke, dengan mbak siapa, saya bicara?”
“Lanny”
“Mbak lanny, mbak sadar apa yang baru saja mbak lakukan?”
Ia tidak menjawab melainkan menunduk, tungkai kakinya gemetar tak karuan. Laki-laki itu melanjutkan.
“Mbak lanny kerja apa?”
Therapist, Pak”
“Di mana?”
“Legian, Pak”
“Mbak lanny, mbak ini baru saja melanggar Pasal 406 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP). Mbak bisa dipenjara lho”
Ia berjengit mendengar kata penjara. Air matanya mulai mengalir.
“Kalau nggak mau dipenjara, mbak harusnya tidak nekat seperti tadi. Jangan nyalakan korek api pada barang jualan saya. Saya bisa rugi besar, kacau tadi semua kalau apinya merambat ke mana-mana”
Ia mengangguk sembari tetap menunduk.
“Mbak lanny, mbak dengerin saya yah”
“Iya, Pak”
“Saya lupa siapa yang ngomong ini, tetapi kalau kita paksa minum air laut, dahaga kita gak bakal hilang. Kita bakal haus terus. Mbak lanny kalau pingin barang dagangan saya, Mbak harus beli, kalau belum bisa beli yo ditahan keinginannya. Ngerti?”
“Ngerti, Pak”
“Mbak lanny masih mau roknya?”
Ia terkejut, kepalanya terangkat seketika, pada matanya ada binar sumringah.
“Masih”
Yang terjadi berikutnya adalah laki-laki itu membuka celananya, menggelontorkan kemaluannya begitu saja di hadapan lanny. Ia abaikan bahwa lanny juga memiliki bentuk vital yang sama. Kedua laki-laki itu tengah terjebak pada situasi yang sulit. Dengan sigap laki-laki itu menarik kepala lanny. Hampir sepuluh menit lanny berjibaku dengan benda tumpul itu di dalam mulutnya. Setelah erangan tanda puas bergema, memantul pada dinding-dinding kantor yang lusuh, lanny diusir keluar. Ia disuruh menunggu di samping meja kasir yang tentu saja sedang bekerja tanpa mengendarai kuda supaya baik jalannya. Kasir tersebut menatapnya acuh tak acuh, menerima panggilan telepon di mejanya beberapa menit kemudian. Ia tekun mengangguk-angguk menyerukan kata yang sama
“Iya bos, baik bos”

Ketika pembicaraan di telepon terputus, sang kasir menarik lanny menuju deretan busana tempat rok panjang incarannya berada. Kasir penurut itu menyuruh lanny memilih rok yang ia idam-idamkan. Ia membantu lanny membungkus. Lanny pulang bersama pecahan kaki yang makin melebar, sepat sperma yang tersisa di mulut dan bungkusan rok cantik bercorak bunga liar di genggamannya. Air matanya berderai, kali ini berlomba-lomba dengan gemuruh jantungnya. Bukankah hidup adalah pengorbanan?



0 komentar: